Belakangan ini khususnya era globalisasi Indonesia dihadapkan pada persoalan-persoalan riil kemanusian seperti kemiskininan, penindasan dan ketidakadilan, agama dianggap sebagai institusi yang mandul, tidak mampu berbicara dan bahkan kadang malah melegitimasi kepentingan penguasa. Hal ini karena inti dari ajaran atau teologi dari agama-agama yang ada tidak banyak perhatian dan keberpihakan kepada kaum lemah. Agama dijadikan kepentingan politik semata dan agama dijadikan seolah-olah sebagai alat legitmasi untuk mencapai sebuah kekuasaan politik.
Patut berkaca pada sejarah, ini bukan lagi soal agama sebagai candu, seperti apa yang di katakana oleh filsuf asal jerman Karl Marx. Tapi patut kita jadikan acuan analisa. Agama, menurut Marx adalah ciptaan manusia sebagai tempat untuk berkeluh kesah dan pelarian sementara, mengalihkan diri dari realitas penderitaan yang di alami oleh manusia. Agama meenyediakan ajaran-ajaran yang meninabobokan para pengikutnya agar lebih menerima kenyataan yang sebagai bagian dari perjalanan hidup yang dikehendaki Tuhan. Marx mengatakan agama telah terkooptasi oleh kepentingan para kapitalis dan para birokrat.
Berdasarkan referensi yang saya dapat dalam karya Hassan hanafi yang berjudul “kiri islam” apakah Islam juga mengalami hal yang sama sebagaimana agama yang disaksikan Marx? Untuk sebagian, jawabannya adalah “ya”. Menurut Hassan Hanafi, Islam yang telah terkooptasi menjadi hanya sekedar kumpulan rirus-ritus, perayaan-perayaan, dan kepercayaan ukhrawi saja.
Namun dalam bantahan Hassan hanafi terhadap apa yang dikatakan oleh Marx adalah Islam tidak selamanya berwajah tumpul dan terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Pada kesempatan lain Islam juga menjadi kekuatan revolusioner yang menentang penindasan. Hanafi mencatat, gerakan revolusi Iran, gerakan Tarekat Sanusiyah dan Omar Mokhtar di Libya dan gerakan Mahdiisme di Sudan, adalah gerakan-gerakan melawan kemapanan yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam.
Kemudian dalam perkembangan zamannya atas dasar realitas keagamaan dan politik kekinian sangat etis jika kita menilisik analisa-analisa yang pernah dikaryakan oleh ashgar ali enginer seorang aktivis dan penulis progresif dan revolusioner. Asghar Ali Engineer mencoba untuk membangun penafsiran yang ingin menampilkan sosok Islam yang membebaskan, bukan sosok Islam yang membiarkan bahkan ikut andil dalam praktik-praktik penindasan. Ia kemudian mencoba merevitalisasi nilai-nilai Islam untuk merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan.
Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.
Sejarah singkat theology pembebasan islam
Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an.
Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak.
Perlu diketahui bahwa yang revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain).
Dengan memahami posisi Asghar di atas kita tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer sangat vokal dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Ia menganjurkan bukan sekedar merumuskan “teologi transformatif” akan tetapi lebih dari itu. Asghar Ali menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi “teologi radikal transformatif”. Ketika gagasan Teologi Pembebasan muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui Vatikan, ia menulis artikel “Teologi Pembebasan dalam Islam”. Tulisan-tulisan dalam buku ini sarat dengan analisa filosofikal dan historikal untuk merumuskan “Teologi Pembebasan dalam konteks modern” seperti diinginkan oleh Asghar Ali.
Variasi teology pembebebasan dalam islam
Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.
Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir.
Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.
Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.
Atas dasar analisa tersebut, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial theology pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua,pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas.Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.
Kembali untuk merenungkan atas fenomena-fenomena tersebut saya mengucapkan duka cita yang mendalam. Sebab kita telah kehilangan sosok pembebas, sosok yang patut kita jadikan panutan guna memperkaya analisa-analisa islam sebagai agama pembebas. Ashgar Ali Engineer telah wafat pada 14 mei 2013 lalu. Semoga pencerah atas karya beliau bisa menjadi acuan umat islam sebagaimana umat yang taat kepada ALLAH S.W.T. selamat jalan Ashgar Ali Engineer.
NB : Sumber di dapat dari beberapa referensi buku dan online.
Afditya Iman Fahlevi, Mahasiswa Universitas Bung Karno jakarta