Wednesday, September 4, 2013

Situs Sejarah maupun Kabuyutan Sunda terancam ditenggelamkan oleh Pembangunan Waduk Jati Gede Sumedang




spiritual_culturalheritage
Rencana pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada 2013 bakal menenggelamkan 12 desa di 4 kecamatan beserta puluhan situs sejarah. Sejauh ini baru 5 situs yang bisa dipindahkan ke tempat lain. Sisanya terancam terkubur di dalam bendungan.
Menurut rencana, pemerintah akan memulai proyek pembangunan waduk yang mangkrak sejak 1960-an itu pada 2013 mendatang. Lokasi waduk yang berada di daerah cekungan tersebut seluas 4.973 hektare. Genangan nantinya mencakup 12 desa di 4 kecamatan, paling banyak di Darmaraja, begitu pula situs sejarahnya yang terancam terendam.
Sebagian lagi merupakan makam tokoh penyebar agama Islam pada abad ke-16. Sebuah situs lainnya dipercaya masyarakat sebagai makam Raja Tembong Agung bernama Prabu Gagah Agung. Raja tersebut diperkirakan memerintah di Sumedang pada abad ke-15. Situs Cipeeut yang berupa makam punden berundak tersebut berada di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Kini, Dinas mendapat tambahan laporan situs baru. “Jumlahnya ada tiga, di Kecamatan Wado dan Darmaraja, nanti kami teliti,” ujar Romlah.Dari hasil pendataan teknis Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa Barat sejak 2009-2011, tercatat ada 42 lokasi temuan situs. Sebanyak 32 situs berada di dalam area waduk, sedangkan 10 situs lainnya akan dikelilingi air. “Kebanyakan situs berupa makam keramat pendiri kampung,” kata Kepala Seksi Kepurbakalan Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa Barat, Romlah, Kamis 5 April 2012.

Anggota tim penanganan cagar budaya Nunun Nurhayati mengatakan urusan situs tergolong pelik. Sebagian masyarakat minta agar makam leluhur dan tokoh agama di desa itu ditinggikan lokasinya, atau dengan cara yang canggih seperti terowongan bawah waduk agar siapa pun bisa tetap menyambangi makam. “Sulit sekali cara itu,” katanya.
Adapun jika dipindahkan ke lokasi lain, unsur kesejarahan situs tersebut sudah lenyap, termasuk situs mata air selain makam. Sebabnya, ujar Nunun, situs juga terkait dengan lingkungan alam sekitarnya. ”Relokasi situs hanya untuk pengingat warga akan asal-usul diri dan sejarah daerahnya,” kata dia.
ANWAR SISWADI 

PERCEPATAN MEGA PROYEK WADUK JATIGEDE, SUMEDANG

jatigede 300x225 Percepatan Mega Proyek Waduk Jatigede, Sumedang
Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menargetkan penyelesaian pembangunan proyek Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat pada 2014 dan rencananya akan diresmikan pada bulan Februari tahun depan. Kabar terbarunya, waduk terbesar kedua setelah Jatiluhur ini sudah mencapai 70% dalam proses pembangunannya.
Dalam berita yang dilansir oleh detik.com, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto usai menemui Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Gedung Sate, Jumat (5/4/2013) mengungkapkan progress pembangunan mega proyek tersebut. Keduanya membahas seputar pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang.
“Maksud saya datang ke sini dan menemui Gubernur adalah dalam rangka percepatan kelancaran pembangunan Waduk Jatigede. Saat ini progres pembangunannya sudah di atas 70 persen,” kata Djoko.
Waduk Jatigede memiliki fungsi strategis, di antaranya bisa menjamin pasokan air bagi lahan pertanian seluas 90.000 hektar. Pasokan air tersebut bisa bertahan untuk panen hingga dua kali dalam setahun. Selain itu, waduk ini juga bisa menampung air dengan jumlah yang besar sehingga tidak akan terjadi banjir. Fungsi lain perairan Waduk Jatigede bisa menghasilkan listrik hingga 110 Mega Watt (MW). Waduk yang ditargetkan berkapasitas satu miliar kubik air itu mempunyai manfaat yang luar biasa untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat.
Namun, masih terdapat masalah dalam pembebasan lahan dan ganti rugi kepada penduduk setempat, meskipun diklaim telah beres secara legalitas. umlah yang direlokasi ada sekira 697 Kepala Keluarga. Proses relokasi saat ini juga disebut sudah matang dengan mendirikan rumah bagi relokasi warga. Rumah tersebut dibangun Kementerian Perumahan Rakyat.
Sementara itu gubernur berharap pembangunan Waduk Jatigede, termasuk relokasi warga, berjalan lancar. “Ini kan proyek lama dari tahun 1960-an, pembebasan lahannya pun dari 1970-an sudah dimulai, kemudian dibiarkan. Sekarang serius,” tandas Aher. (Sumber: http://hima.ce.its.ac.id/percepatan-mega-proyek-waduk-jatigede-sumedang/)
Nuhuuuuuuns, terima kasih banyak kepada para senior Mamang yg telah datang ke Balong menyempatkan diri walaupun punya kesibukan masing-2 :) . Alhamdulillah Riungan dihadiri Kang Ahmad Dimyati Ahli Pertanian Hortikultura Alumni Unpad, IPB dan Nebraska Amrik, Kang Odjat beserta istri Pituin Sumedang Alumni Kehutanan IPB, Kang Nana Dosen Kehutanan IPB, Kang Ahmad Mulis Yusuf dari MWA IPB, Teh Nisa Ahli GIS Alumni Kehutanan IPB, dan Mamang alumni ITB n’ IPB tentunya se :) .
Ajiiiiip pisan masukan-2 dari para senior dalam rangka memperjuangkan Jatigede ini sehingga menjadi perjuangan lebih terarah epektip n’ episien. Beberapa hal yang menjadi concern diantaranya:
1. Perlu kiranya melakukan evaluasi secara komprehensif menilai/ memvaluasi segala aset baik yg tangible maupun intangible yg akan ditenggelamkan dalam proyek Jatigede ini. Pemkab Sumedang harusnya aware akan hal ini jangan sampai hanya jadi penonton saja. Pemkab Sumedang harusnya menginventarisir dan menilai aset-2 yg berharga yg akan ditenggelamkan. Hal yg menjadi concern adalah keberadaan Situs Bersejarah Arkeologi yang tentunya apabila dinilai, nilainya akan menjadi tak terhingga terutama bagi masyarakat yang ada disana, begitu juga kampung buhun yang harmonis dan agamis, juga 33000KK yang akan ditenggelamkan yg sudah memiliki tatanan kehidupan sosial yg cukup baik, jangan sampai kegiatan relokasi akan justru memiskinkan mereka.
2. Perlu dibuat target yg jelas dalam perjuangan ini diantaranya target paling tinggi adalah menyetop fungsi pemanfaatan bendungan tersebut, tidak diairi sehingga menjadikan Bendungan Jatigede sebagai monumen saja sebagai sarana edukasi sebuah pembelajaran tentang kurangnya perencanaan yang matang dan juga monumen kepedulian sosial dan lingkungan dari Pemerintah serta kepedulian pemerintah dalam menjaga Kabuyutan/ Situs-2 Bersejarah Arkeologi Indonesia.
3. Perlu dibuat maping/ pemetaan keberadaan lokasi Situs-2 Sejarah tersebut. Keberadaan situs-2 itu melekat dengan masyarakat sehingga apabila solusinya dipindahkan justru akan menghapus nilainya/ keberadaan situs tersebut apabila dipindahkan sudah tidak bernilai lagi.
4. Perlu digalang dukungan dari komunitas dan juga para inohong untuk penyelamatan Aset Intangible Budaya n’ Sejarah tersebut dan rutin disuarakan melalui berbagai media, untuk menggugah kesadaran agar bisa memberikan balancing terhadap rencana Pengembangan/ Pembangunan Pemerintah yang seringkali tidak memperhatikan kearifan lokal yg ada di daerah. Seringkali pemerintah melihat secara pragmatis dengan kacamata Jakarta dan tidak memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah.
5. Perlu dievaluasi keberadaan fungsi bendungan yg ada saat ini ternyata dari Masyarakat yg berada di Hulu multiplier effect-nya tidak begitu banyak terasa, dibeberapa daerah seperti di Cirata/ Saguling masyarakat disekitar waduk masih miskin dan byar pet. Perlu dievaluasi juga efektifitas keberadaan Bendungan tersebut jangan sampai pemanfaatannya tidak efektif apalagi di daerah hilir yg akan diairi saat ini lahan-2nya sudah terkonversi menjadi Industri. Untuk solusi masalah kekeringan sawah dihilir sebenernya sawah-2 tersebut bisa dikonversi menjadi tanaman hortikultura yang justru nilainya lebih tinggi.
6. Pemerintah Propinsi Jawa Barat harusnya memiliki Divisi Khusus yang mengelola Daerah Aliran Sungai, menjaga dan memelihara DAS di Jawa Barat dengan melibatkan seluruh elemen dari mulai pemerintah kabupaten, masyarakat, dlsb.
7. Perlu dilakukan lobbying sesuai akses masing-2 ke berbagai pihak untuk mengangkat issue ini dan menciptakan awareness.
8. Ini merupakan langkah awal dan secara kongkrit harus memberikan solusi kepada pemerintah berupa usulan yg lebih baik tentunya, perlu dilanjutkan pertemuan lebih detail, tentatif minggu depan di Jakarta.
Demikian hasil riungan yg Mamang tangkap untuk menjadi referensi/ acuan Mamang dalam melangkah kedepan. Tentunya tidak mudah dan betul banyak yg bilang sangat mustahil untuk menyetop Proyek Kapitalis yg sudah melibatkan Government to Government ini namun sesuai Hadist Rosululloh yang disampaikan Kang Ahmad Dimyati diawal pertemuan bahwa Rosululloh bersabda “Walaupun Esok Hari Dunia Ini Akan Kiamat dan kita masih sempat nanam Kurma maka tanamlah”, tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan n’ memperjuangkan Kabuyutan Sunda yang akan ditenggelamkan.
Walaupun mungkin pemerintah dan berbagai pihak menganggap ini anjing menggonggong kapilah berlalu namun biarlah suara alam pasundan ini menggema ke seantero jagat raya sehingga mudah-2an bisa menyentuh hati orang-2 yg peduli termasuk para inohong Sunda, tulisan Kang MY sangat menyentuh hati Mamang di Status BB-nya “Selamatkan Kabuyutan Cipaku”, Mudah2an inohong Sunda ka geuing pikeun nyalametkeun titinggal karuhun urang. Lamun caricing wae sok sieun lalaunan urang Sunda jadi poho kana akar budaya jeung jatidirina, da dikeueum ku Jatigede tea. Artinya: Semoga para Inohong/ Tokoh Sunda tersadarkan untuk menyelamatkan peninggalan leluhur kita. Kalau diam saja khawatir secara pelan-pelan Urang Sunda akan semakin lupa terhadap Akar Budaya dan Jatidirinya, karena ditenggelamkan oleh Jatigede.
Pun sapun kaluluhuran…
nuhuuuuns,
mang kabayan
www.udarider.com


Kabuyutan dalam Kosmologi Masyarakat Sunda dahulu merupakan tempat pendidikan moral dan spiritual yang alami (harmonis/ menyatu dengan alam). Kabuyutan dalam konteks modern dapat disamakan dengan Sekolah Alam atau Pesantren Alam. Kabuyutan memiliki peran sangat penting dalam Tri Tangtu Masyarakat Sunda (Tiga Penentu Kebijakan Dunia) yang urutannya adalah Resi (Guru Pendidik), Ratu (Pemimpin Pemerintahan), dan Rama (Orang Tua Tokoh Masyarakat). Hal tersebut juga tercermin dalam peribahasa yang beredar secara turun temurun di masyarakat Sunda yaitu Guru, Ratu, Wong Atua Karo. Guru ditempatkan ditempat yang paling penting (utama) karena masyarakat dahulu menyadari pentingnya pendidikan terutama pendidikan budi pekerti/ moral dan spiritual bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Teori modern dari dunia barat pun sangat menyadari pentingnya peranan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan yang akan menentukan kemajuan suatu bangsa/ negara. Negara Skandinavia di Eropa contohnya sangat memperhatikan sistem pendidikannya bahkan masyarakat digratiskan dalam memperoleh pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Begitu hal-nya dengan Jepang Pasca Pengemboman Hiroshima dan Nagasaki pertama kali yang diselamatkan adalah para guru karena merekalah kelak yang akan memberikan pendidikan kepada anak- anak dan generasi muda Jepang.
Kabuyutan jaman dahulu sifatnya gratis/ sukarela bagi para pesertanya namun untuk menjalankan operasional Kabuyutan tersebut Raja/ Pemimpin Pemerintahan menjamin segala kebutuhan Kabuyutan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas. Salah satu Raja yang sangat menghormati dan melindungi Kabuyutan adalah Purnawarman, Maharaja Tarumanagara (memerintah 395 – 434 M). Ketika Purnawarman berhasil melakukan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km), ia mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana (guru). Keterangan lain yang menunjukan bahwa Leluhur Sunda sangat menghargai Kabuyutan dapat dilihat dari Amanat Galunggung yang dibuat oleh Prabu Resi Guru Darmasiksa, Raja Sunda Galuh (memerintah 1175 – 1297 M, ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya 1135 – 1159 M) dalam Amanat Galunggung terjemahannya: “Raja/ anak bangsa yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya ia lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah”. Ancaman dari Raja Sri Jayabupati (Raja Sunda, memerintah tahun 1030 M atau semasa dengan pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur) dalam Prasasti Sanghyang Tapak (juga dikenal sebagai Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih), lebih berat lagi, “Hukuman mati bagi peruksak Kabuyutan”. Hal tersebut menunjukan bahwa sangat pentingnya Pendidikan Moral dan Spiritual bagi masyarakat Sunda waktu itu.
Leluhur Sunda telah membangun banyak Situs- situs Kabuyutan di berbagai daerah di seluruh wilayah Tatar Sunda biasanya ditempatkan di lokasi yang sangat penting dan menjadi sumber kehidupan manusia diantaranya di sumber mata air, gunung, hutan, pinggir sungai (daerah aliran sungai), bukit, lembah, situ/ embung, telaga, dan tempat- tempat penting lainnya. Leluhur Sunda sangat cerdas dalam menentukan lokasi- lokasi tempat Kabuyutan itu dibangun oleh karenanya keberadaannya terus dilestarikan oleh masyarakat kampung yang menyadari pentingnya menjaga kabuyutan tersebut sesuai pikukuh/ pepatah leluhur yaitu “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, dan buyut teu meunang dirempak” artinya gunung sebagai sumber resapan air dan energi (geothermal) tidak boleh dihancurkan, daerah aliran sungai sebagai sarana irigasi untuk tanaman pangan tidak boleh dirusak, dan aturan moral spiritual tidak boleh dilanggar.
Prof. Dr. E. Goembira Sa’id (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) menyampaikan segitiga kehidupan yang penting ada tiga yaitu Pangan, Energi, dan Moral. Penjaga Moral peninggalan leluhur jaman dahulu adalah Kabuyutan (pusat pendidikan moral dan spiritual). Leluhur kita ternyata sangat menyadari pentingnya menjaga Kabuyutan tersebut dalam rangka menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan alam untuk memenuhi segitiga kehidupan tersebut. Indonesia dikenal sebagai negara yang subur dengan potensi energi dan pangan yang berlimpah namun karena masalah moral dan spiritual yang kurang hal tersebut tercermin dari Survey Transparansi Internasional yang memberikan Skor 3 untuk Index Persepsi Korupsi dari total 10 yang terbersih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang korup. Keseimbangan segitiga kehidupan tersebut ternyata kurang terjaga karena salah satu unsurnya yaitu moral kurang diperhatikan sehingga berdampak pada ketahanan pangan dan energi Indonesia yang kurang baik (pangan dan energi masih tergantung kepada negara lain dalam bentuk impor). Para ahli ekonomi Indonesia saat ini diramaikan dengan turunnya rupiah terhadap dollar dan ditakutkan Indonesia akan menghadapi krisis moneter seperti tahun 1998. Bahkan perajin tahu pun dihadapkan pada permasalahan sulit mahalnya bahan baku karena masih menggunakan kedelai impor yang dibeli menggunakan dollar. Untuk menghadapi permasalahan tersebut perlu kiranya Pemerintah dan segenap Bangsa Indonesia merenungkan kembali tentang pentingnya menjaga keseimbangan segitiga kehidupan dimana yang terpenting harus dijaga adalah moral (kabuyutan).
Salah satu kabuyutan di Tatar Sunda yang sampai saat ini masih dijaga kelestariannya berada di Kampung Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang yaitu Situs Kabuyutan Aji Putih. Kampung Cipaku diakui oleh Budayawan Sunda Prof Jakob Sumardjo (Guru Besar & Dosen Seni Rupa ITB) sebagai salah satu Kampung Buhun Penjaga Kabuyutan Sunda di Jawa Barat. Kutipan Tulisan Prof Jakob Sumardjo tentang Kampung Buhun Cipaku dalam tulisannya Paham Kekuasaan Sunda yang dimuat dalam Koran Pikiran Rakyat, “Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada”. Keberadaan Kampung Cipaku yang menjaga dan terus melestarikan Situs Kabuyutan Aji Putih saat ini terancam esksitensinya oleh Proyek Bendungan Jatigede yang akan menenggelamkan 5 Kecamatan dan salah satunya adalah Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja yang dahulu sampai sekarang pun masyarakat masih menjaga dan melestarikan Situs Kabuyutannya.
Menurut Prof Dr. Nina Herlina Lubis (Guru Besar UNPAD) ada lebih dari 25 situs Kabuyutan Sunda berada di wilayah Bendungan Jatigede yang akan digenangi. Dengan merujuk juga kepada penelitian mutakhir, yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung, di lokasi yang akan ditenggelamkan pembangunan Waduk Jatigede terdapat setidaknya 25 situs arkeologi, yang kebanyakan berupa makam kuna. Situs-situs yang ada di wilayah ini sebagian merupakan peninggalan masa prasejarah (terlihat dari tradisi megalit yang ada), masa Kerajaan Tembong Agung (Situs Aji Putih Tembong Agung berlokasi di Kampung Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang), dan sebagian lagi makam leluhur pendiri desa, ada juga yang tidak diketahui asal-usulnya. Menurut penelitian arkeologi, peninggalan- peninggalan leluhur ini, memperlihatkan adanya transformasi dari masa prasejarah (masa sebelum dikenal tulisan) ke masa sejarah (masa setelah dikenal tulisan). Jadi situs-situs kabuyutan yang tergolong budaya megalit (batu-batu besar) itu adalah warisan prasejarah yang terus difungsikan pada masa sejarah. Situs- situs kabuyutan ini adalah peninggalan sejarah yang mencerminkan latar belakang sosio budaya masyarakat lama di Kabupaten Sumedang dan nilai- nilainya melekat dengan tempat (site) di mana ia berada. Sebagai warisan peradaban sudah sepatutnya situs-situs itu kita lestarikan.

No comments:

Post a Comment