Kisah mengenai perempuan ini pernah dituliskan Remy Sylado dengan judul Namaku Mata Hari, sama dengan nama panggungnya: Mata Hari. Berlatar pada akhir 1870-an hingga awal 1900.
Mata Hari bernama asli Margaretha Zelle, digambarkan sebagai perempuan kuat, cantik, memesona. Ia lahir dari pasangan pembuat topi asal Belanda dan istri dari Jawa pada 1876. Sayang pada awal kisah romansanya, ia bertemu dengan Rudolf MacLeod --Kapten di Hindia Belanda (Indonesia) yang kerap berselingkuh dan menyiksanya.
Dari MacLeod, ia memiliki dua anak, satu lelaki dan satu perempuan. Si sulung lelaki, yang lahir dengan kekurangan fisik, tidak berumur panjang. Sementara si bungsu dititipkan pada pihak keluarga pasca-perceraian kedua orangtuanya.
Ia kemudian menuju Paris, mengubah nama menjadi "Mata Hari". Bahasa yang tentu asing bagi warga setempat, namun menambah kesan misterius dari tari panggungnya. Selama beberapa tahun, Mata Hari menjadi selebriti di kota tersebut sebagai penari eksotis. Hingga jatuhlah Perang Dunia I pada 1914.
Pecahnya PD I disambut warga Eropa dengan bergembira, bukannya takut. Ini terlihat dari perayaan yang dilakukan di beberapa negara di Benua Biru tersebut setelah perang diumumkan. Sikap ini muncul karena didorong sikap nasionalistik, mereka mengira perang akan berlangsung singkat dan mengalami kejayaan.
Dalam True Spy Stories karangan Paul Dowswell dan Fergus Fleming, Mata Hari dikatakan bosan dengan kondisi perang. Sebabnya, selama dua tahun, ia tidak bisa bebas melakukan apa-apa. Hanya diam di rumahnya di Belanda sebagai tempat netral.
Hingga akhirnya munculah Karl Kramer, atase pers Konsulat Jerman di Belanda. Kramer meminta Mata Hari kembali ke Paris, Prancis, negara yang tidak lain adalah musuh Jerman. Mata Hari diminta menggunakan semua daya pikatnya untuk berbaur kembali dengan para orang berpengaruh di sana.
Dengan imbalan cukup, Mata Hari menyetujuinya. Namun, Dowswell dan Fleming berkeyakinan bahwa hal ini disetujui oleh Mata Hari hanya karena penasaran menjadi mata-mata.
Beberapa bulan kemudian, secara tidak sengaja ia bertemu Kapten Georges Ladoux, Kepala Dinas Counterintelligence Prancis --badan yang dibentuk untuk menginvestigasi mata-mata asing. Sama seperti pihak Jerman, Ladoux meminta kerja sama dari Mata Hari.
Mata Hari, perempuan yang menyingkap tabir misteri negeri Timur pada masyarakat Paris, akhirnya melangkah di dua sisi: Jerman dan Prancis. Hingga pada waktunya aksi ini terungkap. 24 Juli 1917, ia berdiri di hadapan pengadilan tertutup militer.
Hanya dalam tempo dua hari, perempuan cerdas dengan pesona luar biasa ini dinyatakan bersalah melakukan kegiatan mata-mata terhadap Prancis dan dijatuhi hukuman mati. Ia dieksekusi pada 15 Oktober 1917 di hadapan regu tembak, tewas dalam usia 41 tahun.
Meski demikian, kasusnya tidak redup. Banyak kontroversi yang menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah. Lain dari itu, namanya diasosiasikan dengan eksotisme yang bertahan hingga masa sekarang.
(Zika Zakiya. True Spy Stories, Majalah Angkasa Edisi Great Battles in World War I)
Mata Hari bernama asli Margaretha Zelle, digambarkan sebagai perempuan kuat, cantik, memesona. Ia lahir dari pasangan pembuat topi asal Belanda dan istri dari Jawa pada 1876. Sayang pada awal kisah romansanya, ia bertemu dengan Rudolf MacLeod --Kapten di Hindia Belanda (Indonesia) yang kerap berselingkuh dan menyiksanya.
Dari MacLeod, ia memiliki dua anak, satu lelaki dan satu perempuan. Si sulung lelaki, yang lahir dengan kekurangan fisik, tidak berumur panjang. Sementara si bungsu dititipkan pada pihak keluarga pasca-perceraian kedua orangtuanya.
Ia kemudian menuju Paris, mengubah nama menjadi "Mata Hari". Bahasa yang tentu asing bagi warga setempat, namun menambah kesan misterius dari tari panggungnya. Selama beberapa tahun, Mata Hari menjadi selebriti di kota tersebut sebagai penari eksotis. Hingga jatuhlah Perang Dunia I pada 1914.
Pecahnya PD I disambut warga Eropa dengan bergembira, bukannya takut. Ini terlihat dari perayaan yang dilakukan di beberapa negara di Benua Biru tersebut setelah perang diumumkan. Sikap ini muncul karena didorong sikap nasionalistik, mereka mengira perang akan berlangsung singkat dan mengalami kejayaan.
Dalam True Spy Stories karangan Paul Dowswell dan Fergus Fleming, Mata Hari dikatakan bosan dengan kondisi perang. Sebabnya, selama dua tahun, ia tidak bisa bebas melakukan apa-apa. Hanya diam di rumahnya di Belanda sebagai tempat netral.
Hingga akhirnya munculah Karl Kramer, atase pers Konsulat Jerman di Belanda. Kramer meminta Mata Hari kembali ke Paris, Prancis, negara yang tidak lain adalah musuh Jerman. Mata Hari diminta menggunakan semua daya pikatnya untuk berbaur kembali dengan para orang berpengaruh di sana.
Dengan imbalan cukup, Mata Hari menyetujuinya. Namun, Dowswell dan Fleming berkeyakinan bahwa hal ini disetujui oleh Mata Hari hanya karena penasaran menjadi mata-mata.
Beberapa bulan kemudian, secara tidak sengaja ia bertemu Kapten Georges Ladoux, Kepala Dinas Counterintelligence Prancis --badan yang dibentuk untuk menginvestigasi mata-mata asing. Sama seperti pihak Jerman, Ladoux meminta kerja sama dari Mata Hari.
Mata Hari, perempuan yang menyingkap tabir misteri negeri Timur pada masyarakat Paris, akhirnya melangkah di dua sisi: Jerman dan Prancis. Hingga pada waktunya aksi ini terungkap. 24 Juli 1917, ia berdiri di hadapan pengadilan tertutup militer.
Hanya dalam tempo dua hari, perempuan cerdas dengan pesona luar biasa ini dinyatakan bersalah melakukan kegiatan mata-mata terhadap Prancis dan dijatuhi hukuman mati. Ia dieksekusi pada 15 Oktober 1917 di hadapan regu tembak, tewas dalam usia 41 tahun.
Meski demikian, kasusnya tidak redup. Banyak kontroversi yang menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah. Lain dari itu, namanya diasosiasikan dengan eksotisme yang bertahan hingga masa sekarang.
(Zika Zakiya. True Spy Stories, Majalah Angkasa Edisi Great Battles in World War I)
No comments:
Post a Comment