Wednesday, September 4, 2013

Praktik Etika dalam Lokasi Percandian

Ada beberapa larangan saat berkunjung ke situs arkeologi di Indonesia. Mematuhinya, sama dengan Anda membantu kelestarian kekayaan kita.
candi ratu bokoCandi Ratu Boko. (Zulkarnaen SL/Fotokita.net)
Yang membanggakan hati awak National Geographic Indonesia dalam Ekspedisi Sriwijaya, aturan mengenakan sarung sebagai wujud nyata menghormati situs percandian tidak hanya berlaku di Candi Borobudur.
Saat berada di Candi Ratu Boko yang berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, kami mendapat kesempatan serupa. Dengan membayar tanda masuk sebesar Rp25.000 setiap orang, bonusnya adalah satu kemasan air mineral ukuran kecil serta peminjaman sarung batik yang dibantu petugas langsung untuk mengenakannya.
Bila sarung wajib Candi Borobudur berwarna dasar biru tua, di Candi Ratu Boko menggunakan warna dasar putih dengan pola garis-garis warna hitam ditambah tulisan hanacaraka. Saat ditanya, petugas menjelaskan bahwa sarung penutup bagian bawah tubuh ini juga bisa dibeli sebagai cendera mata bila Anda tertarik.
candi ratu bokoLarangan memanjat di situs Candi Ratu Boko. Menghormati peraturan ini sama dengan melestarikan kekayaan arkeologi Indonesia. (R.Ukirsari Manggalani/NGT)
Praktik etika berkait kunjungan candi juga dapat ditemui saat pengunjung berada di bagian paling belakang kompleks candi. Seperti di kompleks percandian Batujaya, di bagian candi miniatur Ratu Boko yang berlokasi tidak jauh dari bekas-bekas kolam permandian ini terdapat papan keterangan bertuliskan "Dilarang Memanjat".


Semoga, ajakan untuk berkunjung dengan tertib ini terus dapat dipatuhi. Termasuk membuang sampah berupa botol plastik air mineral yang dibagikan petugas di pintu masuk. Masih terlihat beberapa botol di salah satu lokasi paling favorit untuk berpotret di Candi Ratu Boko.
"Mungkin terlupa untuk diambil saat pengunjung berpotret," cetus salah satu tamu yang berjalan di dekat kami. Solusinya, tentu saja: ingat-ingat bawaan Anda dan mari kita jaga bersama warisan benda (tangible) nenek moyang kita.
*Laporan Ekspedisi Sriwijaya yang dilakukan National Geographic Indonesia di Pulau Jawa, Agustus - September 2013.
( R. Ukirsari Manggalani)

No comments:

Post a Comment