TERBUAT dari marmer berhias ornamen dan motif-motif, makam itu tampak indah. Di makam tersebut juga terukir inskripsi ayat-ayat Al-Quran. Pada salah satu nisannya terlihat bekas keretakan atau patah yang kemudian disambung kembali.
Makam itu adalah makam Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan Ahmad yang berada dalam kompleks makam Malikah Nahrasyiyah, lebih dikenal dengan sebutan Ratu Nahrisyah, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
Lokasi tersebut, menurut tim peneliti sejarah dan kebudayaan Islam dari Central Information for Samudra Pasai atau CISAH, merupakan kompleks pemakaman kesultanan Samudra Pasai periode kedua.
Ketua tim peneliti dari CISAH, Taqiyuddin Muhammad menyebutkan epitaf pada nisan makam Sultan Zainal ‘Abidin sudah tidak terbaca lagi. “Hanya satu-dua kata masih tampak jelas, seperti kata: ‘Ahmad’,” kata dia kepada redaksi, Minggu lalu.
Namun, kata Taqiyuddin, dari inskripsi ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat pada makam tersebut, begitu pula ornamen serta motif-motif, selain juga terbuat dari marmer, semua itu menunjukkan makam itu dibuat untuk mengenang seorang sultan besar.
Di antara bagian inskripsi yang masih terbaca, kata Taqiyuddin, ialah sebaris doa: “Khalladahullah mulkahu, Amin” (semoga Allah melanggengkan kerajaannya, Amin).
“Doa seperti ini tentu diperuntukkan bagi seorang penguasa yang kuat, dan kerajaannya telah mencapai tingkat kestabilan yang paripurna,” ujar alumni Universitas Al-Azhar Kairo ini. “Doa semisal ini dapat menjadi suatu pertanda akan kondisi Samudra Pasai yang makmur dan kuat pada zaman ia memerintah”.
Fakta lainnya, letak makam Sultan Zainal ‘Abidin tepat di sisi barat makam Malikah Nahrasyiyah. Kata Taqiyuddin, kenyataan ini semakin meyakinkan bahwa makam tersebut diperuntukkan guna mengenang Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan Ahmad.
Taqiyuddin mengungkapkan, Sultan Zainal ‘Abidin memerintah setelah Samudra Pasai melewati masa-masa redup--yang sampai kini masih misterius--di paroh kedua abad ke-14 Masehi.
Permulaan abad ke-15 Masehi, Sultan Zainal ‘Abidin, diyakini, berhasil bangkit dan kembali memelopori jalan yang pernah dirintis oleh kakeknya, Sultan Al-Malik Ash-Shalih, lebih dikenal dengan sebutan Sultan Malikussaleh.
“Ia (Sultan Zainal ‘Abidin) membuka lembaran baru bagi sejarah Samudra Pasai,” kata Taqiyuddin Muhammad akrab disapa Abu Taqiyuddin.
Makam-makam terbuat dari marmer dan bersimbolkan kandil yang bermakna penerang muncul pada masa sultan ini memerintah. “Tokoh-tokoh yang telah dimakamkan di kompleks itu adalah mereka yang telah berperan dalam menyebarkan Islam dan memperluas negeri kaum Muslimin di Asia Tenggara,” ujar Taqiyuddin.
Sultan Zainal ‘Abidin memimpin gerakan dakwah yang besar, kemudian dilanjutkan oleh putrinya, Nahrasyiyah serta para penguasa Samudra Pasai berikutnya.
Itu sebabnya, kata Taqiyuddin, Sultan Zainal ‘Abidin pantas digelar dengan Asy-Syahid (yang syahid di Jalan Allah) sebagaimana terdapat pada epitaf makam putrinya, Malikah Nahrasyiyah.
Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan Ahmad bin Sultan Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih, wafat sekitar 808 Hijriah atau 1406 Masehi.[]
Makam itu adalah makam Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan Ahmad yang berada dalam kompleks makam Malikah Nahrasyiyah, lebih dikenal dengan sebutan Ratu Nahrisyah, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
Lokasi tersebut, menurut tim peneliti sejarah dan kebudayaan Islam dari Central Information for Samudra Pasai atau CISAH, merupakan kompleks pemakaman kesultanan Samudra Pasai periode kedua.
Ketua tim peneliti dari CISAH, Taqiyuddin Muhammad menyebutkan epitaf pada nisan makam Sultan Zainal ‘Abidin sudah tidak terbaca lagi. “Hanya satu-dua kata masih tampak jelas, seperti kata: ‘Ahmad’,” kata dia kepada redaksi, Minggu lalu.
Namun, kata Taqiyuddin, dari inskripsi ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat pada makam tersebut, begitu pula ornamen serta motif-motif, selain juga terbuat dari marmer, semua itu menunjukkan makam itu dibuat untuk mengenang seorang sultan besar.
Di antara bagian inskripsi yang masih terbaca, kata Taqiyuddin, ialah sebaris doa: “Khalladahullah mulkahu, Amin” (semoga Allah melanggengkan kerajaannya, Amin).
“Doa seperti ini tentu diperuntukkan bagi seorang penguasa yang kuat, dan kerajaannya telah mencapai tingkat kestabilan yang paripurna,” ujar alumni Universitas Al-Azhar Kairo ini. “Doa semisal ini dapat menjadi suatu pertanda akan kondisi Samudra Pasai yang makmur dan kuat pada zaman ia memerintah”.
Fakta lainnya, letak makam Sultan Zainal ‘Abidin tepat di sisi barat makam Malikah Nahrasyiyah. Kata Taqiyuddin, kenyataan ini semakin meyakinkan bahwa makam tersebut diperuntukkan guna mengenang Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan Ahmad.
Taqiyuddin mengungkapkan, Sultan Zainal ‘Abidin memerintah setelah Samudra Pasai melewati masa-masa redup--yang sampai kini masih misterius--di paroh kedua abad ke-14 Masehi.
Permulaan abad ke-15 Masehi, Sultan Zainal ‘Abidin, diyakini, berhasil bangkit dan kembali memelopori jalan yang pernah dirintis oleh kakeknya, Sultan Al-Malik Ash-Shalih, lebih dikenal dengan sebutan Sultan Malikussaleh.
“Ia (Sultan Zainal ‘Abidin) membuka lembaran baru bagi sejarah Samudra Pasai,” kata Taqiyuddin Muhammad akrab disapa Abu Taqiyuddin.
Makam-makam terbuat dari marmer dan bersimbolkan kandil yang bermakna penerang muncul pada masa sultan ini memerintah. “Tokoh-tokoh yang telah dimakamkan di kompleks itu adalah mereka yang telah berperan dalam menyebarkan Islam dan memperluas negeri kaum Muslimin di Asia Tenggara,” ujar Taqiyuddin.
Sultan Zainal ‘Abidin memimpin gerakan dakwah yang besar, kemudian dilanjutkan oleh putrinya, Nahrasyiyah serta para penguasa Samudra Pasai berikutnya.
Itu sebabnya, kata Taqiyuddin, Sultan Zainal ‘Abidin pantas digelar dengan Asy-Syahid (yang syahid di Jalan Allah) sebagaimana terdapat pada epitaf makam putrinya, Malikah Nahrasyiyah.
Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan Ahmad bin Sultan Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih, wafat sekitar 808 Hijriah atau 1406 Masehi.[]
No comments:
Post a Comment