Wednesday, July 24, 2013

Seorang Wahhabi Yang Menelusuri Ahmadiyah (2)


Maulwi Abdullah yang ingin menyelidiki secara langsung tentang diri Mirza Ghulam Ahmad tak memberitahukan kepada seorangpun mengenai kedatangannya dan tujuannya ke masjib Mubarak Qadian.  Cerita yang beredar bahwa Mirza Ghulam Ahmad memakai agen penanya ternyata ia buktikan tidak benar.

Saat itu shalat berjamaah sedang dikerjakan di masjid Mubarak, Maulwi Abdullah ikut shalat dalam barisan saf.  Setelah shalat, Mirza Ghulam Ahmad dan jamaahnya pergi ke Syah Nasyin, suatu tempat yang dipakai untuk membicarakan masalah agama. Maulwi Abdullah juga pergi ke tempat itu, dan secara diam-diam duduk di dekat Mirza Ghulam Ahmad lalu memegang kakinya dan memijitnya.  Jamaah Mirza Ghulam Ahmad biasa juga memijit kakinya.  Saat Maulwi Abdullah memegang dan memijat kakinya, Mirza Ghulam Ahmad berkata, “Menguji nabi-nabi Allah adalah tidak baik”.

Maulwi Abdullah sebenarnya memang tidak berniat memijit kaki Mirza Ghulam Ahmad.  Ia sebelumnya memiliki keyakinan bahwa ia telah melihat dalam salah satu hadits/riwayat bahwa salah satu tanda kebenaran Imam Mahdi adalah tidak ada lepra di kakinya dan memiliki kaki lurus. Atas dasar inilah ia langsung memegang kaki Mirza Ghulam Ahmad untuk melihat dan memastikan apakah ada lepra atau tidak.  Dan ternyata kaki kaki Mirza ghulam Ahmad didapati bersih dan lurus sesuai nubuatan Rasulullah s.a.w. Maulwi Abdullah juga kaget atas perkataan Mirza Ghulam Ahmad yang mengetahui bahwa ia sebenarnya memang sedang menguji pendakwaannya bukan sedang memijit kakinya sesuai dengan kelihatannya. Dua hal mengguncang hatinya.  Mengenai kondisi kaki Mirza ghulam Ahmad dan pernyataannya yang memperlihatkan pengetahuan mengenai niat Maulwi Abdullah.  Karena ternyata kalimat itu tidak pernah dilontarkan kepada seorangpun yang sedang memijit kecuali kepadanya.

Selanjutnya Maulwi Abdullah berkata, “Tuan, saya memiliki beberapa pertanyaan.  Jika diperkenankan akan saya ajukan.” Mirza Ghulam Ahmad mempersilah.  Maulwi yang sudah memiliki daftar tertulis pertanyaan dari rumah itu lalu melanjutkan,

“Tuan, Rasulullah s.a.w. memiliki seorang inang yaitu Ummu Aiman.  Ia setiap hari atau sering diberitahu wahyu baru oleh Rasulullah s.a.w., sehingga ia senang.  Ia selalu gembira setelah mendengar wahyu.  Hingga kemudian Rasulullah s.a.w. wafat dan Abu Bakar r.a. ditetapkan menjadi khalifah.  Suatu hari Abu Bakar r.a. menemui Ummu Aiman.  Ummu Aiman menangis dan Abu Bakar r.a. berkata, “Apakah engkau mengangis karena kewafatan Rasulullah s.a.w.? Kewafatan itu sunatullah yang sudah tergenapi.” Ummu Aiman berkata, “Bukan. Aku menangis karena wahyu telah terputus.”

Maulwi Abdullah selanjutnya berkata, “Jadi, ketika Ummu Aiman mengakui terputusnya wahyu, maka bagaimana saya dapat mengakui adanya wahyu setelah Rasulullah s.a.w.?”

Mirza Ghulam Ahmad menjawab dengan pertanyaan, “Apakah anda mengakui bahwa berdasar ayat “kuntum khaira ummatin” umat ini adalah umat terbaik?”

“Ya, saya percaya”, jawab Maulwi Abdullah mantap.

“Apakah anda mengakui bahwa berdasar ayat ‘auhaitu ilal hawariyyin’  Aku mewahyukan kepada para hawari (murid Isa a.s.); ‘wa auhaina ila ummi Musa’ dan Kami wahyukan kepada ibunda Musa; dan ‘wa auha rabbuka ilannahl’ dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, para sahabat Isa a.s., ibunda Musa a.s., lebah dan lain-lain menerima wahyu ilahi dan masih menerima?” kata Mirza Ghulam Ahmad.

“Ya, pasti!’ Maulwi abdullah membenarkan.

“Jadi umat ini telah dilampaui oleh sahabat Isa a.s., wanita-wanita dari umat Musa dan binatang-binantang, karena mereka mendapat wahyu sedang umat Muhammad s.a.w. yang merupakan khaira ummat (umat terbaik) tidak mendapat wahyu?” lebih lanjut Mirza Ghulam Ahmad melanjutkan bertanya.

“Wahyu-wahyu itu memang tertera dalam alqur’an.  Tapi apakah tertera di sana bahwa dalam umat Muhammad s.a.w. ini akan turun wahyu?” Maulwi abdullah menjawab dengan pertanyaan juga.

“”Ketika anda mengakui bahwa pada umat-umat terdahulu selalu turun wahyu sedangkan di dalam surah alfatihah Allah telah mengajarkan doa, yang tanpa itu anda yakin bahwa sholat tidak sah dan membacanya dalam tiap rakaat adalah wajib ’shiratalladzina anamta alaihim” yakni Ya Allah tunjukilah kami jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat atas mereka dan anugerahi kami keimanan itu.  Jadi ketika untuk orang-orang tersebut terdapat hikmah wahyu, lalu sebagai hasil dari doa itu, mengapa dalam umat ini tidak ada wahyu?” Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan.

Selanjutnya ia berkata: “Anda telah merujuk ayat ‘innalladzina qalu rabbunallahu tsummas taqomu tatanazzalu alaiihimul malaikatu ala takhofu wa la tahzanu wa absyiru biljannatil ladzi kuntum tuadun’ Orang-orang yang berkata bahwa Tuhan kami adalah Allah, lalu mereka intiqamah, kepada mereka para malaikat turun dan berkata, “janganlah takut dan bersedih hati” dan memberi kabar suka kepada mereka dengan surga yang kalian akan kekal di dalamnya.

“Turunnya wahyu dengan perantaraan para malaikat dalam ayat ini sudah menjadi kepastian bagi umat mukminin ini dan yang istiqamah. “lahumul busyra fil hayatidunya wa fil akhirati” yakni bagi umat mukmin terbaik ini mendapatkan kabar suka di dunia ini dan di akhirat kelak.  Jadi jika kabar suka itu bukan wahyu lalu apa?

Maulwi Abdullah berkata, “Tuan, memang benar bahwa turunnya wahyu terbukti dari ayat-ayat tersebut dan untuk umat ini.  Manakala bukti wahyu dalam umat ini tertera dalam alqur’an, lalu mengapa Ummu Aiman berkata, “wahyu telah tertutup” Apakah beliau tidak mengetahui ayat-ayat tersebut?

“Maulwi sahib! Tolong jelaskan, bagaimana huruf ‘alif lam’ di sini berlaku pada kata “al wahyu”? Alif lam ini mengisyaratkan  kepada wahyu yang biasa turun kepada Rasulullah s.a.w. yang setiap hari beliau perdengarkan kepada Ummu Aiman. Walhasil, itu adalah wahyu alqur’an dan syariat yang biasa turun kepada Rasulullah s.a.w. Wahyu itu benar-benar tertutup.  Dari situ terbukti bahwa wahyu jenis itu tertutup hingga hari kiamat. Sedangkan turunnya wahyu dengan jelas tertera dalam ayat-ayat alqur’an?”, Mirza Ghulam Ahmad kembali menerangkan memakai pertanyaan.

Maulwi Abdullah terdiam dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dari 21 pertanyaan yang akan ia ajukan hanya satu yang ditanyakan sudah membuat hatinya puas.  Selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad menyampaikan uraian berupa pidato yang panjang juga penuh dengan dalil di pertemuan tersebut.  Uraian itu juga ternyata menjawab sisa 20 pertanyaan tertulis yang masih tersimpan rapat dalam saku Maulwi Abdullah.  Padahal semua pertanyaan yang ia akan ajukan tak pernah diceritakan kepada seorangpun, tapi Mirza Ghulam Ahmad seperti mengetahui semua pertanyaan yang tertulis di saku Maulwi Abdullah.  Dan semuanya terjawab.

Maulwi Abdullah berkata dalam hatinya, ” Jika kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak turun wahyu, maka siapa yang telah memberitahukannya pertanyaan-pertanyaan yang ada tertulis di saku ini.”  mendapati semua pertanyaannya terjawab Maulwi Abdullah lalu meminta Mirza Ghulam Ahmad mengulurkan tangan untuk menerima baiatnya.

Sepulang dari Qadian dan telah melakukan baiat kepada Mirza Ghulam Ahmad, mayoritas penduduk Doaba Bari dan Chenab yang merupakan pengikut beliau justru berbalik arah.  Sebelumnya mereka menyatakan jika Maulwi Abdullah baiat kepada Mirza Ghulam Ahmad, mereka semua akan mengikutinya.  Tapi mereka justru memusuhi maulwi Abdullah bahkan berniat membunuhnya.

Kumpulan khutbah jum’at Hadhrat Mirza Masroor Ahmad khalifah V dari Jamaah muslim Ahmadiyah.

Arif S

Tambahan Info  :
Pada awalnya, tantangan mubahalah diajukan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad seperti ditemukan dalam buku beliau Anjam-e-Aatham yang diterbitkan tahun 1897 (Anjam-e-Aatham, Ruhani Khazain, Vol. 11, hlm. 45-72)
Saat itu Mirza Sahib berumur 62 tahun dan Maulvi
Sanaullah yang berasal dari Amritsar adalah seorang muda berusia 29 tahun. Daftar nama ulama yang diajak ber-mubahalah oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah dilampirkannya dalam buku Anjam-e-Aatham.
Dalam daftar itu terdapat nama Maulvi Sanaullah pada urutan nomor 11.
Maulvi Sanaullah diam beberapa tahun lamanya tidak menanggapi tantangan tersebut. Setelah sekitar lima tahun lamanya, para pendukungnya mulai menekan dia untuk menanggapi mubahalah itu.
Untuk pertama kalinya setelah lima tahun diam seribu bahasa, akhirnya ia menerima tantangan Hz. Ahmad yang di tulisnya dalam salah satu karangannya. Menanggapi hal itu, Hadhrat Ahmad kemudian menulis dalam buku Ijaz Ahmadi yang
diterbitkan pada tahun 1902 sebagai berikut:
“Saya telah melihat pemberitahuan Maulvi Sanaullah dari Amritsar yang mana ia menyatakan memiliki keinginan yang tulus untuk suatu keputusan, bahwa ia dan saya seyogyanya berdoa sehingga salah seorang di antara kita yang berdusta akan menemui ajal semasa hidup orang yang benar” (Ijaz Ahmadi, Ruhani Khazain, Vol. 19, hlm. 121)


Kendatipun faktanya pada saat itu Maulvi Sanaullah berumur 34 tahun dan Hadhrat Ahmad berumur 67 tahun, beliau tanpa ragu-ragu, dengan bersandarkan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa, menyatakan menerima tantangan Maulvi Sanaullah. Beliau menyatakan:
“Jika ia terus mengejar dan bersikukuh pada tantangannya dan si pendusta akan menemui ajalnya lebih dahulu dari yang benar,maka pastilah ia yang pertama akan menemui ajalnya” (Ijaz Ahmadi, Ruhani Khazain, Vol. 19, hlm. 14
Ada suatu indikasi yang jelas dalam kalimat pernyataan di atas bahwa Maulvi Sanaullah diharapkan menanggapi secara terbuka mubahalah itu, yang mana kondisinya ditetapkan sesuai dengan doanya sendiri.
Terlihat bahwa Hadhrat Ahmad menduga bahwa setelah Maulvi Sanaullah menetapkan kondisinya, akan mangkir dari apa yang akan ditetapkannya. Oleh sebab itu, selanjutnya untuk mempersiapkan hal tersebut, beliau menulis sebagai berikut:
“Ia telah datang dengan usulan yang baik, sekarang lihatlah apakah ia tetap berpegang pada hal itu” (Ijaz Ahmadi, Ruhani Khazain, Vol. 19, hlm. 122)
Hendaknya perlu diingat bahwa kejadian tersebut terjadi pada tahun 1902 dan buku Ijaz Ahmadi diterbitkan pada bulan November di tahun yang sama. Menanggapi hal itu, Maulvi Sanaullah menerbitkan sebuah buku berjudul Ilhamat Mirza (Wahyu-Wahyu Mirza), ia menulis:
“Saya tidak pernah mendakwakan diri seperti anda bahwa saya adalah seorang Nabi, atau seorang Rasul, atau seorang anak Tuhan, atau seorang penerima wahyu. Saya tidak dapat, oleh karena itu, tidak berani untuk ikut dalam pertandingan semacam itu. Perkataan anda bahwa jika saya mati sebelum anda, anda akan menyatakan bahwa [itu] adalah sebagai bukti kebenaran anda dan jika anda mati sebelum saya, maka siapakah yang akan pergi ke kuburan anda untuk diminta pertanggung-jawabannya? Itulah sebabnya mengapa anda mengemukakan tantangan yang
konyol itu. Saya menyesal, bagaimanapun juga, saya tidak berani ikut dalam kontroversi seperti itu dan kurangnya keberanian saya ini merupakan sumber kehormatan bagi saya dan bukanlah suatu sumber kehinaan” (Ilhamat Mirza, hlm. 116)
Tulisan ini mencerminkan alasan mangkirnya Maulvi Sanaullah untuk menghadapi tantangan Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. dengan ketentuan adanya doa yang seharusnya ia tampilkan.



Hadhrat Ahmad saat itu berumur 67 tahun dan Maulvi Sanaullah berumur 34, dan ternyata terbukti bahwa Maulvi Sanaullah tidak berpegang pada ketentuan yang seharusnya ada dalam pertandingan doa(mubahalah).

No comments:

Post a Comment