Jika bahtera Endeavour tidak mengalami kekurangan bekal dan kerusakan saat perjalanan pulang dari Australia, mungkin kisah bersejarah ini tak pernah ada. Demikian alasan Kapten James Cook berjejak di Batavia yang tersirat dalam laporannya, Journal of the Proceedings of His Majesty’s Bark Endeavour, on a Voyage Round the World.
Siapa tak mengenal Kapten James Cook, seorang navigator laut sohor asal Inggris. Dalam poster Perintis Jalan Bahtera Eksplorasi sisipan National Geographic edisi Juli 2013, nama James Cook tercatat sebagai salah satu penempuh perjalanan eksplorasi yang melewati Samudra Pasifik. Dia melakukan tiga kali ekspedisi: 1768-71, 1772-75, dan 1776-79.
Kapten Cook, yang saat itu berusia 39 tahun, berangkat meninggalkan Inggris pada 26 Agustus 1768 atas dukungan The Royal Society, London. Tujuan pelayaran penjelajahan pertamanya adalah ke Tahiti di Samudra pasifik untuk mengobservasi Transit Venus—peristiwa yang dapat disaksikan dari bumi saat Venus melintasi Matahari. Sementara, misi rahasianya: mengeksplorasi Terra Australis Incognita, sebuah tanah tak bertuan di sisi selatan Hindia Timur. Semuanya tercapai.
Saat perjalanan pulang, Kapten Cook melewati lautan di selatan Jawa, kemudian berbelok menyusuri Selat Sunda. Mereka mendarat di Batavia, sebuah kota dengan kastil megah sebagai kantor pusat VOC, pada 10 Oktober 1770.
Selama seminggu pertama di kota itu dia berjumpa dengan Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus van der Parra. Mereka membicarakan biaya perbaikan Endeavour.
Kemudian Kapten Cook dan awaknya melanjutkan pelayaran ke Pulau Onrust di Kepulauan Seribu untuk mengisi perbekalan dan memperbaiki bahtera. Mereka kembali ke Batavia lagi pada 8 sampai 25 Desember 1770, lalu melanjutkan pelayaran menuju Tanjung Harapan.
Menurutnya, sebagian jalan Batavia memiliki kanal-kanal air yang kemudian bersatu sekitar setengah mil sebelum aliran itu ke laut. “Komunikasi antara laut dan kota dilakukan lewat kanal, dan hanya siang hari,” demikian tulis Cook. “Ketika malam pintu penghubungnya ditutup batang kayu.”
Dia juga melukiskan sebuah jalan di Batavia dengan perahu-perahu di kanal dengan penanda sebuah kubah gereja. Rupanya, kawasan yang dimaksud Cook adalah sepanjang Kalibesar, sementara kubah gereja yang dimaksud kini menjelma menjadi Museum Wayang.
Mereka cukup lama di kawasan pelabuhan nan masyhur ini. Sayangnya, Cook datang saat kota ini mulai kehilangan pamornya sebagai “Ratu dari Timur”. Kota ini mulai menapaki sebutannya sebagai “Kuburan Orang Eropa.”
Saat itu dalam tembok kota keadaannya sangat tidak sehat, kanal-kanal yang mendangkal dan mandek lantaran letusan Gunung Salak pada 1699. Situasi diperparah dengan aturan yang membolehkan warga untuk membuang sampah dan tinja di kanal.
Kapten Cook berkesempatan menyusuri kota itu. “Batavia adalah tempat di mana orang Eropa tidak ingin untuk mengunjunginya. Tetapi, jikalau terpaksa ke kota ini, mereka akan melakukannya sesingkat mungkin,” tulis Kapten Cook di laporannya, “kalau tidak mereka akan segera merasakan efek dari udara tak sehat di Batavia.”
Lalu dia melanjutkan tulisannya, “Saya yakin, di sini banyak dijumpai kematian orang Eropa ketimbang tempat lain di manapun seantero bola dunia.”
“Kami datang ke sini dengan kondisi sesehat kapal yang siap melaut,” ungkapnya dalam jurnal itu. “Setelah tinggal tidak kurang dari tiga bulan di bengkel kapal [Pulau Onrust], kami kehilangan tujuh orang.”
Namun, seorang Kapten Belanda berujar kepadanya bahwa dia dan awak kapalnya sangat beruntung, lantaran tidak kehilangan separuhnya. Endeavour memang tiba saat musim hujan, kondisi tahunan ketika malaria menjangkit hebat di Batavia.
Kapten Cook heran atas kenyataan bahwa hanya satu pelaut awaknya yang tidak sakit selama di Batavia. Dia pelaut tua, usianya lebih dari 70 tahun dan gemar minum alkohol. Bisa jadi alkohol menjadi penyelamatnya.
Namun, Kapten Cook tak hanya berkeluh kesah tentang kota ini. Tampaknya dia juga keluyuran hingga ke luar tembok kota menyusuri Molenvliet—kini Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Dia bersaksi atas sebuah bangunan “observatorium sangat elegan milik Tuan Mohr, dilengkapi dengan berbagai peralatan seperti kebanyakan wahana astronomi di Eropa," demikian tulisnya.
Pada abad ke-18, sebuah kubah observatorium berlantai enam milik Johan Maurits Mohr memang menjadi penanda kota yang berlokasi di kawasan Glodok, tak jauh dari Klenteng Jin De Yuan.
Sejak Endeavour berjejak di Batavia hingga minggu-minggu terakhir pelayarannya menuju Eropa, sebanyak 30 dari 94 pelautnya tewas—di Batavia atau dalam perjalanan—karena desentri dan malaria.
James Cook tak pernah berkunjung ke Batavia lagi, bukan lantaran kenangan buruk atas kota itu, melainkan dia tewas saat perseteruan dengan pribumi Hawaii, pada 1779. Tragisnya, jasad Cook dipanggang untuk memudahkan suku setempat mengupas dagingnya, dan kerangkanya diawetkan sebagai ikon religius.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Siapa tak mengenal Kapten James Cook, seorang navigator laut sohor asal Inggris. Dalam poster Perintis Jalan Bahtera Eksplorasi sisipan National Geographic edisi Juli 2013, nama James Cook tercatat sebagai salah satu penempuh perjalanan eksplorasi yang melewati Samudra Pasifik. Dia melakukan tiga kali ekspedisi: 1768-71, 1772-75, dan 1776-79.
Kapten Cook, yang saat itu berusia 39 tahun, berangkat meninggalkan Inggris pada 26 Agustus 1768 atas dukungan The Royal Society, London. Tujuan pelayaran penjelajahan pertamanya adalah ke Tahiti di Samudra pasifik untuk mengobservasi Transit Venus—peristiwa yang dapat disaksikan dari bumi saat Venus melintasi Matahari. Sementara, misi rahasianya: mengeksplorasi Terra Australis Incognita, sebuah tanah tak bertuan di sisi selatan Hindia Timur. Semuanya tercapai.
Saat perjalanan pulang, Kapten Cook melewati lautan di selatan Jawa, kemudian berbelok menyusuri Selat Sunda. Mereka mendarat di Batavia, sebuah kota dengan kastil megah sebagai kantor pusat VOC, pada 10 Oktober 1770.
Selama seminggu pertama di kota itu dia berjumpa dengan Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus van der Parra. Mereka membicarakan biaya perbaikan Endeavour.
Kemudian Kapten Cook dan awaknya melanjutkan pelayaran ke Pulau Onrust di Kepulauan Seribu untuk mengisi perbekalan dan memperbaiki bahtera. Mereka kembali ke Batavia lagi pada 8 sampai 25 Desember 1770, lalu melanjutkan pelayaran menuju Tanjung Harapan.
Menurutnya, sebagian jalan Batavia memiliki kanal-kanal air yang kemudian bersatu sekitar setengah mil sebelum aliran itu ke laut. “Komunikasi antara laut dan kota dilakukan lewat kanal, dan hanya siang hari,” demikian tulis Cook. “Ketika malam pintu penghubungnya ditutup batang kayu.”
Dia juga melukiskan sebuah jalan di Batavia dengan perahu-perahu di kanal dengan penanda sebuah kubah gereja. Rupanya, kawasan yang dimaksud Cook adalah sepanjang Kalibesar, sementara kubah gereja yang dimaksud kini menjelma menjadi Museum Wayang.
Mereka cukup lama di kawasan pelabuhan nan masyhur ini. Sayangnya, Cook datang saat kota ini mulai kehilangan pamornya sebagai “Ratu dari Timur”. Kota ini mulai menapaki sebutannya sebagai “Kuburan Orang Eropa.”
Saat itu dalam tembok kota keadaannya sangat tidak sehat, kanal-kanal yang mendangkal dan mandek lantaran letusan Gunung Salak pada 1699. Situasi diperparah dengan aturan yang membolehkan warga untuk membuang sampah dan tinja di kanal.
Kapten Cook berkesempatan menyusuri kota itu. “Batavia adalah tempat di mana orang Eropa tidak ingin untuk mengunjunginya. Tetapi, jikalau terpaksa ke kota ini, mereka akan melakukannya sesingkat mungkin,” tulis Kapten Cook di laporannya, “kalau tidak mereka akan segera merasakan efek dari udara tak sehat di Batavia.”
Lalu dia melanjutkan tulisannya, “Saya yakin, di sini banyak dijumpai kematian orang Eropa ketimbang tempat lain di manapun seantero bola dunia.”
“Kami datang ke sini dengan kondisi sesehat kapal yang siap melaut,” ungkapnya dalam jurnal itu. “Setelah tinggal tidak kurang dari tiga bulan di bengkel kapal [Pulau Onrust], kami kehilangan tujuh orang.”
Namun, seorang Kapten Belanda berujar kepadanya bahwa dia dan awak kapalnya sangat beruntung, lantaran tidak kehilangan separuhnya. Endeavour memang tiba saat musim hujan, kondisi tahunan ketika malaria menjangkit hebat di Batavia.
Kapten Cook heran atas kenyataan bahwa hanya satu pelaut awaknya yang tidak sakit selama di Batavia. Dia pelaut tua, usianya lebih dari 70 tahun dan gemar minum alkohol. Bisa jadi alkohol menjadi penyelamatnya.
Namun, Kapten Cook tak hanya berkeluh kesah tentang kota ini. Tampaknya dia juga keluyuran hingga ke luar tembok kota menyusuri Molenvliet—kini Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Dia bersaksi atas sebuah bangunan “observatorium sangat elegan milik Tuan Mohr, dilengkapi dengan berbagai peralatan seperti kebanyakan wahana astronomi di Eropa," demikian tulisnya.
Pada abad ke-18, sebuah kubah observatorium berlantai enam milik Johan Maurits Mohr memang menjadi penanda kota yang berlokasi di kawasan Glodok, tak jauh dari Klenteng Jin De Yuan.
Sejak Endeavour berjejak di Batavia hingga minggu-minggu terakhir pelayarannya menuju Eropa, sebanyak 30 dari 94 pelautnya tewas—di Batavia atau dalam perjalanan—karena desentri dan malaria.
James Cook tak pernah berkunjung ke Batavia lagi, bukan lantaran kenangan buruk atas kota itu, melainkan dia tewas saat perseteruan dengan pribumi Hawaii, pada 1779. Tragisnya, jasad Cook dipanggang untuk memudahkan suku setempat mengupas dagingnya, dan kerangkanya diawetkan sebagai ikon religius.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
No comments:
Post a Comment