Monday, July 22, 2013

Menggugat (Kembali) Keberadaan Wali Songo

Jika anda membaca Ensklopedia Islam setebal tujuh jilid terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve dan mencari informasi tentang Wali Songo, niscaya anda tak akan menemukan secuial pun mengenainya.
Sebaliknya, di dalam Ensklopedia Islam tersebut justru anda akan menemukan kisah tiga serangkai Haji asal Sumatera Barat, H Miskin, H Piabang dan H Sumanik, sebagai pembawa ajaran Islam ke wilayah Sumatera Barat pada tahun 1803 M.
Dua paragraf di atas adalah kutipan yang saya ambil dari prakta penulis buku “Atlas Wali Songo”, Agus Sunyoto. Buku yang menjadi best seller, yang mengupas tuntas perihal Wali Songo dengan banderol harga selangit.
Bila benar apa yang dituliskan oleh sejarawan Agus Sunyoto, maka 20 tahun ke depan Wali Songo dipastikan akan tersingkir dari percaturan akademis karena keberadaan mereka tidak lagi “legitimate” dalam Ensklopedia Islam. Wali Songo akan terlempar dari ranah sejarah dan tinggal mengisi ruang hampa sebagai cerita mitos dan dongeng pengantar tidur belaka.
Sebaliknya, anak-cucu kita kelak akan memiliki pemahaman bahwa Islam baru masuk ke wilayah Nusantara pada tahun 1803 M, yaitu saat tiga serangkai haji itu menyebarkan ajaran Islam ala Wahabi ke Sumatera Barat.
Agus membantah Ensklopedia tersebut. Ia menyebutnya sebagai tindakan yang ahistoris. Mengingkari sejarah dan berbagai fakta mengenai keberadaan Wali Songo. Lebih tajamnya, Agus menduga ada beberapa pihak yang menggalang usaha yang sistematis untuk “membasmi” paham “mainstream” Islam Nusantara, yang secara sosiokultural-religius dianut oleh berbagai varian sosial dan diwakili oleh kalangan NU. Dan itu dimulai dari para Wali Songo, yang nota bene menjadi “tokoh” idolo masyarakat NU.
Di sini saya membenarkan pernyataan Agus Sunyoto yang menyebut penghapusan Wali Songo sebagai tindakan ahistoris. Sebab, sejarah melalui berbagai catatan dan bukti-bukti arkeologis telah dengan pasti memberi fakta dari keberadaan Wali Songo, baik sebagai dewan atau pun sebagai individu.
Salah satu sumber yang sering menjadi rujukan utama para sosiolog, antropolog dan sejarawan yang mengungkap keberadaan Wali Songo ialah “Het Book Van Mbonang”. Hingga detik ini literatur itu masih tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda.
Demikian pentingnya dokumen “Het Book Van Mbonang”, sehingga Prof. Hasanu Simon pernah berujar bahwa, “Seandainya tak ada “Het Book Van Mbonang”, niscaya keberadaan sejarah Islam abad ke 16 di Nusantara amat sukar dilacak.”
Dokumen tersebut dipandang penting, karena dianggap sebagai satu-satunya sumber yang merekam tentang keberadaan Wali Songo dan pergulatan ideologi dengan Syekh Siti Jenar. Selain itu, “Het Book Van Mbonang” juga dianggap sebagai dokumen yang menceritakan Wali Songo dengan cukup realistis, tanpa dibarengi bumbu-bumbu penyedap kisah bernama mistis dan mitos.
Agaknya -ke depan- yang perlu dihapuskan oleh umat untuk diwariskan kepada anak-cucu kita bukan lah dengan menghapus keberadaan Wali Songo yang nyata fakta historis, melainkan menghapus keberadaan mitos-mitos di seputar Wali Songo atau memilih jalan yang memutar, yakni dengan menerjemahkannya sebagai suatu simbol atau metafora dari Wali Songo.
Seperti keberadaan keris bernama “Kolomunyeng” yang -konon- bisa terbang. Konon pula, keris ini dimiliki oleh alm. Kiai Langitan Tuban yang kemudian diwariskannya kepada alm. Gus Dur menjelang detik-detik penglengseran Beliau dari kursi ke-Presidenan.
Akhirnya, kita kembali kepada pernyataan Agus Sunyoto bahwa keberadaan Wali Songo adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka yang coba menghapus keberadaan Wali Songo adalah orang-orang yang selama ini “kecewa” dengan dakwah Wali Songo, yang cenderung -menurut mereka- penuh dengan unsur bid’ah dan “sinkritisme”. Lebih dari itu, mereka menyatakan bahwa dakwah Wali Songo tak ubahnya laksana cat, yang apabila mengelupas, maka akan terlihat wajah aslinya yang cenderung berwajah Syiwa-Buddha ketimbang Islam.
Apa yang mereka tuduhkan itu sejatinya tidak lebih sebagai upaya untuk mengganti pemahaman Islam “mainstream”, yang telah terakulturasi dengan baiknya antara agama dan budaya setempat, dengan pemahaman Islam ala Wahabi, yang jauh dari kesan (meminjam istilah Gus Dur) “mem-pribumi”.
Sehingga upaya menghapus keberadaan Wali Songo dan menghembuskannya sebagai fiktif adalah suatu tindakan yang ahistoris. Meski Ensklopedia Islam menghapus keberadaan Wali Songo, namun tradisi lisan dan tradisi di sekitar masyarakat Jawa justru membuktikan akan keberadaan Wali Songo.
Selain itu, fakta-fakta sejarah yang telah ditemukan semakin menguatkan bukti bahwa keberadaan Wali Songo adalah historis. Bukan sekedar tokoh fiktif sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian pihak.
Gitu aja koq repot!

Gilang D

No comments:

Post a Comment