Wednesday, July 24, 2013

Mengapa Harus Ada Candi

Berterimakasihlah kepada mereka yang telah membangun dan menanamkan ribuan Candi di tanah ini. Penemuan beberapa candi sebagai bukti catatan sejarah jelas akan memperkaya pengetahuan kita tentang kehidupan para leluhur bangsa ini. Dari sana pun kita akan mengharapkan sebuah implementasi ilmu dalam kehidupan hari ini sebagai bentuk nyata konsistensi manusia terhadap proses pembelajaran.

Pembahasan panjang di ranah teori praduga tak bersalah tentang struktur bangunan candi masih belum menemukan teori valid yang mengupas habis tentang itu semua secara mendetail. Layaknya seorang bayi yang baru lahir, maka keinginan-tahuannya akan lebih besar dari pada masa pertumbuhannya. Jadi seakan keingin-tahuan pun berlomba adu cepat dengan waktu untuk tumbuh.

Iya. Kita sudah semestinya berterimakasih kepada mereka yang telah membangun dan menanamkan ribuan candi di tanah ini. Karena dengan begitu, bencana alam yang disebabkan guncangan Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire dapat diminimalisir. Cincin Api Pasifik adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km.

Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Cincin Api Pasifik adalah area dimana terdapat banyak sekali terjadi gempa dan letusan gunung berapi di dalam area Samudera Pasifik. Dalam bentuk seperti tapal kuda dengan panjang 40.000 km, itu dikaitkan dengan palung samudera, vulkanik busur, dan sabuk vulkanik dan pergerakan lempeng yang terjadi terus menerus serta berdekatan. Cincin Api memiliki 452 gunung berapi dan merupakan rumah bagi lebih dari 75% gunung berapi aktif dan tidak aktif di dunia. Kadang-kadang disebut circum-Pacific belt atau circum-Pacific seismic belt.

Cincin Api adalah akibat langsung dari lempeng tektonik dan pergerakan serta tabrakan dari lempeng kerak. Bagian timur cincin adalah hasil dari Lempeng Nazca dan Lempeng Cocos menjadi sub bagian di bawah bergerak ke arah barat Lempeng Amerika Selatan. Sebagian dari Lempeng Pasifik bersama dengan lempeng Juan de Fuca kecil sedang sub bagian di bawah Lempeng Amerika Utara. Sepanjang bagian utara dengan lempeng Pasifik bergerak ke arah barat laut sedang sub bagian Kepulauan Aleut di bawah busur. Lebih ke barat lagi lempeng Pasifik sedang sub bagian sepanjang sabuk Semenanjung Kamchatka di selatan melewati Jepang. Bagian selatan lebih kompleks dengan sejumlah kecil lempeng tektonik bertabrakan dengan lempeng Pasifik dari Kepulauan Mariana, Filipina, Bougainville, Tonga, dan Selandia Baru.

Indonesia terletak di antara Cincin Api sepanjang kepulauan timur laut berbatasan langsung dengan New Guinea dan di sepanjang sabuk Alpide selatan dan barat dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, dan Timor. Yang terkenal dan sangat aktif zona Patahan San Andreas di California adalah sebuah kesalahan yang mengubah offset sebagian dari Pasifik Timur Naik barat daya di bawah Amerika Serikat dan Meksiko. Gerakan kesalahan kecil menghasilkan banyak gempa bumi, pada beberapa kali sehari, yang kebanyakan terlalu kecil untuk dirasakan.

Queen Charlotte Fault aktif di pantai barat Ratu Charlotte Islands, British Columbia, Kanada, telah menghasilkan tiga gempa bumi besar pada abad ke-20: 7 besaran peristiwa pada tahun 1929, yang berkekuatan 8,1 terjadi pada tahun 1949 (terbesar di Kanada tercatat gempa bumi) dan 7,4 besaran pada tahun 1970. Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (56% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatera, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika. Berikutnya adalah Mid-Atlantic Ridge, sabuk ketiga tempat sering terjadinya gempa.

Dari sebanyak 129 gunung api di Indonesia atau 13 persen dari seluruh gunung api di dunia, terbentang dari pulau Sumatera menyusuri pulau Jawa kemudian menyeberang ke Bali, Nusa Tenggara hingga bagian timur Maluku dan berbelok ke utara pulau Sulawesi. Atau melingkari Kepulauan Indonesia sehingga dikenal dengan sebutan lingkaran api (The Ring of Fire) Indonesia, atau jalur tektonik Indonesia, tegas Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi, Dr Surono, Senin (25/2).

Banyaknya gunung api di Indonesia, karena negara kepulauan ini tercabik-cabik oleh keberadaan pusat hiruk-pikuk tiga lempeng tektonik (tectonic plate), yang saling bertabrakan, katanya. Masing-masing lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, tumbukan ketiga lempeng tersebut pada akhirnya membentuk rangkaian gunung api di Indonesia.

Dijelaskan, kawasan ini menjadi arena benturan antara lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara terhadap lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah barat. Sehingga kepulauan Indonesia dihimpit oleh dua pergerakan, terdiri ke utara dan ke barat dengan kecepatan berkisar 4-6 cm per tahun, maka lempeng yang berbenturan tersebut menunjang tepat di bawah kepulauan Indonesia dan memberi peluang kepada magma merayap naik, persis diatas Nusantara dan membentuk banyak pulau.

Di bagian utara terdapat lempeng yang ketiga, lempeng Eurasia yang menahan himpitan tersebut sehingga Nusantara berada dalam lingkaran pertarungan tiga lempeng besar dunia. Akibat benturan ketiga lempeng itu, menyebabkan retaknya beberapa bagian pada kerak bumi, selain menimbulkan panas yang memproduksi batuan cair (magma). Melalui retakan-retakan yang terbentuk, sekaligus sebagai bidang lemah, magma terdorong naik dan membentuk kerucut-kerucut gunung api.

Sementara itu, zona subduksi yang terbentuk sangat luas dimulai dari sisi selatan barat pulau Sumatera hingga sisi selatan pulau Jawa, zona tersebut berlanjut hingga Nusa Tenggara yang memanjang dari barat ke timur. Kemudian di bagian timur Nusantara jalurnya memutar dimulai dari laut Banda di Maluku berputar ke utara memotong Sulawesi bagian utara, tegasnya.
Saat ini terdapat dua gunung api berstatus siaga, gunung api Krakatau di Selat Sunda telah meletus sedangkan gunung api Lokon di Sulawesi terus-menerus mengeluarkan asap tebal. Gunung berapi di Indonesia adalah yang terakftif diantara tempat lainnya yang termasuk dalam Ring Api Pasifik. Mereka terbentuk dari daerah sub bagian antara lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.

Beberapa dari gunung berapi mencatatkan letusannya, misal, Krakatau yang meberikan efek global pada 1883, Danau Toba untuk letusan supervolcanic yang diperkirakan terjadi pada 74.000 SM yang bertanggung jawab atas 6 tahun musim dingin, dan Gunung Tambora yang merupakan letusan tersadis yang tercatat dalam sejarah di tahun 1815.

Gunung berapi paling aktif adalah Kelud dan Merapi di Pulau Jawa yang telah membunuh ribuan penduduk di sekitarnya. Sejak tahun 1.000, Kelud telah meletus 30 kali, dimana yang terbesar dengan skala 5 dalam Index Letusan Gunung Berapi, di saat Merapi meletus lebih dari 80 kali. The International Association of Volcanology and Chemistry menjulukki Merapi sebagai gunung berapi 10 tahunan sejak 1995 atas tingginya aktifitas gunung berapi (Sumber: http://skyzerx.blogspot.com).

Sebagai referensi tambahan, di Indonesia ada sekitar 60 gunung api yang masih aktif. Gunung api ini paling banyak tersebar di Sumatera, Jawa, Bali-Lombok-Nusa Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur, bagian utara Sulawesi dan Maluku. Gunung Krakatau, Gunung Tambora dan Gunung Merapi adalah gunung yang terkenal karena letusannya yang dahsyat dan keaktifannya. Sejak abad ke-10 (sekitar tahun 1.000an) hingga sekarang, Gunung Merapi sudah meletus sebanyak 80 kali.

Sekitar 12 lokasi di Indonesia termasuk dalam kawasan Cincin Api Pasifik. Mereka adalah: Gunung Tambora (Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat), Toba-Sibayak-Sinabung-Tarutung (Gunung api dan sesar tektonik di Sumatera Utara), Gunung Krakatau (Gunung api bawah laut di Selat Sunda), Gunung Agung-Batur-Rinjani (Bali, Lombok), Gunung Semeru-Penanggungan-Bromo-Ijen-Kelud (Jawa Timur), Gunung Merapi-Merbabu-Lawu-Sindoro-Sumbing-Dieng (Jawa Tengah), Gunung Tangkuban Perahu-Salak-Papandayan-Galunggung (Jawa Barat), Gunung Kerinci-Dempo-Sorik Merapi (Sumatera), Gunung Rokatenda-Egon-Lewo-Tobi-Ende-Larantuka (Nusa Tenggara Timur), Sangihe-Ambon-Ibu-Saputan (Kepulauan Ambon), Liwang-Padang-Aceh-Palu (Sesar
Darat), Mentawai-Nias-Simeulue (Pulau di batas benua).

Selain kerugian zona yang terlewati Cincin Api Pasifik sangat berbahaya karena rawan mengalami gempa tektonik yang juga dapat mengakibatkan gempa vulkanik seperti meletusnya gunung api. Sedangkan keuntungan dan manfaatnya yaitu : wilayah yang termasuk ke dalam zona Cincin Api, khususnya Indonesia memiliki banyak sekali potensi sumber daya alam geothermal atau energi panas bumi yang mana area panas bumi ini adalah salah satu energi terbaharukan yang dapat dijadikan energi panas listrik maha dahsyat. Dan Indonesia salah satu sumber daya alam energi panas bumi terbesar di dunia. Selain itu juga terdapatnya jenis berbagai mineral baru yang terdapat di permukaan. Dan terdapatnya area yang mengandung h2s04 belerang sulfur dan banyak lainya.

Lantas, apa keterkaitan adanya candi-candi di beberapa lokasi khususnya banyak terdapat di Indonesia dengan Cincin Api Pasifik tersebut? Sejauh ini, kita mengasumsikan keberadaan candi digunakan sebagai tempat peribadatan manusia terdahulu yakni para leluhur Bangsa Indonesia. Biasanya candi akan dibangun dengan ornamen maupun unsur penokohan sesuai dengan masa pemerintahan dibangunnya candi tersebut. Jelas sejauh ini pengertian kita akan keberadaan fungsi adanya atau dibangunnya candi diperuntukan untuk peribadatan. Benarkah demikian? Berbeda pendapat jelas boleh, karena kita memang bebas mengutarakan pemikiran-pemikiran sejauh teori itu masih bisa dipertanggung-jawabkan.

Sekarang, kita coba pahami lebih dalam tentang candi itu sendiri. Pertama yakni bagaimana candi itu dibangun? Benarkah candi yang ada di Indonesia di bangun menggunakan cara yang tidak realistis sehingga dapat dibangun hanya dalam waktu semalam? Atau apakah memang Tuhan menciptakan jenis yang berbeda antara manusia terdahulu atau para leluhur bangsa ini dengan manusia sekarang? Bukankah sudah jelas bahwa makhluk bernama manusia itu hakikat jenisnya tetap sama dengan kodratnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Jadi pasti Tuhan tidak akan membedakan penciptaan jenis manusia dulu dan sekarang: manusia tetap dianugerahi akal sebagai makhluk sempurna dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Kita semua tahu, pembangunan candi tidak dilakukan asal-asalan. Bahkan butuh waktu yang tidak sebentar, sepertihalnya Candi Borobudur yang membutuhkan waktu 100 tahun untuk membangunnya. Bahkan kita pun bisa melihat sendiri kualitas bangunan candi itu yang masih mampu berdiri kokoh, sekalipun beberpa kali guncangan alam sempat menggoyangnya juga sempat menenggelamkannya. Bangunan Candi Borobudur jels lebih berkualitas dibandingkan bangunan Jembatan di Tenggarong, Kalimantan Timur yang runtuh beberapa waktu lalu.

Ketidak-asal-asalannya pembangunan candi oleh para leluhur bangsa ini mengundang manusia kekinian berdecak kagum. Hal itu masih jadi pembahasan yang ramai beberapa pihak terkait. Pasalnya, dari pembahasan itu dikeluarkan sebuah teori tentang rumus arsitek atau struktur ruang bangun yang mencengakan. Karena seperti yang dilangsir dari http://detik.com pada 2011 lalu, Candi Borobudur dibangun antara tahun 750 dan 842. Namun siapa sangka candi tersebut dibangun dengan menggunakan perhitungan matematika yang baru dikenal pada sekitar tahun 80-an. “Candi Borobudur bersifat fraktal, sebuah struktur geometri kontemporer yang baru dikenal pada dekade 80-an di ilmu matematika modern,” kata peneliti Bandung Fe Institute, Rolan MD, dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (14/11/2011).

Penelitian tersebut berlangsung sejak 2008 hingga 2011. Dari penelitian itu diketahui bahwa candi-candi di Pulau Jawa dibangun secara algoritimik atau seperti proses pembuatan program komputer, dengan mengikuti prosedur otomata selular totalistik. “Riset ini juga menunjukan arahan bahwa seluruh candi dibangun dengan rumus yang sama, namun memiliki kondisi inisial dan aturan pembangunan yang berbeda,” imbuh Rolan.

Suatu hal yang tidak terduga bahwa ilmu matematika modern telah diadaptasi dalam pembangunan candi yang memiliki tinggi asli 42 meter ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada abad 8-9, peradaban Jawa telah membangun karya seni 3 dimensi yang sangat kompleks, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. “Rumusnya sama tapi penyusunannya beda,” tandasnya.

Dalam dimensi yang lebih abstrak, apabila candi atau kuil itu merupakan suatu kompleks maka seluruh bangunan beserta komponennya itu mencerminkan suatu skema atau diagram ritual yang lebih sering disebut dengan istilah Yantra atau Mandala. Mandala secara harafiah disebut lingkaran dalam bahasa Sansekerta, asal muasal dari semua penciptaan, bergerak dengan cara berputar. Rigweda mengenalkan Mandala sebagai nama dari pekerjaan. Mandala juga adalah istilah dari salah satu sepuluh buku Rigweda, kitab suci agama Hindu (Sruti).

Diagram Yantra Hindu adalah desain Mandala di kepercayaan Buddha. Yantra berbentuk geometri suci yang menggambarkan aksara simbol Hindu yang mewakili dimensi dan kedudukan para Dewa (Dev: sinar suci). Obyek yang indah ini bermanfaat sebagai pusat ritual meditasi dalam praktek Sadhana karena dianggap sebagai pintu pewahyuan, di setiap simbol Yantra beresonansi secara sintesis yang memberikan pengalaman spiritual dari segi konsep kosmik, contoh popular di masa kini adalah meditasi transedental - laku japa mantra (berucap mantram suci selama 20 menit).

Kata Yantra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti alat atau sarana; dan secara lebih khusus digunakan untuk menyebut alat yang digunakan oleh para yogi atau brahmana untuk bermeditasi. Lebih spesifik lagi, kata Yantra yang berasal dari akar kata ‘yam’ juga berarti mendukung, menopang, atau menyokong kekuatan-kekuatan yang melekat pada suatu unsur, objek, atau konsep. Di India Selatan, peran Yantra sangat penting, terutama dalam mendirikan bangunan-bangunan suci yang diperuntukkan bagi Çakti. Yantra juga diletakkan dalam pondasi garbhagrha, serta pada sudut-sudut penting di suatu candi. Yantra juga berpengaruh pada komposisi berbagai pahatan arca yang menempel atau menghiasi, baik dinding luar maupun dinding dalam candi.

Akhir-akhir ini, dari penemuan manuskrip yang ditemukan di Orissa (Silpa-Prakasa) yang berasal dari abad 9-12 M, diperoleh gambaran tentang candi dan upacara perencanaan candi yang dikenal dengan aliran kanan (menganankan bangunan). Menurut buku petunjuk ini maka sebelum suatu Candi didirikan, terlebih dahulu harus ditancapkan sebuah pasak di tanah yang menyimbolkan sebagai axis utama dari alam semesta yang disebut dengan istilah Yantra Garbha (the womb of the yantra). Kemudian, dari titik sentral itu ditarik garis melingkar, termasuk ke sepuluh penjuru mata angin, termasuk zenit dan nadir. Masing-masing arah itu dianggap merupakan tempat kedewaan dan dari kesepuluh titik itulah perencanaan suatu kuil dilakukan.

Dalam kaitannya dengan arsitektur, suatu Yantra bukanlah merupakan denah (ground-plan) untuk suatu candi, melainkan skema dasar tentang denah-denah suci dalam pembangunan suatu candi yang harus dipenuhi. Dasar anggapan ini terutama karena dimensi serta ukuran arsitektur kuil atau candi dianggap sebagai hal yang sifatnya spesifik dan oleh karenanya maka diperlukan aturan-aturan yang sifatnya ritual dalam rangka menyusun kerangka dasarnya. Oleh karena sifatnya yang sakral itu maka pembangunan suatu candi atau kuil harus benar-benar mengikuti aturan yang ditentukan dan tidak boleh diubah secara semena-mena atau sekehendak hati pembuatnya.

Secara sederhana kata Mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang menggambarkan ploting kedudukan dewa-dewa secara hierarkis. Pada mulanya, konfigurasi bentuk Mandala itu berkembang dari bentuk persegi yang mewakili keempat penjuru mata angin, selanjutnya berkembang menjadi bentuk segi delapan, dua belas, tiga puluh dua, dan seterusnya, sehingga membentuk diagram-diagram tertentu. Dari sejumlah besar titik sudut itu maka bagian tengah merupakan bagian yang paling penting karena menjadi tempat kedudukan arca utama atau simbol lain yang menggantikan arca itu. Titik-titik di bagian luarnya secara melingkar dan mengelilingi titik tengah tadi merupakan tempat kedudukan dewa-dewa lain yang lebih rendah.

Psikoanalis Carl Jung menyebut Mandala sebagai representasi dari ketidak-sadaran, percaya pada pola-pola ini sebagai sarana untuk memahami kepribadian dengan totalitas. Seni dan spiritual Mandala di Tibet memakai teknik Anuttarayoga Tantra, sejenis yoga yang dipraktekkan para Bhikku yang terseleksi sejak kelahiran untuk berlatih teknik spiritual tersebut dan percaya pada kekuatan psikis yang menarik energi dari dimensi Buddha Himalaya, di dalam proses dan kondisi meditatif menciptakan Mandala dan aksara-aksara suci. Tantra Hindu menganggap bathin manusia sebagai mikrokomos yang mengetahui hukum semesta makrokosmos. Pengertian kosmos yang paling umum adalah suatu sistem yang teratur atau berada dalam harmoni, antitesis dari khaos. Ilmu kosmologi mempelajari struktur dan sejarah alam semesta, berhubungan erat dengan asal mula dan evolusi.

Alat satu-satunya yang bersedia dari ilmu sains adalah teknologi mengukur gelombang otak dan jantung hati. Menurut Dr. Dorothy M. Neddermeyer (PhD), jantung hati melebihi vibrasi yang dihasilkan otak. Baginya, Mandala melambangkan pergerakan jiwa ke inti dari makhluk rohani, yang harus mengarah pada rekonsiliasi internal dan integritas baru oleh Sang Diri. Menyetujui desain dan bentuk Mandala adalah hubungan antara bumi dan langit yang menunjukkan cara kerjanya. Hal ini kemudian diisi dengan fungsi warna permintaan (syarat) bermeditasi. - Niki Saraswati & Odette Bouyatt, Les Mandalas de Niki.

Di dalam kosmologi Hindu, permukaan bumi berbentuk segi empat, suatu bentuk yang paling fundamental dari seluruh bentuk dalam Hindu., dimana empat sudutnya mengacu pada 4 arah mata angin : Utara, Selatan, Timur dan Barat (disebut Chaturbuhuji/empat sudut) yang diujudkan dalam bentuk simbolis yang disebut Prithvi Mandala. Kramrisch (1981) menyebutkan: The surface of the earth, in traditional Indian cosmology, is regarded as area demarcated by sunrise and sunset, by the point where the sun apparently emerges above and sinks below the horizon; by the East and West, and also by the North and South Points .It is therefore represented by mandala of a square.

Artinya bahwa permukaan bumi di dalam kosmologi Hindu, dipandang sebagai area yang dibatasi terbit dan terbenamnya matahari oleh titik dimana matahari muncul di atas dan terbenam di bawah cakrawala, oleh timur dan barat dan juga oleh utara dan selatan. Oleh karena itu bumi diwujudkan dalam bentuk Mandala segi empat. Segi empat ini bukan merupakan garis penampang bentuk bumi, akan tetapi merupakan garis penghubung titik titik dimana matahari terbit dan terbenam di timur dan barat, serta utara dan selatan.

Teks-teks kuno Vaastu Shastra menyebutkan bahwa ada berbagai dewa dalam mitologi Hindu yang menetapkan lokasi kedudukan mereka dalam suatu bangunan. Rumah harus diperlakukan seperti manusia, seperti teman baik yang memberi kenyamanan dan perlindungan. Rumah juga diberi nama manusia. Dalam Vaastu Shastra dikenal sebagai Vaastu Purusha yang disebut sebagai the spirit of the site (roh dari suatu tempat). Digambarkan dalam Vaastu Shastra sebagai seorang pria yang terbaring dalam posisi kepala menghadap ke timur, dengan postur membentuk segi empat.

Vaastu Purusha menandai pentingnya suatu area dengan menempatkan kepalanya posisi Timur laut yang melambangkan keseimbangan pikir dan badan bawahnya di posisi Barat daya yang melambangkan kestabilan dan kekuatan. Pusarnya di posisi sentral dari area, melambangkan kesadaran kosmik dan tangannya di posisi Barat Laut dan Tenggara, melambangkan gerakan dan energi. Menurut legenda Hindu, Vaastu Purusha merupakan makhluk tanpa bentuk. Brahma, bersama dewa yang lain terpaksa mengurungnya di tanah. Insiden ini dinyatakan secara grafis dalam Vaastu Purusha Mandala dengan alokasi porsi yang hirarkis untuk masing-masing posisi kedudukan dewa yang didasarkan atas konstribusi dan posisi masing-masing dalam menjalankan perannya. Brahma berada di posisi sentral yang disebut Brahmasthana, sementara dewa-dewa tersebar di sekelilingnya dalam pola yang memusat.

Menurut Kramrisch (1981), berdasarkan kalkulasi astrologis, garis batas dari Vastu Purusha Mandala dibagi menjadi 32 segi empat yang lebih kecil, yang disebut nakshatras. Naksatras ini berhubungan dengan peta bintang atau rumah matahari yang dilewati oleh bulan sebulan sekali. Jumlah 32 secara geometris merupakan perulangan hasil pembagian dari tiap bagian kotak, melambangkan empat waktu dalam delapan posisi di dunia: timur, tenggara, selatan barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut. Segi empat yang berjumlah 32 merupakan simbol dari siklus kemunculan kembali bulan. Tiap-tiap nakshatras diatur oleh suatu kesatuan yang mulia, disebut deva yang mempengaruhi Mandala. Di luar Mandala terdapat empat arah yang melambangkan pertemuan dari surga dan bumi, juga melambangkan perputaran matahari dari timur ke barat dan rotasinya ke arah utara dan selatan dari hemispheres. Pusat Mandaladisebut tempat kedudukan Brahma, merupakan awal mula dan pusat dari susunan alam semesta.

Di sekitar Brahma merupakan tempat dari 12 kesatuan yang dikenal sebagai putra Aditi, yang membantu pengelolaan alam semesta. Adanya kotak-kotak kosong melambangkan akkasa atau ruang murni. Vastu-purusha-mandala yang komplet, membentuk sejenis peta diagram pengaruh astrologi yang mendasari susunan alam semesta dan takdir hidup manusia.

Kata Vaastu Shastra menurut Prasanna Kumar Acharya (1981) merupakan “science of architecture, where the essence of measurement is contained, the standard measurement followed, or the system of proportions embodied.” Jadi Vaastu Shastra merupakan ilmu arsitektur, dimana pokok-pokok pengukuran dimuat di dalamnya, standar pengukuran diikuti dan sistem proporsi diwujudkan. Secara singkat, Vaastu Shastra adalah ilmu arsitektur kuno dari India. Kata Vaastu artinya tempat tinggal (shelter), sedangkan Shastra adalah pengetahuan. Jadi Vaastu Shastra bisa diartikan sebagai ilmu yang berisi ajaran untuk membangun tempat tinggal yang baik dan menguntungkan bagi manusia dan para Dewa. Vaastu Shastra merupakan sistem perencanaan dan Arsitektur India kuno yang didasarkan pada ajaran yang ada di kitab suci Veda. Jadi teori-teorinya masih mempunyai kaitan yang cukup erat dengan ajaran agama Hindu.

Secara umum, Vaastu Shastra bisa dikatakan juga sebagai ilmu pengetahuan kuno yang berfungsi untuk membantu kita hidup selaras dengan lima elemen dan hukum-hukum lain yang ada di alam. Dengan demikian diharapkan kita bisa memanfaatkan pengaruh positif dari alam dan menghindar dari pengaruhnya yang negatif. Tujuannya adalah menyelaraskan bentuk dan tata letak suatu bangunan dengan unsur alam - prithivi/tanah (earth), agni/api (fire), tej (cahaya) (light), vayu/angin (wind) dan akash/angkasa (ether), dan menyeimbangkan antara manusia dan material. Juga bidang-bidang magnet bumi yaitu kutub utara dan selatan serta sinar matahari.

Jadi Vaastu merupakan ilmu konsep energi inheren. Kita tak bisa melihat energi dengan mata telanjang, tapi kita dapat merasakan dan melihat aplikasinya dalam bentuk dan gaya yang berbeda. Kita telah mengetahui bahwa pengetahuan yang berasal dari pikiran disebut ilmu, dan yang diluar pikiran disebut spiritualitas. Oleh karena itu Vaastu tidak hanya merupakan ilmu akan tetapi merupakan jembatan yang menghubungkan antara manusia dan alam. Elemen-elemen dasar ini hanya ditemukan di bumi sehingga bumi menjadi pendukung alam dan kehidupan seluruh alam semesta. Jika rumah tinggal atau bangunan komersial dibangun tanpa menghiraukan lima elemen tersebut, maka tak akan mendatangkan kebaikan. Tiap-tiap elemen dasar akan memberikan kekuatan yang berharga untuk mendapatkan kekuatan alam yang tanpa batas.

Sedangkan untuk menentukan orientasi arah hadap seperti yang diketahui asal kata orientasi berasal dari kata orient atau timur. Dan bermakna mencari mana ufuk timur dan lawannya barat. (Y.B. Mangunwijaya, 1988). Kata ini kemudian menjadi kiblat karena pada awalnya orang mendasarkan pada pengalaman sehari-hari terhadap darimana matahari terbit dan ke arah mana matahari tenggelam sebagai sumber kiblatnya. Namun kemudian, manusia juga mendapatkan persepsi arah selain timur dan barat, yaitu utara dan selatan. Persepsi sumbu timur-barat serta utara-selatan melahirkan pemahaman akan centrality, titik pusat yang terjadi akibat adanya perpotongan di antara kedua sumbu tersebut. Penetapan arah hadap bangunan serta benda-benda pengisi ruang juga diatur dalam Vaastu Shastra seperti disebutkan Acharya (1981): Vaastu Shastra prescribes desirable characteristics for site and building based on flow of energy. Many of the rules are attributed to cosmological considerations; the sun’s path, the rotation of the earth, magnetic field, etc. The morning sun is considered especially beneficial and purifiying and hence the East is a treasured direction. The body is considered a magnet with the head, the heaviest and most important part, being considered the North Pole and the feet the South pole.

Jadi Vaastu Shastra menentukan karakteristik untuk site atau lokasi dan bangunan berdasarkan aliran energi. Banyak aturan yang didasarkan atas pertimbangan kosmologis, seperi lintasan matahari, rotasi bumi, medan magnet dan sebagainya. Matahari pagi membawa manfaat dan bersifat memurnikan, sehingga arah timur merupakan arah yang paling baik dan berharga. Kepala yang merupakan bagian paling penting dari badan, diibaratkan sebagai kutub utara dan kaki ibarat kutub selatan.

Disebutkan dalam Kramrisch (1980) bahwa Vaastu mempelajari tentang arah tata letak dengan menggabungkan 5 (lima) unsur atau elemen alam yaitu : - prithvi/tanah (earth), agni/api (fire), tej (cahaya) (light), vayu/angin (wind) dan akash/angkasa (ether), dan menyeimbangkan antara manusia dan material. Bidang-bidang magnet bumi yaitu kutub utara dan selatan serta sinar matahari dan berusaha sebanyak mungkin untuk memanfaatkan pengaruh positif dari sinar matahari dan menghindari pengaruhnya yang negatif. Prinsip ini berpengaruh dalam menentukan arah hadap dan letak bukaan bangunan . Ini salah satu contoh pertimbangan dalam prinsip Vaastu dalam penentuan arah hadap dan tata letak benda dalam ruangan. Ketepatan dalam penentuan arah hadap menurut prinsip Vaastu Shastra dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, begitu sebaliknya apabila tidak tepat akan mendatangkan kesialan, kesakitan dan kesedihan.

Bangunan candi yang masih taat azas Vaastu Shastra menghadap ke timur, yang merupakan arah yang paling menguntungkan karena merupakan arah datangnya cahaya matahari. Dari timur matahari muncul menghalau kegelapan, memberi kehidupan, pembawa kebahagiaan. Vaastu Shastra menyatakan bahwa bangunan yang proporsi dan orientasinya salah akan menciptakan suasana yang kondusif untuk datangnya penyakit, kerusakan dan kematian.

Dalam penentuan bentuk site yang tepat dalam prinsip Vaastu Shastra, menurut Brown (1959), disebutkan: Vaastu Shastra describes various criteria which determine the choice of asife. The most exalted shape for a site is square, however rectangale is also acceptable–Vaastu Shastra menjelaskan mengenai berbagai kriteria dalam menentukan pilihan site lokasi tempat dimana bangunan akan didirikan. Bentuk bangunan yan paling baik untuk site adalah bentuk bujur sangkar, tetapi bentuk persegi juga diterima.

Dalam Acharya (1981) disebutkan : the shape of the vastu for Gods and Brahmamnas is prescribed as square, the fundamental form of Indian architecture. Jadi bentuk rumah yang terbaik untuk dewa dan para brahmana adalah bujur sangkar, yaitu bentuk dasar dalam arsitektur India. Disebutkan pula bahwa bentuk terbaik berikutnya adalah persegi panjang dengan catatan, panjangnya tidak boleh melebihi dua kali lebarnya. Bentuk ini mengacu pada figur Vaastu Purusha Mandala dan menjadi bentuk umum untuk candi. Legenda Vaastu Purusha dan penaklukannya oleh para dewa merupakan kiasan untuk menggambarkan bagaimana mendesain sebuah rumah. Posisi dari dewa-dewa tersebut dalam Mandala merupakan dasar dalam menentukan susunan ruang-ruang. Sebagai contoh, Dewa Agni (Dewa Api) menguasai sudut Tenggara, sehingga merupakan tempat yang ideal untuk dapur.

Dari rangkaian penjelasan tersebut, akan diperoleh sebuah alasan mengapa mereka para leluhur bangsa ini harus membangun Candi di tanah ini. Keberadan Candi di Indonesia bukan hanya melambangkan keseimbangan antara Manusia dengan Tuhan (tempat beribadatan). Karena melihat dibangunnya bangunan Candi pun tidak sembarangan lokasi begitu juga dalam proses pembuatannya yang tidak asal-asalan. Sudah jelas kalau pembangunan Candi juga berfungsi sebagai penyeimbang alam. Khususnya di Indonesia yang berada di zona Ring of Fire. Hal itu dikarenakan Candi merupakan bangunan yang ditanam ke bumi untuk meminimalisir dampak dari guncangan Cincin Api Pasifik yang selalu menyebabkan Pertiwi Nusantara bergoyang-goyang sehingga tidak sedikit gunung aktif yang berada di tanah ini pun akan memuntahkan isi perutnya.

Devia N

No comments:

Post a Comment