Tuesday, July 16, 2013

NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN

NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN
Analisa Geologi Teks Naskah Nagarakertagama Pupuh 15 bait ke 2
Created by Ejang Hadian Ridwan
I. Pendahuluan

Penulis menggambil tema ini, berdasarkan teks Nagarakertagama yang mengungkapkan perkiraan data geologi tentang adanya informasi perubahan geografis dan geologis antara pulau Jawa dan Madura akibat perubahan ketinggian air laut, dan mengapa pula dilihat sepintas dari judul yang diberikan seolah-olah bahwa informasi dari pernyataan teks Nagarakertagama ini mendukung kedua buku tersebut. Bisa ya bisa tidak, bisa juga menggagalkan tulisan tentang Altlantis dan Eden. Yang dimaksud Atlantis dan Eden dalam ini adalah menunjuk kepada buku yang berjudul Atlantis The Lost Continent Finally Found karya Prof Arsyio Santos dan Eden In The East karya Stephen Oppenheimer. Dalam artikel ini juga akhirnya membahas tentang hipotesa sejarah nusantara yang hilang di abad awal masehi, disertai dengan pendapat dari ahli geologi terkemuka di Indonesia yaitu Awang Harun Satyana, Artikel ini disertai cara perhitungan tahun saka dengan metoda candra sengkala, termasuk aturan pembacaannya.
Artikel ini bukan merupakan kajian keseluruhan dari kedua buku tersebut yang dibandingkan dengan informasi dari teks nagarakertagama, tetapi hanya mengambil bagian-bagian tertentu, yang mempunyai kemiripan ide dan bahasan dari sebuah peristiwa geologi. Pengajuan topik ini tentunya didasarkan bahwa tesk naskah Nagarakertagama mampu memberikan dan mengukapkan informasi perkiraan data geologi yang disertai penandaan waktu yang tegas, angka kisaran tahun, walaupun memang harus disertai tafsiran dan penjelasan lebih menyeluruh dari berbagai sumber lainya yaitu mengenai penandaan waktu yang begitu jelas disampaikan dalam teks naskah tersebut.
II Latar Belakang

Tentang naskah Nagarakertagama silakan baca di wikipedia online, tentang Atlantis silakan baca juga bukunya yang sudah beredar yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia atau bisa juga dilihat secara online internet di www.atlan.org dan tentang Eden bukunya sudah tersedia juga, kedua ide buku itu ringkasannya bisa dicari secara online internet karena keberadaannya sedang menjadi pembicaraan yang hangat diberbagai media.
Naskah Nagarakertagama memberikan petunjuk dalam pupuh ke 15 bait 2, sebagai berikut:
“kunaɳ tekaɳ nusa madura tatan ilwiɳ parapuri, ri denyan tungal / mwaɳ yawadarani rakwaikana danu, samudra nanguɳ bhumi kta ça ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh.”
Dan pernyataan teks ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh buku Atlantis dan Eden, analisa teks akan dibahas dalam materi selanjutnya diartikel ini.santos-atlantis
eden in the east stephen oppenheimer
Sekilas tentang buku Atlantis dan Eden, kedua buku ini memberikan gambaran jelas tentang mitos Surga di Timur, Surga Atlantis (Atlanti English Lamuria sam dengan Eden, merupakan kata lain dari Atlantis itu sendiri) dan tentang Surga di Timur ini pertama kali disampaikan oleh Plato. Plato dalam bahasa Yunani: Πλάτων, lahir sekitar 427 SM dan meninggal sekitar 347 SM adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, yang salah satu anak didiknya yaitu Socrates, dengan memberikan gambaran atau petunjuk bahwa telah terjadi suatu masa peradaban tinggi di muka bumi ini, yang ditandai dengan adanya ke kaisaran agung yang mendunia.
Atlantis
Masa itu hilang karena adanya perubahan geologi dari muka bumi. Plato menjelaskan ciri-ciri dengan rinci mulai dari keadaan alam, flora dan faunanya serta ciri geografis dominan dari Surga Atlantis tersebut, dengan kuil-kuil atau istananya terbentuk dari emas. Berdasarkan apa yang disampaikan Plato inilah maka dimulai pula penelusuran dan pencarian jejak tentang mitos surga Atlantis tersebut. Para petualang meneyebar ke seantero jagat dengan misi dasar menemukan mitos tentang Surga di Timur tersebut. Salah satu efek tidak langsung adalah munculnya bangsa-bangsa barat yang menjajah di Indonesia dan negara-negara lainya, misalnya penjajahan oleh Portugis, Inggris dan Belanda.
Berbagai kajian dan penelitian tentang mitos Surga di Timur itu sungguh beraneka ragam, tempat yang ditunjukannya pun berbeda-beda. Semua dilakukan dengan berbagai metoda, dan semuanya pula mengaku yang paling ilmiah tentunya berdasarkan bukti-bukti yang ajukan, dan tentunya pula pasti ada bantahan dan sanggahan dari ilmuwan lainnya. Buku yang disebutkan diatas merupakan kajian dan penelitian yang bisa dianggap paling mutahir, saat ini tentang Surga Atlantis.
Kedua buku ini mempunyai metoda yang berbeda dalam pembahasanya, tetapi kedua buku ini pula menunjuk suatu posisi yang hampir serupa. Buku Atlantis yang dikarang Prof Arsyio secara gamblang dan tegas menyatakan bahwa Surga Atlantis itu adanya tepat di Indonesia, lebih spesifik yaitu di laut Jawa yang kearah utaranya berbatasan dengan Laut China Selatan dan tentunya daratan China Selatan sekarang, dengan mengatakan bahwa laut Jawa dulunya merupakan daratan yang maha luas, termasuk katagori sangat langka dijumpai dimuka bumi ini daratan seluas itu, sedangkan pulau-pulau yang mengelilinginya merupakan dataran tinggi pada masa itu (Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malayu, dan yang lainnya, pulau besar Indonesia masa kini). Sedangkan buku Eden in The East menujuk bahwa Surga Atlantis adanya di Asia bagian tenggara dan tidak secara tegas menunjuk Indonesia.
Kedua pengarang buku tersebut mengajukan berbagai data, mulai data geologis, geografis dan dan sosial budaya serta peninggalan sejarah (artefak). Prof Arsyio lebih fokus di Filologi dan Linguistik dengan memakai sumber-sumber mitos di berbagai belahan dunia dan dari berbagai agama, sedangkan Oppenheimer lebih fokus dengan penelitian arkeologi, bukti artefak, tentunya walaupun masing-masing mengandalkan metode-metoda yang menurut mereka paling akurat tetap saja semua yang menjadikan fokus penelitian, tentu harus komperehensif dengan semua sumber dan metode lain yang mendukungnya.
Dan satu hal lagi, kedua buku sepakat bahwa kejadian itu terjadi ketika jaman terakhir es mencair yang ada dipermukaan bumi, era pleistosin, yang disebabkan oleh sebuah ledakan maha dasyat “a super colossal eruption” dari peristiwa vulkanik Gunung Krakatau, sehingga terjadilah akhir jaman es mencair, dan permukaan air laut menjadi pasang, melenyapkan dataran-dataran rendah. Pertistiwa lenyapnya daratan di laut Jawa sekarang dipancing dengan adanya kubangan maha besar (kaldera raksasa) diselat Sunda, efek kejadian vulkanik Gunung Krarakatu tersebut, akhirnya air masuk dari samudera Hindia dan menenggelamkan Surga Atlantis, diperkirakan oleh mereka yaitu kejadiannya sekitar 11.600 SM.
Bagi penulis, apapun mengenai berbagai bahasan kedua buku itu atau dari berbagai pihak, yang pasti berdasarkan data-data yang mereka sampaikan, bila ditarik kebelakang tentunya dan diasumsikan bahwa permukaan air di laut Jawa (laut antara pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera) menurun drastis hingga kisaran 150-200 meter (silakan baca tentang caramengukur kedalaman laut), kasarannya dikuras habis sampai kedalaman tersebut, maka akan didapati dataran seluas kira-kira 400 x 600 km persegi bahkan lebih, dan ini memang daratan maha luas, hampir 3 kali luas pulau jawa sekarang.
Tentang kedalaman laut Jawa silakan baca di laporan Bakosurtanal, atau hasil pengamatan citra satelit laut Jawa yang menunjukan sebagian besar laut Jawa kedalamanya pada kisaran tersebut, yaitu 150-200 meter, walaupun memang ada juga palung-palung dalam yang merupakan hasil pertemuan lempeng-lempeng benua dengan kedalaman ribuan meter. Terdapat 4 (empat) sungai purba juga didaratan itu, dipermukaan dasar laut Jawa, yang diambil sebagai sebagai bukti refensi ilmiah tentang salah satu ciri Atlantis yang disampaikan Plato, dan itulah dalam berbagai mitos keagamaan sungai-sungai Surga dan Surganya Atlantis yang dimaksud, keempat sungai itu bersumber dari gunun Dempo Sumatera Selatan.
NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN
III. Bahan Materi Yang Diajukan.
Materi yang diajukan dalam artikel ini yaitu pokok bahasan tentang terjemahan dan tafsiran tesk naskah Nagarakertagama, yang teks naskah tersebut sudah disebutkan diatas, berikut terjemahan dari dari teks naskah Nagarakertagama pupuh 15 bait 2 tersebut:
1. Tafsir dan terjemahan Menurut Prof. Dr Slamet Mulyana dari buku “Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya”, sebagai berikut:
“Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing, Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”
2. Tafsir dan terjemahan menurut Theodor Pigeaud, dari buku “14Java in the 14th Century. A Study in Cultural History”, 5 volsPigeaud 1, pp. 11-13, Pigeaud 3, pp. 16-19 “, sebagai berikut:
“Concerning now this island of Madura, this is not at all of the same aspect as the foreign kingdoms, because of the fact that it has been one with the Yawa-country, so it is said, at that time in the past: “The oceans carry a country” (124 = 202 A.D.), such is their Shaka-year, one hears, their moment to become provided with an interstice; (nevertheless) they are one in essence, not far away (from each other).”
Penandaan tahun yang terdapat dalam pupuh 15 bait 2 naskah Nagarakertagama hasil terjemahan dari teks aslinya bahasa Kawi -Jawa Kuno yaitu “samudra nanguɳ bhumi” oleh Prof Slamet Mulyana diterjemahkan menjadi “tahun Saka lautan menantang bumi” dan oleh Theodor Pigeaud” The oceans carry a country” (124 = 202 A.D.), such is their Shaka-year”,terdapat penandaan tahun yang jelas yaitu tahun saka 124 atau sama dengan 202 Masehi.
Tentang Prof. Dr. Raden Benedictus Slamet Muljana atau Prof Dr Slamet Mulyana (lahir di Yogyakarta, 21 Maret 1929 – meninggal di Jakarta, 2 Juni 1986 pada umur 57 tahun), adalah seorang filolog dan sejarawan dari Indonesia, memperoleh gelar B.A. dari Universitas Gadjah Mada tahun 1950, gelar M.A. dari Universitas Indonesia tahun 1952, gelar Doktor Sejarah dan Filologi dari Universitas Louvain, Belgia, tahun 1954, serta menjadi profesor pada Universitas Indonesia sejak tahun 1958.
Tentang Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud atau Theodor Pigeaud (Leipzig, 20 Februari 1899–Gouda, 6 Maret 1988) adalah seorang ahli Sastra Jawa dari Belanda. Ia terutama menjadi termasyhur berkat kamus Jawa-Belandanya (1938) yang dijadikan dasar oleh W.J.S. Poerwadarminta sebagai Baoesastra Djawa. Selain itu Pigeaud juga dikenal karena studi monumentalnya mengenaiNagarakretagama dan katalog-katalog naskah manuskrip di perpustakaan di Belanda, Denmark, dan Jerman.
IV. Tentang Penandaan Waktu atau Sistem Kalender Saka
Kalender saka adalah tata perhitungan waktu reguler berupa kalender yang berasal dari India, yang merupakan sebuah penanggalan candra – surya atau disebut juga kalender luni – solar yang dimulai perhitungannya ketika 78 tahun dari perhitungan tahun masehi. Dasar perhitungan ini ditandai ketika kota Ujjayini (Malwa di India sekarang) direbut oleh kaum Saka (Scythia) dibawah pimpinan Maharaja Kaniska dari tangan kaum Satavahana. Tahun barunya terjadi pada saat Minasamkranti (matahari pada rasi bintang pices) yang menandai awal musim semi, dan nama-nama bulan pada penanggalan atau hitungan tahun saka yang lainya didasarkan pada perubahan musim, nerikut nama-nama bulan dalam tahun saka: Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Phalguna. Agar sesuai dengan peredaran matahari bulan Asadha dan Srawana diulang secara bergiliran setiap tiga tahun dengan Dwitiya Asadha dan Dwitiya Srawana. Silakan unutk keterangan lebih lanjut di Wikipedia Online tentang Kalender Saka.
Metoda pembacaan tahun saka disebut candra sengkala atau hanya disebut sengkala saja, mempunyai arti kurang lebih adalah kata-kata yang memiliki arti berupa angka, yang digunakan oleh orang Jawa kuno untuk memberikan nama pada sebuah bangunan, upacara, kejadian atau masa atau tahun dan lain sebagainya, dalam hitungan angka tahun saka.
Cara pembacaan selalu terbalik, artinya dibaca terbalik dari urutan penulisan misalnya : “Dewo Ngasto Manggalaning Ratu” yang ditafsirkan atau diterjemahkan menjadi “Dewa minitis kebumi menjadi raja”, Dewo = 9, Ngasto = 2, Manggalaning = 8, Ratu = 1, susunan penulisan 9281, tapi dibaca menjadi angka tahun saka 1829.
Sifat dari pembacaan tahun saka ini lebih kearah penafsiran, terdapat beberapa pengelompokan kata yang ditafsirkan dan diterjemahkan menjadi simbol dari angka-angka saka, sebagai berikut misalnya:
  1. Angka 1 (satu) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : Ratu, Raja, Tuhan, bumi, orang, lelaki, perempuan, anak, benih, daun, eka , tunggal, sendiri, satu, matahari, rembulan dst (dan seterusnya). Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama seperti bintang dianggap punya sifat yang sama dengan matahari.
  2. Angka 2 (dua) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : mata, telinga, tangan, kaki, sejodoh, penganten, teman, seiring, dwi, dua, pandangan, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat atau hampir mirip dengan contoh diatas misal sejodoh, dua atau dwi sama dengan sepasang.
  3. Angka 3 (tiga) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : Api, Pandai, panas, asap, terbakar,berkobar, cerdas, guna, laksana, bagai, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dengan contoh diatas misal cerdas sama dengan pintar.
  4. Angka 4 (empat) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : air, samudra, laut, sungai, catur, dadi, kiblat, rawa, mata angin, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal danau, ngarai..
  5. Angka 5 (lima) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: Raksasa, buta, angin, senjata tajam, galak, buas, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal buas sama dengan jahat.
  6. Angka 6 (enam) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: rasa, cinta, suka, marah, senang, sedih, manis, asmara, kayu, gelondongan, pohon, wayang, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal marah sma dengan murka.
  7. Angka 7 (tujuh) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: pendeta, guru, ustadz, ulama, sayuti, biksu, ukang ceramah, kendaraan, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal kuda, pesawat, mobil.
  8. Angka 8 (delapan) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: naga, ular, kadal, buaya, gajah, mandala, komodo, cicak, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal binatang merayap atau bergerak pelan.
  9. Angka 9 (sembilan) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: lubang, bau-bauan, harum, wangi, dewa, singa, sumur, bolong dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal bau amis.
  10. Angka 0 (nol) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: Tanpa, nir, bolong, awang-awang, langit, angkasa, anariksa, luhur, tinggi dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal udara.
Penulis membahasakan seperti bahasa masa kini, karena memang hitungan saka masih dipakai sampai sekarang, seperti halnya di Bali, bahkan hari Nyepi adalah peringatan tahun baru Saka.
Dalam naskah Pararaton ada namanya Raja Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V, suka diinisiasi menjadi penandaan waktu keruntuhan kerajaan Majapahit dengan penafsiran Candra Sengkala, yaitu menjadi “Sirna Hilang Kertaing Bhumi” yang penulisan tahun sakanya menjadi 0041, dengan pembacaan terbalik menjadi 1400 tahun saka, setara dengan 1478 Masehi. Nama Raja Bhre Kertabhumi berasal dari Naskah Pararaton, dan kalau penafsirannya demikian terhadap nama Raja Bhre Kertabhumi, tentunya keruntuhan kerajaan Majapahit sudah direncanakan oleh si pengarang Pararaton, atau sebaliknya, penandaan waktu kejatuhan kerajaan Majapahit oleh si pengarang Pararaton menjadi simbolisasi dari nama raja kertabhumi sebagai alias dari Raja Brawijaya V. Sungguh tidak masuk logika kerajaan besar yang banyak terdapat para sastrawan atau punjangganya membiarkan raja pendahulunya memberikan nama, atau sebutan atau gelaran Kertabhumi yang mempunyai tafsiran seperti diatas “Sirna Hilang Kertaing Bhumi”.
Contoh lainnya perhitungan tahun saka, diambil dari naskah nagarakertagama, seperti :
1. Pintu gunung mendengar indu, tahun saka 1279, pupuh 17 bait 6,
2. Seekor naga menelan bulan, tahun saka 1281, pupuh 17 bait 7,
3. Lautan dasa bulan, tahun saka 1104, pupuh 40 bait 1,
4. Lautan dadu Siwa, tahun saka 1144, pupuh 40 bait 3.
IV. Analisa Bahan Materi yang Diajukan
Penandaan waktu tahun saka dalam pupuh 15 bait ke-2 dalam naskah Nagarakertagama dengan memakai metode hitungan candra sengkala didapat sebagai berikut:
  1. Samudra mempunyai indek atau angka 4, sama artinya dengan laut, atau lautan,
  2. nanguɳ mempunyai indek atau angka 2, sama artinya dengan menantang,
  3. bhumi mempunyai indek atau angka 1, sama artinya dengan bumi, daratan.
  4. Maka hitungan candra sengkalanya menjadi 421, yang kemudian prosedur selanjutnya dilakukan pembacaan terbalik, maka hasilnya menjadi 124 tahun saka atau setara dengan 202 Masehi, dan ini sesuai dengan catatan waktu yang disampaikan Theodor Pigeaud dan dan tafsir dari Prof DR Slamet Mulyana “lautan menatang bumi”.
Dalam Tafsir bait secara keseluruhan, pengarang naskah Nagaraketagama menyampaikan berita bahwa Pulau Madura dan Pulau Jawa dulunya terasa dekat, atau mengarah kebersatu, satu pulau bersama, atau satu daratan atau juga masih terpisah oleh lautan tapi dengan permukaan air laut yang tidak begitu dalam, sehingga jarak antara ke 2 pulau tersebut seolah-olah sangat dekat.
A. Analisa Masa Lampau Abad 1-5 M Nusantara
Catatan sejarah nusantara, baru dimulai ketika didapat bukti-bukti sejarah yaitu dengan ditemukannya prasasti di Kutai, Kalimantan Timur. prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub, silakan lebih lengkap baca di wikipedia online mengenai catatan sejarah dalam bentuk prasasti tertua di nusantara.
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya, dalam prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda”.
Terjemahannya menurut Bosch, sebagai berikut:
“Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda”. Karena angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti ketentuan “angka nam vamato gatih” (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig). Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter) dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam“.
Terjemahannya menurut Vogel: “Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara”. Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang “pandatala” (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip “tanda tangan” seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian tanah swasta Ciampea, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam“.
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Terdapat ukiran bendera dan sepasang lebah, yang ditatahkan secara jelas pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris, penulis belum punya data tentang kapan prasasti itu dibuat, bunyinya sebagai berikut:
shriman data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam-padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam“.
Terjemahannya menurut Vogel sebagai berikut:
“Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya”.
Terlihat jelas bahwa catan sejarah, dimulai mulai abad ke 6 Masehi, dengan pembuatan prasasti menunjukan tahun 536M, artinya kerjaan Tarumanegara dipredikisi kisaran sebelum abad ke 6 tersebut, sebelum itu tidak ada catatan sejarah sedikitpun mengenai peradaban di tatar Sunda, semisal abad ke 1-5 Masehi. Katakanlah naskah Wangsakerta “
pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1” yang mencatat sebelum masa Raja Purnawarman masih terdapat raja-raja sebelumnya yang diawali oleh Jayasingawarman kisaran tahun 358-382 M, dan Dharmayawarman kisaran tahun 382-395 M, artinya lebih lanjut abad ke 1-3 M atau abad sebelum masehi sendiri catatan sejarah kerajaan atau peadaban sunda, bahkan nusantara pada umumnya tidak ada sama sekali. Walau pun naskah Wangsakerta masih menyimpan catatan mengenai masa pada abad 1-3 ini dengan memunculkan kisah Aki Tirem dan kerajaan Salakanagara, tapi dukungan terhadap informasi naskah itu lemah, tidak ada dukungan bukti catatan primer semacam prasasti atau bukti lainnya, dengan demikian untuk sementara masih memakai asumi tidak ada bukti catatan sejarah sebelum abad ke-5 diwilayah tatar sunda khususnya.
Pertanyaanya, apakah benar tidak ada peraban sama sekali, atau tidak kah ada kelompok bangsa yang yang membentuk sebuah kerajaan atau negara sama sekali pada waktu itu atau katakanlah setingkat kerajaan kecil, yang mempunyai struktur kepemerintahan atau dipimpin oleh sekelompok orang yang berkuasa. Apakah Abad itu, abad sangat primitif sehingga tidak ada catatan sejarah sedikit pun.
Hal yang patut diingat bahwa Cina sudah mempunyai catatan sejarah 3000 tahun sebelum Masehi, artinya dokumentasi sejarah sudah ada yang merupakan dokumentasi sejarah paling awal dimuka bumi ini. Apakah dengan keberadaan Cina yang sudah membentuk suatu bangsa yang beradab, dengan pendokumentasian sejarah yang sudah terjadi, sama sekali tidak ada hubugan dengan peradaban di Jawa, atau nusantara pada umumnya kisaran pada awal abad masehi? Sungguh pertanyaan yang tidak ada jawaban, soalnya tidak ada catatan sejarah sama sekali, tidak bisa dibuktikan apapun.
Tapi, setidaknya manusia diberi kelengkapan kecerdasan akal dan pikiran, hal yang sangat mengherankan kalau buku Atlantis dan Eden, terang-terangan menyatakan bahwa di wilayah nusantara sudah terdapat peradaban yang maha tinggi kisaran 11.600 SM, yang disinyalir terdapat kekaisaran agung yang mendunia, lagi melegenda. Asumsikan saja apa yang disampaikan kedua buku itu adalah menuju benar, menunjuk kearah yang ingin dibuktikan tentang keberadaan Atlantis, Surga di timur, tapi pertanyaannya mengapa jejak sejarah itu hanya tercatat ribuan tahun yang silam, bahkan mencapai puluhan ribu tahun yang silam, tetapi mengapa pada kisaran abad awal Masehi tidak ada catatan sejarah, bahkan segaris coretan apapun tidak diketemukan sebagai bukti otentik sejarah pada masa itu? Sekali lagi pertanyaan yang sukar dijawab tentunya, dan sepengetahuan penulis belum pernah ada yang bisa menjawabnya.
Mudah-mudahan apa yang akan disampaikan penulis kedepan dalam lanjutan bahasan artikel ini menjadi bahan pertimbangan bersama, tentang masa sejarah kelam, dalam arti sesungguhnya, sungguh kelam tidak ada pencerahan sejarah sedikit pun tentang awal-abad masehi di Nusantara, tentunya pencerahan itu harus berasal dari adanya bukti sejarah yang bersifat primer, bukan dari dongeng, mitos atau pun kisah rakyat lainnya. Dalam hal ini penulis mencoba unuk merangkainya, walaupun memang hanya dengan metoda utak atik gathuk.
Penulis sering membaca artikel yang membahas tentang asal-usul kerajaan Sunda, era sebelum Kerajaan Tarumanegara, termasuk tentang Aki Tirem dan Kerajaan Salakanagara, dan dasar informasi itu dari naskah Wangsakerta, yang menjadi heran penulis, kok nama Tirem tumpang tindih dengan berita naskah negarakertagama dipupuh 14 bait 1 (satu), “tirm” yang diterjemahkan oleh hampir semua ahli yaitu Tirem, dan Tirem atau Tirun atau Kerajaan Tidung, adanya di Kalimantan Timur pada abad ke 14 M, setara dengan kerajaan Majapahit masa kepemerintahan raja Hayam Wuruk.
Angka 124 tahun saka atau 202 M adalah tahun yang mempunyai prediksi tentang adanya peristiwa perubahan geografis dan geologi, dan ada beberapa sumber yang mengarahkan penulis untuk mencari informasi mengenai data geologi pada kisaran abad ke 1-5 M, waktu antara yang memberikan peluang yang lebar dari eror penandaan waktu untuk 202 M tersebut.
B. Sumber-sumber berita Geologi Abad 1-5 Masehi
Semua bahasan dalam halaman ini merupakan saduran dari keterangan yang disampaikan oleh ahli geologi terkemuka di Indonesia, Awang Harun Satyana dalam kajiannya yang berjudul “Krakatau Purba 535 AD : a Super Colossal Eruption”, menyatakan bahwa pada hari Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.00 WIB adalah saat terakhir penduduk di sekitar Selat Sunda melihat Matahari tengah naik ke puncaknya. Setengah jam kemudian, mereka meregang nyawa diseret gelombang laut setinggi sampai 40 meter… !! Jumlah seluruhnya 36.417 orang berasal dari 295 kampung di kawasan pantai Banten dan Lampung. Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, penduduk sejauh sampai Jakarta dan Lampung tak melihat lagi Matahari – gelap gulita. Apa yang terjadi di hari yang seperti kiamat itu adalah letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda. Suara letusannya terdengar sampai sejauh 4600 km dan di dengar di kawasan seluas 1/8 permukaan bumi. Telah banyak tulisan dan film di seluruh dunia dibuat tentang kedahsyatan letusan Krakatau ini. University of North Dakota Volcanic Explosivity Index (VEI) mencantumkan dua gunung api di seluruh dunia yang letusannya paling hebat dalam sejarah moderen : Krakatau 1883 (VEI : 6) dan Tambora 1815 (VEI : 7). Dua-duanya ada di Indonesia, tak jauh dari kita. Semoga kita, bangsa Indonesia – terlebih yang menamakan dirinya geologist, mengenal dengan baik dua gunung api ini.
Tetapi, banyak dokumen menunjukkan bahwa Krakatau 1883 bukanlah satu-satunya letusan dahsyatnya. Sebelumnya, masih di Krakatau juga, ada letusannya yang kelihatannya jauh lebih dahsyat lagi daripada letusan 1883, yang terjadi pada masa sejarah, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Indonesia tahun 400-an atau 500-an AD (Anno Domini, Masehi). Tentu saja letusan ini tak banyak ditulis apalagi difilmkan sebab pengetahuan kita tentangnya masih samar-samar, walaupun nyata. Adalah B.G. Escher (1919, 1948) yang berdasarkan penyelidikannya dan penyelidikan Verbeek (1885) – dua-duanya adalah ahli geologi Belanda yang lama bekerja di Indonesia yang menyusun sejarah letusan Krakatau sejak zaman prasejarah hingga modern.
Saat ini, di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau (lahir Desember 1927, 44 tahun setelah letusan Krakatau 1883 terjadi), yang dikelilingi tiga pulau : Sertung (Verlaten Eiland, Escher 1919), Rakata Kecil (Lang Eiland, Escher, 1919) dan Rakata. Berdasarkan penelitian geologi, ketiga pulau ini adalah tepi-tepi kawah atau kaldera hasil letusan Gunung Krakatau (Purba, 400-an sampai 500-an AD). Escher kemudian melakukan rekonstruksi berdasarkan penelitian geologi batu-batuan di ketiga pulau itu dan karakteristik letusan Krakatau 1883, maka keluarlah evolusi erupsi Krakatau yang menakjubkan (skema evolusi Krakatau dari Escher ini bisa dilihat di buku van Bemmelen, 1949, 1972, atau di semua buku modern tentang Krakatau).
B.G. Escher berkisah, dulu ada sebuah gunung api besar di tengah Selat Sunda, kita namakan saja Krakatau Purba yang disusun oleh batuan andesitik. Lalu, gunungapi ini meletus hebat (kapan? ada dokumen-dokumen sejarah tentang ini,ditulis di bawah) dan membuat kawah yang besar di Selat Sunda yang tepi-tepinya menjadi pulau Sertung, Rakata Kecil dan Rakata. Lalu sebuah kerucut gunung api tumbuh berasal dari pinggir kawah dari pulau Rakata, sebutsaja gunung api Rakata, terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul di tengah kawah, bernama gunung api Danan dan gunung api Perbuwatan.
Kedua gunung api ini kemudian menyatu dengan gunung api di Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Krakatau. Tahun 1680, gunung Krakatau meletus menghasilkan lava andesitik asam. Tanggal 20 Mei 1883, setelah 200 tahun tertidur, sebuah erupsi besar terjadi, dan terus-menerus sampai puncak erupsi terjadi antara 26-28 Agustus 1883 (Inilah letusan Krakatau 1883 yang terkenal itu). Erupsi ini telah melemparkan 18 km3 batu apung dan abu volkanik. Gunung api Danan dan Perbuwatan hilang karena erupsi dan runtuh, dan setengah kerucut gunung api Rakata hilang karena runtuh, membuat cekungan kaldera selebar 7 km sedalam 250 meter. Desember 1927, Anak Krakatau muncul di tengah-tengah kaldera.
Seberapa besar dan kapan erupsi Krakatau Purba terjadi ? Inilah tujuan utama tulisan saya (red, Awang H Satyana) kali ini. Tulisan2 yang berhasil dikumpulkan (buku-buku dan paper-paper lepas) menunjuk ke dua angka tahun : 416 AD atau 535 AD. Angka 416 AD adalah berasal dari sebuah teks Jawa kuno berjudul “Pustaka Raja Purwa” yang bila diterjemahkan bertuliskan:
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra”.
Di tempat lain, seorang bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535 – 536 AD, ” Ada tanda-tanda dari matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi. Dokumen di Dinasti Cina mencatat : “suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke baratdaya Cina”. (Semua kutipan diambil dari buku Keys, 1999 : Catastrophe : A Quest for the Origins of the Modern Worls, Ballentine Books, New York).
Itu catatan-catatan dokumen sejarah yang bisa benar atau diragukan. Tetapi, penelitian selanjutnya menemukan banyak jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang volkanik di temukan di contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es Antartika dan Greenland, ketika ditera umurnya : 535-540 AD. Jejak-jejak belerang volkanik tersebar ke kedua belahan Bumi : selatan dan utara. Dari mana lagi kalau bukan berasal dari sebuah gunung api di wilayah Equator? Kumpulan-kumpulan data, sana-sini, maka semua data menunjuk ke satu titik di Selat Sunda : Krakatau ! Adalah letusan Krakatau Purba penyebab semua itu.
Letusan Krakatau Purba begitu dahsyat, sehingga dituduh sebagai penyebab semua abad kegelapan di dunia. Penyakit sampar Bubonic (Bubonic plague) terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan telah mengurangi jumlah penduduk di seluruh dunia. Kota-kota super dunia segera berakhir, abad kejayaan Persia purba berakhir, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Bizantium terjadi, peradaban South Arabian selesai, berakhirnya rival Katolik terbesar (Arian Crhistianity), runtuhnya peradaban-peradaban purba di Dunia baru – berakhirnya negara metropolis Teotihuacan, punahnya kota besar Maya Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Kata Keys (1999), semua peristiwa abad kegelapan dunia ini terjadi karena bencana alam yang maha besar, yang sangat mengurangi cahaya dan panas matahari selama 18 bulan, menyebabkan iklim global mendingin.
K. Wohletz, seorang ahli volkanologi di Los Alamos National Laboratory, mendukung penelitian David Keys, melalui serangkaian simulasi erupsi Krakatau Purba yang terjadi pada abad ke enam Masehi tersebut. Artikelnya (Wohletz, 2000 :
“Were the Dark Ages Triggered by Volcano-Related Climate Changes in the Sixth Century ? – If So, Was Krakatau Volcano the Culprit ?”
EOS Trans American Geophys Union 48/81, F1305) menunjukkan simulasi betapa dahsyatnya erupsi ini. Inilah beberapa petikannya. Erupsi sebesar itu telah melontarkan 200 km3 magma (bandingkan dengan Krakatau 1883 yang 18 km3), membuat kawah 40-60 km, letusan hebat terjadi selama 34 jam, tetapi terus terjadi selama 10 hari dengan mass discharge 1 miliar kg/detik. Eruption plume telah membentuk perisai di atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Begitulah, Escher dan Verbeek menyelidiki ada erupsi Krakatau Purba; dokumen-dokumen sejarah dari Indonesia (Pustaka Raja Purwa), Siria, dan Cina mencatat sebuah bencana yang sangat dahsyat terjadi di abad 5 atau 6 Masehi; ice cores di Antarktika dan Greenland mencatat jejak-jejak ion sulfat volkanik dengan umur 535-540 AD, peristiwa-peristiwa Abad Kegelapan d seluruh dunia terjadi pada abad ke-6, dan simulasi volkanologi erupsi Krakatau Purba : semuanya kelihatannya bisa saling mendukung untuk “a Super Collosal Eruption of proto-Krakatau 535 AD”.
Kalau benar, gunungapi itu hanya di Selat Sunda, tak jauh dari kita, semoga kita mengenalnya dengan lebih baik, dan makin banyak ahli2 Indonesia yang meneliti serta menuliskannya (sebab kini sedikit sekali bilangan ahli kita yang mempelajari dan menuliskannya, cukup dihitung dengan jari-jari di satu tangan
V. Akhir Dan Kesimpulan
Teks naskah Nagarakertagama memberikan petunjuk tentang adanya peristiwa geologi dimasa lampau, abad awal masehi. Buku Atlantis dan Buku Eden yang disebutkan diawal memakai dasar pemberitaan “Pustaka Raja Purwa” dan teori “a Super Colossal Eruption” dari gunung Krakatau untuk dibuat terori dasar tentang Surga Atlantis yang tenggelam pada era akhir jaman es mencair 11.600 SM, padahal jelas-jelas Pustaka Raja Purwa mengatakan tahun 416 M untuk kejadian peristiwa vulkanik Gunung Krakatau, tentang teori “a Super Colossal Eruption”, bisa jadi memang terjadi tahap vulkanik tahap pertama, dan tahap kedua diprediksi pada abad ke-6 Masehi, karena terbukti bahwa Gunung Krakatau adalah gunung yang hidup dan peristiwa tahun 1883 memberikan kesaksian nyata bahwa Gunung Krakatau adalah sumber malapetaka, bencana dahsyat.
Tafsiran tahun dari teks naskah nagarakertagama memang kalau dibandingkan dengan bahasan peristiwa geologi terkini untuk awal abad ke-6 tidaklah sesuai, ini bisa dimaklumi karena dalam teks itu sendiri dijelaskan bahwa berita tersebut “konon” yang berarti berita yang tidak dengan keyakinan pasti. Tapi istilah tafsiran yang menyatakan “lautan menantang bumi” ini bisa dirasionalkan bahwa dengan terjadinya ledakan Krakatau itu terjadi perubahan geografis wilayah-wilayah nusantara dengan terjadinya peningkatan tinggi permukaan air laut, wajar kalau pun hitungan tahun saka 124 atau 202 M dari teks nasakah nagarakertagama menurut metoda candra sengkala itu diabaikan. Error atau deviasi atau penyimpangan seperti ini bisa dilihat juga dengan data yang diberikan Pustaka Raja Purwa yang mengatakan peristiwa itu terjadi tahun 416 M. Atau kalau seandainya boleh lepas dari aturan candra sengkala dikarenakan kesusahan untuk membalikan pernyataan “lautan menantang bumi”, dengan kaidah pembacaan diabaikan itu tentunya akan lebih mendekati, yaitu asumsi kisaran tahun saka 421 atau 499 M, tentunya lebih sejalan dan mendekati dengan waktu kejadian yang diperkirakan tersebut.
Hipotesa tentang “a Super Colossal Eruption” dari Krakatau pada kisaran tahun 535-540 M dan ditambah dengan peristiwa vulkanik tahun 1883 menurut ahli geologi Indonesia, Awang Satyana, hipotesa ini bisa jadi penyebab hilangnya peradaban awal abad masehi di nusantara tercinta ini termasuk catatan-catatan dan bukti-bukti sejarah didalamnya. Catatan sejarah yang menjadi penyelamat tentang sejarah sebelumnya adalah bukti prasasti Ciaruteun yang dibuat tahun 536 M, dan perlu diperhatikan bahwa tahun tersebut adalah satu tahun setelah hipotesa kejadian “a Super Colossal Eruption” dari Krakatau 535 M, dengan catatan jika hal itu benar.
Tentunya akan terjadi eksodus besar-besaran masyarakat dari wilayah tatar Sunda, efek traumatis secara psikologis untuk menjauh dari sumber bencana besar yang telah terjadi, arah yang mungkinkan adalah kearah pulau Jawa bagian Timur, hal ini mungkin bisa dilogikakan terus dengan bukti kemunculan kerajaan baru di Jepara, Jawa tengah yaitu Kalingga kisaran abad 6 atau 7 M sesuai dengan catatan sejarah, salah satu yang terkenal sebagai peminpin pemerintahanya yaitu dengan munculnya ratu legendari Shima, dengan cerita keadilan dalam kehidupan bernegaranya sungguh mengagumkan.
Alasan ketatanegaraan yang mengagumkan itu menurut penulis, oleh karena seusai bencana biasanya terjadi kepanikan setiap masyarakat untuk mempertahankan hidup, sehingga akan timbul prilaku kriminal, penjarahan, kompliksosial dan lain sebagainya, untuk itu diperlukan hukum yang pasti, disertai ketegasan yang absolut, dan ini dibuktikan dengan adanya peristiwa dipotongnya tangan anak Ratu Sima yang melanggar ketentuan perundangan yang sudah diberlakukan tentang pencurian atau mengambil hak orang lain. Didaerah Jawa Bagian tengah dan timur sendiri catatan sejarah dimulai abad ke-7 dengan diawali oleh kerajaan Kalingga tersebut, sedangkan di Tatar Sunda catatan sejarah dimulai setelah abad ke-7 juga, disini penulis lebih mendasarkan keterangan terhadap bukti fisik yaitu prasasti. Tentang catatan prasasti tertua di Nusantara diantaranya:
  1. Prasati Kawi, tertanda tahun 584 M yang dikirim Raffles ke Bengal di tahun 1813,”for the Earl of Minto. Memorial stone praising the kingdom of Srivijaya, describing the veneration of statues and religious attitudes.”Raffles, 2, p. cxxvii-viii, yang menjadi aneh mengapa prasasti ini ditemukan di dekat kota Surabaya. Prasasti ini merupakan tanda memperingati keagungan kerajaan Sriwijaya, artinya Kerajaan Sriwijaya sudah lama berkembang dan boleh dikatakan semasa dengan kerajaan tua lainya di nusantara seperti halnya Tarumanagara dan Kutai.
  2. Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan dikenal sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145.
  3. Prasasti Karang Brahi adalah sebuah prasasti dari zaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 1904 olehKontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti ini terletak pada Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun teridentifikasi menggunakan aksara Pallawa dan bahasanya Melayu Kuna. Isinya tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Sebagai catatan, sumber berita dari Arab tentang nusantara dimulai abad ke-9 oleh Ibn Khurdadhbih kisah kisaran 850 M, Abu Zaid kisah kisaran 916 M dan Mas’udi kisah kisaran 956 M, Catatan lainya mengenai kerajaan Kalingga, dapat dilihat dari prasasti Canggal, atau disebut juga prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya dan prasasti Tukmas. Kalingga disebut Ho-Ling dalam berita catatan China pada masa dinasti Tang (618 M – 906 M), dan catatan I-Tsing kisaran berita tahun 664-665 M. Silakan baca kelengkapan tentang kerajaan Kalingga di wikipedia online.
Hal yang mungkin bisa dijadikan diperbadingkan pula sebagai catatan sejarah tentang kisah burung Ababil yang sudah sangat melegenda dalam ummat Islam. Terutama masyarakat Arab yang tinggal tak jauh dari Baitullah Ka’bah Al Mukarramah. Cerita tentang burung Ababil merupakan cerita dahsyat yang selama ini menghiasi keberadaan Ka’bah dimana pada masa lalu sebelum Rasulullah Muhammad SAW terlahir maka Ka’bah mendapat ancaman dari raja Abrahah yang ingin menghancurkannya. Kelahiran Rasulullah Muhammad SAW tercatat 571 M atau selisih 36 tahun dengan hipotesa “a Super Colossal Eruption” gunung Krakatau 535 M, dan tahun kelahirannya disebut Tahun Gajah. Silakan pembaca untuk menafsirkan peristiwa tersebut.
Peristiwa geologi yang termasuk katagori terdasyat seperti “a Super Colossal Eruption” Krakatau, tentunya selain melenyapkan peradaban ditempat sekitar lokasi peristiwa juga akan sangat mungkin melenyapkan catatan-catatan dan bukti-bukti sejarah fisik sebagai bukti primer kalau berbicara sejarah masa lampau, mengingat konon katanya ketebalan lapisan akibat timbunan abu vulkanik dan material lainnya minimal bisa mencapai 80 m.
Mari perhatikan nama-nama gelaran raja-raja sesudah abad ke-6 masehi yang beredar di tatar Sunda seperti Suryawarman, Candrawarman, dan raja-raja lainya yang sebagiannya terdapat kata lingga, seperti Lingga Buana. Candra artinya bulan, surya artinya matahari dan lingga mempunyai arti sumbat, nama-nama ini bisa jadi personifikasi dengan kejadian alam sebelumnya, lingga buana bisa mengandung arti penyumbat bumi, dalam buku Atlantis ini ditunjukan untuk gunung Krakatau. yang merupakan penghalang untuk batas laut Jawa dan lautan Hindia, yang berada diselat Sunda.
Kalau hanya berdasarkan bukti fisik dan lain sebagainya sebagai bukti catatan sejarah, tentunya awal abad masehi atau pun sebelumnya di nusantara ini akan tetap jadi misteri, hanya Tuhan-lah yang tahu tentang peristiwa kehidupan pada masa itu. Sekali lagi kita harus berterima kasih terhadap catatan sejarah prasasti yang ditemukan di abad ke-6 Masehi mengenai data sejarah tentang telah berdirinya kerajaan atau peradaban yang cemerlang dikisaran abad ke-4 dengan keberadaan Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya Purnawarman, bukti peradaan tinggi pada saat itu adalah dengan pernyataan bahwa tehnologi baju besi beliau tidak akan bisa ditembus oleh panah. Walaupun prasasti Kutai meninggalkan catatan sejarah dengan bukti arkeolog berupa prasti tersebut yang memberikan keterangan tentang Raja Mulawarman, kemudian Asyawarman dan Kudungga, tapi kelanjutanya kerajaan tersebut masih menjadi misteri, bahkan nama Kerajaan Kutai juga bukan kerajaan yang diterangkan oleh prasasti tersebut, karena memang tidak terdapat nama kerajaan Kutai di prasasti itu.
Ukiran kepala gajah bermahkota teratai diprasasti yang ditemukan di Bogor tentang raja Purnawarman yang oleh para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Menurut penulis adalah lambang atau simbol yang menunjukan telah terjadi peristiwa masa gelapnya bumi, ketika matahari dan bulan berada dalam satu posisi tentunya peristiwa alam yang terjadi adalah gerhana Matahari dengan efek bahwa cahaya tidak bisa diterima dibumi, kondisi menjadi gelap, dan itu sejalan dengan efek hipotesa dari peristiwa maha dasyat vulkanik gunung Krakatau 535 M, Bishop Siria, John dari Efesus bahkan dijelaskan masa kegelapan itu berlangsung selama 18 bulan sehingga suhu bumi berkisar di 10 derajat celsius dan efek lainnya ditandai dengan kemunduran peradaban diberbagai belahan bumi, sekaligus berkurangnya populasi manusia secara dramatis pada masa itu.
Demikian yang bisa penulis sampaikan, bukan berarti penulis tidak menghargai usaha yang telah ada mengumpulkan bukti-bukti dan hipotesa sejarah tentang masa awal abad masehi di nusantara tercinta ini, tapi ini hanyalah pendapat dari sisi lainya. Semoga pembaca yang budiman berkenan memberikan masukan terhadap penulis kalau ada bahan yang berkenaan dengan artikel ini.
Salam Damai Negeriku, Salam Sejahtera Nusantaraku.
Wassalam
Penulis
Referensi :
  1. Wikipedia online.
  2. Prof Arsyio, “Atlantis, The Lost Continent Finally Found“, penerbit Ufuk.
  3. Stephen Oppenheimer, “Eden in The East”, penerbit Ufuk.
  4. Hugh Tredennick and Harload Tarrant, “Plato, Hari-hari Terakhir Socrates“, penerbit PT Elex Media Komputindo.
  5. http://geologi.iagi.or.id/

No comments:

Post a Comment