Wednesday, July 17, 2013

SUKU BADUY (URANG KANEKES)

Suku Baduy (Urang Kanekes)



Suku Baduy selalu memiliki keunikan tersendiri yang membuat masyarakat berbondong-bondong untuk melihat kearifan lokal suku Baduy. budaya yang khas, alam yang masih terjaga, masyarakat Baduy yang masih memegang teguh adat istiadatnya, membuat Baduy selalu dilirik oleh wisatawan. adapun adat istiadat, serta kebudayaan masyarakat Baduy yaitu:
Masyarakat Kanékés memiliki 6 macam tugas hidup yang dirumuskan secara puitis sehingga mereka hapal di luar kepala (prinsip hidup suku Baduy), yaitu :
1). Ngaréksakeun Sasaka Pusaka Buana (memelihara tempat pemujaan di Sasaka Pusaka Buana).
(2). Ngaréksakeun Sasaka Domas (memelihara tempat pemujaan di Sasaka Domas).
(3). Ngasuh ratu ngajayak ménak (mengasuh penguasa dan mengemong para pembesar Negara.)
(4). Ngabaratapakeun nusa telu puluh telu, bangawan sawidak lima, pancer salawé nagara(mempertapakan nusa 33, sungai 65, dan pusat 25 negara).
(5). Kalanjakan kapundayan (berburu dan menangkap ikan untuk keperluan upacara Kawalu).
(6). Ngukus ngawalu muja ngalaksa (membakar dupa sewaktu memuja, melaksanakan upacara Kawalu dan upacara membuat laksa).

Kepercayaan Suku Baduy
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan Sunda wiwitan. kepercayaan ini yaitu meyakini adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.
Sunda wiwitan yaitu pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. kepercayaan sunda wiwitan masyarakat Baduy memiliki pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanékés tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
PIKUKUH ORANG KANÉKÉS
Gunung tak diperkenankan dilebur, lembah tak diperkenankan dirusak,
larangan tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong,
pendek tak boleh disambung, yang bukan harus ditolak,
yang jangan harus dilarang, yang benar haruslah dibenarkan
pintar dan benar itulah seharusnya seorang manusia.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanékés adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanékés mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut.
Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanékés itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga. pada masa ini wisatawan yang ingin berkunjung ke Baduy, dilarang untuk memasuki Baduy dalam.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
· Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
· Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampijampi.
· Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
· Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
· Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun (kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
· Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Bulan-bulan penting dalam masyarakat baduy yaitu:
1. Bulan Kasa
2. Bulan Karo
3. Bulan Katilu
4. Bulan Sapar
5. Bulan Kalima
6. Bulan Kaanem
7. Bulan Kapitu
8. Bulan Kadalapan
9. Bulan Kasalapan
10. Bulan Kasapuluh
11. Bulan Hapid Lemah
12. Bulan Hapid Kayu
Pemerintahan
Ada 3 pemukiman Baduy dalam, yaitu Cibeo, Cikeusek, dan Cikartawana. Setiap daerah memiliki puun sendiri yang memiliki tugas khusus dan mengadakan hubungan dengan sejumlah pemukiman daerah bagian luar Baduy.Setiap pemukiman luar memiliki pemimpin sendiri yang disebut Jaro. Seluruh organisasi ini disebut “Masyarakat tiga Tangtu dan tujuh Jaro”. saat ini semakin banyak penduduk juga orang Baduy tinggal diluar tata susun resmi, yaitu di pemukiman tambahan yang disebut penamping atau
Masyarakat Kanékés mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Penduduk Kanékés dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanékés yang tertinggi, yaitu “puun“. Struktur pemerintahan secara adat Kanékés. Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanékés adalah “puun” yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
- Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.
- Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanékés. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas.
- Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
- Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat adat Kanékés dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya
dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong.
Wilayah Kanékés dibagi atas 3 wilayah berdasarkan tingkat kemandalaannya.
Ketiga bagian wilayah dimaksud adalah :
- Wilayah Tangtu: Terletak paling jauh dari masyarakat luar, menyebabkan penduduknya disebut urang kajeroan (orang Dalam)/Baduy Dalam
- Wilayah Panamping: Terletak di sebelah luarnya, biasanya disebut urang kaluaran (orang luar)/Baduy
Luar.
- Wilayah Dangka: Lokasinya lebih luar lagi, beberapa kampung berada di luar Kanékés.
Kesenian
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
Angklung Kanekes, Angklung di daerah Kanekes digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar).
Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai. Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan.
Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk. Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut
3. Seni Ukir Batik.
Mata Pencaharian
huma serang: merupakan suatu ladang suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu: merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro. Huma penamping: merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan tradisional. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanékés adalah bertani padi huma. Ada beberapa tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yaitu pohon durian, rambutan, kelapa, api, petai, gandaria, dan pohon buah atap (kolang-kaling).
Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis ladang untuk padi gogo yaitu
Acara berburu bagi orang Baduy, selain untuk kebutuhan pangan juga untuk upacara adat. Alat yang digunakan adalah jerat dari bambu, sejenis ketapel dan jala dari tali serat kulit pohon. Orang Baduy Dalam juga mengenal teknik menjala ikan.
Masa tanam padi, di kampung-kampung Baduy Dalam dimulai ketika puun sudah menanam padi. Puun bertanggung jawab menjaga adat Baduy agar tidak berubah. Setelah puun barulah warga lain mulai menanam. Setiap warga yang akan menanam padi cukup memberi tahu kepada puun kapan waktu mereka akan menanam padi.
Upacara seba terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanékés semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanékés tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Saat ini masyarakat Baduy telah menjadi guide untuk wisatawan yang ingin berkunjung ke baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Kehidupan Suku Baduy
1. Kelahiran
Kelahiran anak merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh orang Kanékés yang telah berumah tangga, karena anak bagi orang Kanékés turut menentukan kedudukan orangtuanya dalam masyarakat dan juga kehidupan beragama mereka. Orang Kanékés yang belum memiliki anak tidak dapat diangkat menjadi pejabat di masyarakat. Oleh sebab itu, pasangan yang belum mendapat anak akan selalu disebut pengantén (pengantin), meskipun telah lama menikah. Sebutan kepada orangtua akan mengikuti nama anak sulung mereka. Misalnya, anak sulung sebuah pasangan bernama Arceu, maka orang tuanya mendapat panggilan Ayah Arceu bagi bapaknya dan Ambu Arceu bagi ibunya.
Proses kelahiran bayi selalu ditolong oleh dukun beranak yang disebut Ambu Beurang atau Ambu Girang. Pada hari ke-7 bayi itu diberi nama. Ada ketentuan umum yang berlaku di Kanékés dalam pemberian nama anak: Bahwa suku kata pertama nama anak laki-laki harus sama dengan suku kata pertama nama ayahnya, sedangkan untuk nama anak perempuan ketentuan itu dikaitkan dengan nama ibunya. Sebagai contoh, suatu pasangan bernama Nakiwin (ayahnya) dan Sawiti (ibunya), maka anak laki-laki mereka mungkin bernama Naiwin dan anak perempuan mereka mungkin bernama Sainah.
Setelah diberi nama, anak itu dipasangi geulang kantéh (gelang terbuat dari benang) pada tangan kirinya bagi anak perempuan atau pada tangan kanannya bagi anak laki-laki. Gelang tersebut dipercayai sebagai penolak bala.
2. Sunatan
Pada usia 5-7 tahun anak laki-laki orang Kanékés biasa disunat.Setelah sunatan selesai dilakukan, anak tersebut digelangi sebagai ciri bahwa dia telah memasuki masa persiapan menuju masa dewasa. Sejak saat itu dia diakui sebagai anggota warga masyarakat secara penuh.
3. Pernikahan
Di kalangan orang Kanékésumumnya pernikahan terjadi pada usia sekitar 18 tahun bagi perempuan dan sekitar 23 tahun bagi laki-laki. Dalam masyarakat Kanékés umumnya urusan jodoh masih menjadi urusan orangtua. Orang tualah yang mencarikan jodoh anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Bila orang tua kedua belah pihak sepakat untuk menjodohkan anak mereka, mereka mempersiapkan segala sesuatu guna melaksanakan upacara lalamar (lamaran,melamar, meminang). Jangka waktu antara upacara lamaran dengan pernikahan relatif sifatnya, bisa cepat, bisa lambat. Tergantung pada kesiapan kedua belah pihak.
Ada beberapa upacara yang harus dilaksanakan dalam proses upacara
pernikahan, yaitu :
1. Upacara pasabunan, berupa pengiriman kain putih, sirih-pinang, dan nasi kuning(kabuli) kepada puun
2. Upacara ngabokoran, berupa penyerahan bokor yang berisi sirih-pinang kepada puun bertempat di Balé Kapuunan.
3. Upacara akad nikah, bertempat dirumah pengantin perempuan dan diselenggarakan oleh jaro tangtu. Orang Tangtu pada dasarnya tidak diperkenankan untuk bercerai. Kalau terpaksa harus bercerai, dia akan pindah ke daerah Panamping.
4. Kematian
Dalam kosakata mereka dikenal istilah kaparupuhan (kehilangan) untuk peristiwa kematian dan ngahiyang (mendiang). Jika terjadi kematian, masyarakat Kanékés tidaklah timbul suasana hiruk-pikuk tangisan anggota keluarganya sebagai tanda duka. Suasananya tenang dan tertib sambil diiringi dengan kegiatan pengurusan jenazah. Pengurusan jenazah orang Kanékés dilakukan oleh orang khusus yang jabatannya panghulu. Ia dipandang dapat membersihkan si mati dari dosa-dosa yang melekat pada tubuhnya.
Pertama-tama jenazah itu dimandikan dengan air bersih, kemudian dibungkus dengan kain kafan, selanjutnya dikuburkan. Keberangkatan jenazah ke kuburan dipimpin oleh jaro tangtu dan diiringi ceurik panglayungan (tangisan jenazah) yang dilakukan salah seorang anggota keluarga si mati. Jenazah orang Kanékés dikuburkan arah barat-timur dengan kepala di sebelah barat. Posisi penguburannya berbaring dengan wajah menghadap ke selatan, yaitu ke arah Sasaka Pada Ageung.
Sandang, Pangan, Papan
a. Sandang
Masyarakat Kanékés secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik).
Pria Kanékés menutupi tubuhnya dengan satu set pakaian yang terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) ikat kepala, (2) baju, dan (3) sarung. Ikat kepala orang Kanékés terbuat dari kain berbentuk segitiga yang dalam bahasa Sunda disebut iket (ikat).
Pria Tangtu: Ikat Kepala Memakai ikat berwarna putih, alami yang biasa disebut iket,telekung, atau romal
Pria Panamping Ikat kepala orang Panamping disebut merong berwarna biru nila Baju Dibuat sendiri dari serat daun pelah atau kain belacu berwarna putih alami. Bajunya berlengan panjang, tanpa kerah, dan tanpa kancing, biasayany disebut kutung, Memakai baju yang disebut jamang kampret, terdiri atas dua lapis, yaitu berwarna putih di dalam dan berwarna hitam di sebelah luar. Sarung Terbuat dari benang kasar berwarna putih dengan garis-garis biru nila. Sarung tersebut yang disebut aros dipakai dengan cara diikat oleh kain pula berukuran kecil yang disebut beubeur (ikat pinggang) dan dikenakan sampai lutut.
Sarung Pria Penamping: berwarna hitam, karena itu disebut poleng hideung (sarung hitam) yang berasal dari buatan mereka sendiri.
Wanita Tangtu Wanita Panamping: Pakaian Terdiri atas (1) kemben (selendang untuk menutupi badan bagian atas dan (2) kain lunas untuk menutupi badan bagian bawah. Memakai baju kebaya, berwarna biru muda dan kain berwarna biru tua. Jika ada upacara tertentu kebaya yang digunakan berwarna putih. Sumber Dibuat sendiri dari bahan benang atau serat daun pelah Dibeli di luar desa, biasanya dari Tanah Abang, Jakarta.

Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu.
Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru tua bercorak batik atau hitam. Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.
Cara berpakaian suku Baduy Panamping memang ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
b. Pangan
Makanan pokok orang Kanékés adalah nasi. Lauk pauk untuk pengiring makan mereka terdiri atas ikan, daging, lalap, dan sayur mayur. Ikan diperolah dari tangkapan di sungai dan juga dibeli diluar Kanékés, terutama ikan asin. Orang Kanékés biasa pula memasak anak nyiruan (tawon) dengan cara dipepas untuk lauk-pauk. Makanan mereka dimasak dengan cara dikukus,dibakar, digodog, dan dipepes. Mereka minum air teh yang airnya dimasak dulu dan tehnya dibuat sendiri dari daun tulang.
c. Papan
Rumah orang Kanékés terbuat dari bahan yang tersedia di alam sekitarnya, yaitu kayu, bambu, daun rumbia, ijuk, rotan, dan batu. Kayu untuk membuat tiang dan kerangka rumah; Bambu untuk usuk, reng, lantai, dinding, pintu, dan tangga; Daun rumbia berguna untuk membuat atap; Ijuk untuk membuat bubungan; Batu untuk tatapakan (penyangga tiang); Rotan untuk mengikat dan peneguh bangunan, terutama pada sambungan kayu atau bambu.
d. Peralatan
Peralatan hidup orang Kanékés tidak banyak ragamnya. Peralatan kelengkapan rumah tangga orang Kanékés yang dimaksud terdiri atas :
(1). Peralatan tidur, yaitu tikar (terbuat dari pandan), bantal (terbuat dari kayu), dan selimut (kain tenunan sendiri).
(2). Peralatan masak, yaitu hawu (tungku), dandang (terbuat dari tembaga), kukusan, kipas (terbuat dari anyaman bambu), leukur (tempat menyimpan dandang), dan dulang (tempat mengaduk nasi),
(3). Peralatan makan-minum, yaitu bakul, piring terbuat dari kayu, cangkir terbuat dari bambu, pinggan, batok (cangkir tempurung kelapa), dan panjang (piring porselen kuno).
(4). Peralatan lainnya, seperti totok (pelita dari bambu yang bahan bakarnya minyak picung), kélé (tempat air dari bambu), tomo (periuk tanah tempat menyimpan air matang), siwue (alat penyiduk air), lodong (tempat air nira atau tuak dari bambu), koja (tas yang dirajut), nyiru (alat penampi gabah), pakara (alat tenun) Di Penampang terdapat cermin, kenceng (tempat penggorengan), sendok, garpu, piring, gelas, radio, lampu minyak tanah, lampu senter, tape recorderbahkan handphone saat ini walaupun dipakai secara sembunyi-sembunyi jika ada orang Tangtu datang ke tempat tinggal mereka.
e. Arsitektur Bangunan
Pada umumnya permukiman suku Baduy ini berada di lereng-lereng bukit, lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, dekat dengan sumber mata air atau aliran sungai. Ada lima sungai yang mengalir ke wilayah perkampungan Baduy yaitu Cimangseuri, Ciparahiang, Cibeueung, dan Cibarani yang semua bermuara ke Sungai Ciujung. Rumah-rumah adat mereka berbentuk rumah panggung dengan ukuran kirakira 10×12 meter, atapnya terbuat dari daun rumbia dan dinding rumah dari bambu. Umumnya hanya terdiri dari dua ruang, satu berfungsi sebagai dapur dan yang lain dapat sebagai tempat menerima tamu atau kamar tidur jika malam menjelang. Sama sekali tak berjendela. Selalu ada 4-6 potongan bambu sepanjang setengah meter yang ujung bagian atasnya dilubangi berjejer di setiap rumah. Dan ternyata potongan-potongan bambu tersebut adalah wadah menyimpan air bersih untuk keperluan memasak. Mereka tak mengenal kasta, ini nampak dalam bentuk bangunan rumah mereka yang nyaris sama semua.
Mitos dan Arsitektur Rumah
Kebiasaan masyarakat Kanékés dalam membangun rumah pada hakekatnya merupakan pencerminan keteguhan masyarakat dalam melaksanakan peraturan-peraturan adat sebagai tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Membongkartanah adalah buyut. Apabila permukaan tanah tempat mendirikan rumah ternyata tidak rata, maka bukan permukaan tanahnya yang diratakan, melainkan tiang panggung rumah yang disesuaikan tinggi atau rendahnya menurut kelerengan permukaan rumah.
Rumah tempat tinggal di Kanékés berbentuk panggung. Dengan demikian setiap rumah memiliki kolong yang tingginya 1-1,5 meter di daerah Tangtu dan 40-50 cm di Panamping, dan tangga untuk masuk ke dalma rumah. Ruangan di dalam rumah terbagi atas dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar berupa ruang beranda (tepas) tempat menerima tamu. Bagian dalam rumah berfungsi sebagai ruang tempat tidur, makan dan memasak. Kedua bagian itu dibatasi oleh dinding terbuat dari anyaman bambu (giribig).
Rumah Suku Baduy di bagian depannya selalu terdapat “ Amben “ yaitu tempat untuk ngobrol. Atap rumah Suku Baduy umumnya terbuat dari rumbia yang berjajar dan saling berhadapan dengan rapi. Umumnya rumah berbentuk panggung yang berdiri setengah meter di atas tanah dengan tiga anak tangga. Rumah tradisional Baduy berupa panggung dengan lantai Bambu dan berdinding bilik anyaman bambu. Atapnya terbuat dari daun rumbia dan ijuk.
Konstruksi rumah tidak menggunakan paku dan cat, umumnya terdiri dari lima bagian:
1. SOROSO atau Serambi,
2. TEPAS atau Ruang Tamu,
3. IMAH atau Ruang Utama yang juga berfungsi sebagai kamar,
4. MUSUNG atau tempat penyimpanan barang,
5. PARAKO tempat menyimpan barang diatas Tungku.
Tidak ada jendela pada rumah orang Kanékés, yang ada hanya lubang pada dinding berukuran sekitar 3 x 3 cm yang berfungsi sebagai media penerang ruangan di waktu siang, ventilasi udara, dan untuk mengintip orang yang ada di luar. Tak ada pula pagar sebagai pembatas lahan rumah karena letak rumahnya berdekatan dan berderet.
Bentuk rumah di Badui Dalam dan Badui Luar hampir sama. Bedanya di Baduy Dalam seluruh rumah menghadap ke utara atau selatan. Selain itu pembuatannya tidak menggunakan paku tetapi rotan, akar, atau kulit kayu sebagai pengikat. Lumbung padi mereka yang disebut LEUIT, berada pada jarak yang cukup jauhdari rumah mereka agar terhindar dari kebakaran.
Mitos dan Kenyataan
Syarat untuk mendiami tanah suci adalah harus tidak takabur. Hidup yang baik adalah cukup dengan apa yang telah diterima atau diberikan (diajeungkan ti wiwita). Lahan titipan Ambu Luhur harus dijaga dan dipelihara sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Batara, Daleum dan Menak. Tiang alam semesta adalah Sasaka Domas. Ada tradisi dalam hal permukiman orang Kanékés ialah bahwa dalam jangka waktu tertentu harus berpindah, walaupun jaraknya hanya beberapa belas meter dari lokasi pemukiman semula.

No comments:

Post a Comment