Perang Aceh yang telah berlangsung selama empat puluh tahun (1873-1913) telah mengakibatkan kerugian materil mau pun jiwa. Baik itu yang dialami pihak Aceh, maupun Belanda. Sampai 1913 tercatat sekitar 2200 personel militer tewas dalam pertempuran dan 13.000 lainnya luka-luka di fihak Belanda. Angka tersebut masih harus ditambah dengan jumlah militer NIL yang meninggal karena sakit sekitar 10 ribu orang dan 25 ribu narapidana yang tewas dalam pertempuran, maupun sakit. Belum lagi serdadu Belanda yang melakukan desersi ke pihak Aceh. Sementara di pihak Aceh tewas sekitar tujuh puluh ribu jiwa, suatu jumlah yang cukup berarti mengingat penduduk Aceh hingga 1890 hanya dihuni sekitar setengah juta jiwa (Van’t Veer, 1987: 255).
Tidak mengherankan kalau sejarawan Indonesia asal Australia, Anthony Reid menaksir sekitar seperempat hingga sepertiga jumlah laki-laki di daerah Alas pada 1903 mati syahid dalam pertempuran (Reid, 1987). Juga suatu hal yang tidak mengherankan apabila dua atau tiga generasi dari sebuah keluarga gugur dalam pertempuran, seperti yang dialami keluarga Chik Tiro. Bukan hal yang mengherankan kalau pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien kehilangan dua orang suami yang gugur dalam pertempuran. Kerugian ini belum termasuk kerugian di bidang sosial ekonomi, seperti hancurnya sejumlah desa, terbengkalainya persawahan, maupun prasarana lain yang dibangun selama Kesultanan Aceh berdiri. Pada 1920-an masih terjadi pemberontakan bersenjata di kawasan Aceh Selatan dan pedalaman.
Pendidikan barat yang kemudian diterapkan oleh pemerintahan kolonial sebagai konsekuensi pelaksanaan Aceh-Politiek membawa keguncangan dalam masyarakat, seperti meningkatnya rasa curiga terhadap mereka yang belajar huruf latin. Tak mengherankan apabila ada anggapan pada masa 1910-an barang siapa yang mempelajari huruf latin akan dipotong tangannya di akherat nanti. Tidak mengherankan hingga 1930 hanya 1,1 persen penduduk Aceh yang bebas dari buta huruf latin. Sekalipun secara keseluruhan penduduk Hindia Belanda masih banyak buta huruf. Jawa saja hanya 5,5 persen penduduknya yang bisa membaca huruf latin. Penduduk Aceh pada 1920-an sekitar 735 ribu jiwa.
Adapun sekolah rakyat atau sekolah desa pertama yang didirikan di Aceh adalah tanggal 30 Desember 1907,yang diprakarsai oleh Gubernur Militer/Sipil dan Daerah-daerah takluknya pada masa itu yaitu Van Daalen. Sekolahini didirikan di wilyah Aceh Besar distrik Ulee Lheue yangdiberi nama sikula mukim (sekolah mukim) dengan jumlah murid 38 orang. Selanjutnya, pada 4 Januari 1908 dibuka lagi sekolah serupa dengan jumlah murid 35 orang.Di bawah pemerintahan Gubernur Swart pada 10 Juni 1908 sekolah-sekolah rakyat ini semakin dikembangkan.
Masalah lain dihadapi Aceh adalah depresi dan trauma melanda sebagaian rakyat Aceh pasca perang. Adanya depresi ini terbukti dengan meningkatnya angka pembunuhan terhadap orang Belanda atau mereka yang dianggap pro Belanda , apa yang disebut Aceh Moodern. Antara 1910-1919 terjadi sedikitnya 75 penyerangan yang mengakibatkan jatuhnya 99 korban di pihak Belanda, 12 di antaranya tewas. Tercatat 47 pelaku penyerangan terbunuh, Laporan Residen Aceh juga mengungkapkan banyaknya jumlah orang gila atau dianggap gila di daerah ini, sehingga pada 1920 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sebuah rumah sakit jiwa di Sabang.
Sesudah perang yang begitu melelahkan, yang menghabiskan milyaran gulden hanya untuk daerah yang secara ekonomis tidak berarti, dianggap berakhir-tentunya oleh Belanda-maka Belanda menjalankan aceh politiek. Para bangsawan Aceh atau yang dikenal sebagai uleebalang dirangkul, pas dengan anjuran Snouck Hurgronje. Mereka diberi fasilitas dan hak privillage, baik di bidang politik, ekonomi dan pendidikan, bahkan budaya. Pendidikan volkschool diperkenalkan kepada rakyat Aceh sampai ke pelosok perdesaan.
Perkembangan lain yang menarik pasca perang ialah masuknya gelombang migrasi orang-orang Minangkabau, yang bermukim di Aceh Barat dan Selatan. Mereka bekerja di sektor perdagangan atau menjadi mantra dan pegawai kantor pemerintahan. Gelombang migrasi orang-orang awak ini meningkat dalam 1920-an, membawa serta institusi pendidikan seperti Muhamadyah, Sumatra Thawalib yang berkembang di Sumatera Barat era sebelumnya.
Perubahan yang terjadi sebagai akibat Aceh Politiek ini terutama dialami oleh golongan uleebalang. Golongan ini sebetulnya adalah kepala-kepala daerah yang ditunjuk oleh Sultan Aceh dalam Piagam sarakata. Menurut ketatanegaraan Aceh, mereka didampingi seorang ulama dalam menjalankan pemerintahannya. Kekuasaan Kolonial di Aceh membuat para uleebalang tidak lagi memerlukan segala aturan di atas, mereka diberikan pangkat zelfbestuurder dengan gaji 10.200 gulden bagi mereka yang menguasai daerah luas dan 240 gulden per tahun bagi mereka yang menguasai tingkat desa setiap tahunnya (Reid, 1987).
Para uleebalang ini dapat mengumpulkan kekayaan apabila mau bekerjasama dengan masakapai-masakapai swasta untuk perkebunan seperti daerah Pidie, maupun daerah pertambanagn minyak bumi seperti di Peurelak. Pada prakteknya mereka tdiak segan-segannya mengorbankan tanah rakyat yang ada di wilayah mereka. Para bangsawan ini diberi hak untuk mengawasi kerja rodi yang dilakukan rakyatnya di daerah perkebunan tersebut, serta memungut hasilnya. Sekitar sepertiga hingga setengah persawahan rakyat di daerah Pidie diserahkan kepada onderneming swasta oleh uleebalang setempat.
Namun yang paling berbeda dibanding masa sebelumnya, pada pendudukan Belanda ini para uleebalang mendapat kesempatan untuk mengambil hak-hak para ulama dalam mengurus zakat dan harta anak yatim. Akibatnya mereka berpeluang mendapat penghasilan tambahan dengan menggelapkan uang yang didapat dari zakat dan harta anak yatim itu. Perilaku ini memberikan citra buruk bagi kelompok ini.
Pendidikan yang lebih baik memang didapati golongan uleebalang ini. Banyak dari mereka yang berkesempatan sekolah hingga luar Aceh seperti OSVIA di Bukittinggi. Mereka juga mendapat tempat di Volksraad sebagai wakil rakyat Aceh. Biasanya mereka tidak memperdulikan nasib rakyatnya, kecuali uleebalang seperti Teuku Muhamad Hasan dan Teuku Nyak Arief. Dua orang uleebalang ini bahkan mempunyai perananan dalam pergerakan nasional.
Sebagai anak yang lahir dari golongan uleebalang, Teuku Muhammad Hasan beruntung mengenyam pendidikan yang baik. Kelahiran Gampong Peukan Sot 4 April1906, Pidie ini putra dari Teuku Bintara Pineueng. Dia menempuh pendidikan volksschool di Lampoih Saka, ibukota Kecamatan Peukan Baro pada 1914. Setelah belajar selama dua tahun diminta Belanda melanjutkan pendidikan di Europeesche Largere School (ELS) di Sigli. Dia tamat pada 1924 dan melanjutkan sekolah di Batavia di Koningen Wihelmina School. Setelah itu dia menamatkan pendidikan Fakultas Hukum di Leiden. Selama di Negeri Belanda, Teuku Muhamamd Hasan berkenalan dengan Perhimpunan Nasional dan berkenalan dengan tokoh pergerakan seperti Achmad Subardjo, Maria Ulfah, Muhammad Hatta dan sebagainya (Ibrahim, 1983).
Sementara Teuku Nyak Arief, uleebalang dari Sagi XXXVI Aceh Besar mewakili Aceh dalam Volksraad. Dia orang Aceh kedua setelah Teuku Chik M. Thayeb, uleebalang dari Peurelak yang menjadi anggota Volskraad pada 8 Februari 1918 hingga 14 Mei 1920. Dalam volsraad, Nyak Arief ikut membentuk fraksi nasional dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka. Jelas dari sikap mereka dalam volksraad, Teuku Muhamamd Hasan dan Nyak Arief, ini sudah punya pandangan ke-Indonesiaan yang lebih luas.
Gerakan Lokal Golongan Uleebalang
Gerakan pertama yang berdiri di Aceh adalah Syarikat Aceh yang didirikan oleh pemuda-pemuda lulusan sekolah guru di Bukittingi. Gerakan ini digagas pada 1914, dalam sebuah pertemuan yang melibatkan sejumlah uleebalang berpikiran maju dan juga pejabat Belanda. Dalam penggasan terjadi perbedaan faham antara kaum tua yang dipimpin Panglima Polem dan golongan muda dipimpin Teuku Chick Muhammad Thayeb. Pada 1916 Syarikat Aceh berdiri dengan ketuanya Chick Muhammad Thayeb dan wakilnya Teuku Teungoh Meuraksa, Tujuannya mengubah adat lama yang mengekang amsyarakat Aceh dan memberikan eksempatan kepada kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan. Gerakan ini bersifat lokal.
Pada 1918 Teuku Rhi Boejang yang memerintah Nizam mendirikan Islam Menjadi Satu, yang tujuan utamanya menjembatani jurang antara pendidikan gaya barat dan tradisional. Uleebalang ini juga mendorong berkembangnya Sarekat Islam di daerahnya. Awalnya pemerintah kolonial membiarkan aksi Teuku Rhi Boejang dengan harapan gerakan-gerakan ini dapat mengalihkan fanatisme agama ke gerakan reformasi. Namun solidaritas Islamnya akhirnya dinilai membahayakan kekuasaan Belanda. Tahun itu juga Rhi Boejang ditangkap bersama seorang uleebalang lainnya (Reid, 1987).
Gerakan Muhamadyah awalnya disebut sebagai “Kaphe Padang” dan tidak mendapatkan sambutan. Misalnya saja, di Lhok Seumawe, Muhamadyah didirikan oleh seorang mantra polisi asal Minang bernama Sutan Mansyoer. Perkembangan organisasi ini pada awalnya bergerak lambat. Sampai pada 1932 hanya tujuh persen anggota Muhamdyah di kawasan ini. Di mata ulama tardisional, Muhamadyah dianggap sama dengan pendidikan barat ancaman bagi eksistensi pendidikan tradisional.
Gerakan pendidikan memang menonjol di Aceh pada akhir 1920-an dan awal 1930-an. Pada 1929 Teuku Chik M. Thayeb mendirikan Perkumpulan Usaha Sama akan kemajuan Aceh (PUsaka). Tiga tahun kemudian , pada 1932 itu berdiri Perguruan Taman siswa di kutaraja dengan Ketuanya Teuku Hasan Glumpang Pajong dengan Wakil ketua Teuku Nyak Arief. Sementara anggotanya A.Azis yang disebutkan berasal dari Padang dan Ru Martin dari Ambon.
Organisasi yang berasal dari Jawa yaitu Jong Islamieten Bond (JIB). Rencana pendirian organisasi cabangini pada mulanya pada tahun 1928. Pelopornya seorang pengurus pusat JIB, Azis, putera seorang pensiunan Groot Atjehsche Afdeelingbank bernama Brahim pulang keKutaraja dalam rangka libur sekolah. Akan tetapi usaha itu belum berhasil. Baru pada 1930 dengan dukunganTeuku Nyak Arief, cabang JIB dapat didirikan di Kutaraja,Sigli dan Lhokseumawe dengan catatan bahwa organisasi ini tidak mencampuri urusan politik di Aceh, (setiap organisasi Islam yang masuk ke Aceh selalu di curigai olehpemerintah Hindia Belanda).
JIB Cabang Kutaraja cukup berkembang dengan mendirikan bagian wanitanya yaitu Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA). Pembentukan JIBDA ini diikuti pada 1931, membuka sebuah sekolah khusus untuk puteri (sekolah rakyatputeri), tetapi pada tahun 1932 sekolah ini dirubah menjadisekolah campuran (untuk pria dan wanita). Pada tanggal 6Oktober 1932 JIB mendirikan lagi sebuah cabang di Sabang yang diketuai oleh Abdurrahim dan setelah itu kelihatannya JIB tidak mendirikan cabang-cabang lagi pada kota-kota lain di Aceh
Gerakan Kaum Ulama
Para ulama menjawab tantangan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah model baru. Sebagian dari mereka menuntut ilmu di Jawa, Mekah dan Sumatra Barat. Pada 1928 Tengku Abdul Wahab di Seulimeum mendirikan perguruan Al Islam, disusul Madrasah Ahlu Sunnah Wal Djamaah di Idi oleh Said Hussein. Pada 1930 Tengku Abdul Rachman mendirikan Al Islam Peusangan di Biereun. Disusul pendirian Djamiatuddinyah Al Mutasiah oleh Tengku Syech Ibrahim pada 1931. Para ulama pembaharu ini umumnya lulusan Sumatra Thawalib.
Perguruan yang paling populer, serta paling moderat ialah sekolah yang didirikan Tengku Muhamamd Daud Beureuh pada 1930 di Garot, dengan nama Djamiatul Diniyah (ada yang menulisnya Jam’iyatud Diniyah yang berarti organisasi keagamaan) . Tabligh pertama perguruan ini dihadiri sekitar 7500 orang, yang datang berbondong-bondong, datang berjalan kaki sampai berkilometer jauhnya. Ulama muda ini kemudian tersingkir dari daerahnya di Pidie karena berselisih dengan Teuku Oemar Keumangan, uleebalang di mukim tersebut. Konflik antara Oemar Keumangan dan Daud Beureuh merupakan awal dari perselisihan antara golongan uleebalang dan ulama.
Puncak dari kebangkitan para ulama Aceh ini ialah berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1939. Organisasi didirikan melalui sebuah konferensi yang dilaksanakan secara hati-hati oleh Tengku Abdul Rachman. Dalam konferensi ini Tengku Daud Beureuh terpilij sebagai ketua dan Noer El Ibrahimy sebagai Sekretaris I. PUSA adalah organsisasi pergerakan yang berwarna Aceh. Lewat organisasi ini bagaikan menemukan jati diri orang Aceh yang hilang akibat tekanan pemerintah kolonial. PUSA tumbuh pesat dalam waktu singkat terutama di wilayah perdesaan.
Golongan uleebalang menyadari kebangkitan ulama bakal menjadi ancaman bagi status quo mereka. Untuk itu para uleebalang mencari alternatif untuk menghambat perkembangan PUSA. Muhamadyah dinilai sebagai organisasi yang bisa mengimbangi PUSA. Untuk itu para uleebalang beramai-ramai mendirikan Muhamadyah di daerahnya. Namun PUSA tetap tak terbendung, apalagi Daud Beureuh berhasil mendamaikan ulama tua yang masih tradisional dengan ulama yang muda di bawah kepemimpinannya
Para golongan uleebalang dengan juru bicaranya –justru dari kalangan nasionalis- seperti Teuku Muhammad Hasan dan Teuku Nyak Arief mengecam berdirinya PUSA sebagai kemunduran bagi daripada pergerakan nasional. Sebaliknya PUSA menggugat hak privillage yang dimiliki golongan uleebalang di bidang agama, sebagai perampasan terhadap hak ulama. Kecaman terhadap golongan uleebalang mengalir deras dan mulai mempertanyakan hak-hak mereka di bidang ekonomi dan politik. Kecaman-kecaman itu dimuat di Majalah Penyedar yang terbit di Medan pada 1939.
Persaingan antara golongan uleebalang dengan mempergunakan Muhammadyah dan ulama dan PUSA-nya tampak juga pada kaum mudanya. Ketika Muhamadyah mendirikan Hizbul Wathon, maka PUSA menajwabnya dengan mendirikan Pemuda PUSA melalui Kongres Pertama PUSA pada 1940. Pemuda PUSA ini dipimpin oleh seorang ulama muda, Teungku Husain Al-Mujahid. Dalam kongres ini tampil ulama kalangan modernis dari kalangan masyarakat Aceh seperti Mahmud Yunus, Rangkayo Rahma Elyunusiah. Dari kalangan uleebalang hadir Tgk. M.Hasan Glumpang Payong yang mewakili hulubalang di daerah Pidie yang menyatakan kesediaan hulubalang memberikan kelapangan kepada PUSA untuk bergerak menempuh jalan yang baik dan menghindari pertikaian.
Pembicara lain Mr.S.M. Amin dan Mr.T.M. Hanafiah memberikan penilaian kritis terhadap sistem sistem sosial mayarakat Aceh agar dijadikan bahan pertimbangan program PUSA. Dalam pidatonya yang berjudul “Hubungan Syarak, Wetdan Adat”, S.M. Amin secara tegas menyerukan agar diubah sistem pengadilan di Aceh yang bersandarkan adat. Menurut S.M Amin adat yang telah lampau tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan. Sementara Mr.T.M.Hanafiah dalam pidatonya “kemiskinan Rakyat Aceh dan Cara Mengatasinya” menyebutkan tentang rendahnya pendapatan petani Aceh. Hal itu disebabkan rendahnya produktifitas akibat kewajiban adat dan sosial yang dibebankan pada mereka. Ini harus dicarikan cara penyelesaiannya (Wibowo, 2005).
Dalam kongres itu PUSA menyatakan mendobrak tradisi yang ada dalam masyarakat yang melenceng dari ajaranIslam. Demikian pesan Tgk. Abdullah Umar Lam U dalam pidatonya berjudul “Kewajiban dalam Islam adalah suruh makruf dan tegah mungkar”. PUSA juga menyatakan maksudnya untuk membasmi iktikad yang batil dalam agamayang sangat merusak rakyat Aceh. Pernyataan kedua ulama PUSA itu secara jelas memperlihatkan cita-cita membentuk masyarakat Aceh yang lebih berwajah Islami. PUSA memikul beban suci, dalam memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk tahyul dan kurafat. Dengan sikap seperti itu PUSA berhadapan dengan ulama tradisional dan hulubalang.
Pada 1938 di Volksraad diperdebatkan suatu usulan mengenai restorasi Kesultanan Aceh yang didukung golongan ulama. Namun golongan uleebalang mengecam usulan itu sebagai suatu kemunduran. Teuku Muhammad Hasan yang aktif di pergerakan bahkan mendukung kubu uleebalang dengan menyusun suatu barisan panjang menentang restorasi. Bagi uleebalang terbentuknya kembali Kesultanan Aceh berarti ancaman bagi konsesi-konsesi di bidang politik,ekonomi dan budaya yang mereka peroleh dari kebijakan kolonial Belanda.
Hubungan sosial PUSA dengan kaum uleebalang dapat dikatakan kerap diwarnai dengan konflik. Tokoh muda PUSA menyerang kebijakan uleebalang yang menyengsarakan rakyat. Bidang utama tugas uleebalang yang paling dikecam adalah pengerahan rodi (atau kerja wajib bagi laki-laki usia 18-55 tahun) untuk proyek-proyek umum selama 12 hari dalam setahun, serta penarikan belasting kepada orang miskin sekalipun sebesar F1 per penduduk kepala.
Gagasan Keislaman dan Nasionalisme Menurut Surat Kabar lokal
Tidak terlalu banyak media yang dikelola oleh orang Aceh membuat agak sukar memberikan gambaran seperti apa Islam sebagai “ideologi” baik di kalangan uleebalang mau pun ulama. Ada surat kabar mingguan yang unik terbit pada 1926 Mata-mata di Indonesia. Redakturnya disebutkan bernama Abdoel Madjid, dibantu seorang Zoebad. Dilihat dari nama penulisnya Tjindur Mato dan pemasang iklannya Soetan Soelaiman pengusaha kopiah di Kampung Kramat Baru, Djamaran pemilik toko kopiah di Fort De Kock, Moehamad Oesman penguasa warung nasi, tampaknya pengelola majalah ini atau segmennya adalah orang-orang Minang yang tinggal di Aceh.
Namun kontennya bersinggungan dengan situasi sosial di Aceh. Pada edisi 1 Februari 1926 misalnya ada artikel berjudul “Tanah Atjeh Terjetjer” menyebutkan bahwa Aceh tertinggal di bidang pendidikan, ekonomi dan politik dibanding “negeri” lain (maksudnya dalam wilayah Indonesia). Sementara dalam Mata-mata Indonesia edisi 8 Februari 1926, Zoebad mengkritik jurnalis bumiputera pada awal abad ke 20 yang tidak berani mengkritik perilaku pegawai pemerintah yang tidak memperhatikan rakyatnya. Yang diberitakan hanya soal sado yang mengalami kecelakaan atau anak berkelahi.
Yang paling baik adalah artikel pada edisi 8 Februari 1926 dengan judul “Tanah Pidie”. Penulisnya tidak terlalu jelas , namun isinya menarik bahwa Pidie adalah daerah penghasil beras yang produktif dibanding daerah lain di Aceh. Pada 1919 hingga 1921 Pidie menanggung kesusahan beras di wilayah lain di Aceh. Namun pada 1926 rakyat Pidie tidak menikmati berasnya karena uleebalang Pidie menjual beras yang susah payah diusahakan rakyatnya ke Belawan untuk kepentingan onderneming capital. Dia melaporkan ratusan karung koni dan pikul beras sudah berada di daerah luar Aceh. Padahal jelas-jelas Controleur, Sigli pada 25 Januari 1926 mengeluarkan surat melarang uleebalang membawa beras ke luar,karena Pidie masih kekurangan beras.
Artikel ini menjadi menarik karena buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diterbitkan Depdikbud, 1978 menyebutkan tentang perilaku beberapa uleebalang di Pidie yang disebutkan menggelapkan zakat. Juga cocok dengan ulasan Reid soal penyerahan sepertiga sawah kepada onderneming dan pengambil hak ulama dalam mengelola zakat yang saya singgung di atas (Reid, 1987). Mata-Mata di Indonesia juga mengkritik kehidupan buruh di bengkel-begkel kota Sigli yang hanya diberi upah beberapa sen saja dalam artikel lain di edisi 8 Februari 1926.
Saya juga mendapatkan Muslimin yang terbit mingguan pada 1930-an di Kutaraja dengan penerbit Dj Al Ishail Islamijah. Komposisi awak redaksi, mulai dari Pemimpin Redaksinya, Teuku M.Oesman dengan Redaktur bernama Tengku M.A. Ghafoer Achir dan Tengku Hasbi dibantu seorang lulusan kedokteran bernama dr. Ramli di Padang Sidempuan cukup menarik, karena komposisi redaksi ada yang dari uleebalang dan ada yang dari ulama.
Isi pemberitaannya cukup mencerminkan ke-Indonesiaan daripada keAcehannya, sekalipun terikat dengan spirit ke-Islamannya. Tulisan Teuku M.Oesman berjudul “ Agama Islam Terhadap Soesoenan Pemerintahan Indonesia Merdeka” dimuat dalam Muslimin edisi 76, 7 Safar 1352 atau 1 Juni 1933 berisi kecaman terhadap sistem kapitalisme yang memanfaatkan demokrasi. Rakyat sebetulnya tidak pernah punya wakil di parlemen (barat) karena sejak semula menajdi kaki tangan bangsawan dan revolusi industri hanya merubahnya menjadi kaki tangan pemodal. Dewan Kerakyatan di Barat selalu dalam cengkeraman kaum kapital.
“Agama Islam mementingkan kaoem melarat sebagai kewadjiban jang positief tetapi tidak dengan memoesoehi kaoem hartawan kaja dan senang” Demikian salah poin yang diungkapkan Oesman memberikan isarat bahwa Islam menurutnya adalah alternatif di luar sistem kapitalisme dan sosialisme/marxisme. Lebih lanjut Oesman melontarkan pandangan menarik, sekalipun Islam diajdikan pedoman juga mengayomi penganut agama lain.
Insya Allah di sana ada penghidoepan jang harmonis, persaudaraan haq sama rata, sama rasa di antara tingkatan-tingkatan manoesia jang ada sekarang dengan tidak membedakan agama ini itoe. Kesadaran nasionalisme tampak pada pernyataan bahwa Indonesia terbagi berpuluh-puluh kepulauan punya agama, adat dan tata tertib. Menurut Oesman lagi kalau Indonesia merdeka nanti menurut agama Islam pemerintahan tetap republik dengan mengikuti contoh yang diberikan Nabi Muhammad SAW.Dia juga mengungkapkan hukum dengan Qur’an, Hadist,Ijtihad hingga permusyawaratan.
Tulisan lain yang menarik diungkapkan Siti Arpah Oesman “Penerangan Islam di Bawah Kilatan Rencong Aceh” dalam Muslimin. Menurut si penulis pekerjaan ibadat dalam agama Islam seperti sembahyang,puasa dan naik haji itu bertujuan sebagai suatu alat untuk menghidupkan hati dan membersihkannya dari kotoran. Lebih luas lagi Soeatoe alat oentoek menjoesoen kekoeasaan bagi soeatoe pemerintahan jang terdiri dari hak jang diberi Allah Soebhana Wata’ala.
Dalam Muslimin juga diiklankan tentang buku Mentjapai Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno disebutkan pada 12 April 1933. Itu artinya sosok Sukarno sebetulnya sudah diketahui di Aceh pada 1930-an,paling tidak di kalangan orang Aceh terpelajar. Pemasang iklan di penerbitan ini juga beragam. Yang menarik adalah pengusaha hotel dan restoran bumiputera di Kutaraja yang dikelola oleh Djasiman, yang mengaku mantan Sersan Infantri tentara Hindia Belanda.
Akhir Tragis Penjajahan Belanda di Aceh
Berbeda dengan daerah lain, masa penjajahan Belanda di Aceh berakhir diwarnai pertumpahan darah. Pada 1940-1942 Pemuda PUSA mengadakan hubungan dengan Jepang yang sudah menduduki Malaya). Ada kesepakatan bahwa Pemuda PUSA membantu Jepang menumbangkan kekuasaan Hindia Belanda. Dinas rahasia Jepang mempergunakan kesempatan ini untuk mengadakan perang urat syaraf di Aceh dikenal dengan gerakan F (Fujiwara Kikan). Tujuannya untuk melunakan pertahanan Belanda sebelum tentara Jepang mendarat. Caranya mengacaukan perhubungan Belanda, menimbulkan kegelisahan di kalangan pejabat Belanda dan menghalangi pelaksanaan bumi hangus.
Pada Februari 1942 setelah kedatangan dua puluh anggota F kikan dipimpin oleh Abu Bakar ke Sumatra, pesan propaganda mereka menyebar seperti api liar di seluruh Aceh dengan dukungan PUSA. Sentimen anti Belanda makin berkobar. Pada 23 Februari malam hari pecah pemberontakan dimulai dengan serangan pasukan Aceh dipimpin Tengku Abdul Wahab terhadap kantor pos Belanda di Seulimem. Tentara Belanda yang berasal dari orang Indonesia membelot kepada pasukan F-Kikan.
Orang-orang Aceh berhasil mencegah penghancuran jembatan dengan dinamit. Di tempat lain mereka memblokir jalan-jalan sempit, memotong saluran telepon dan meledakan rel kereta api Indrapuri. Keesokan harinya terjadi senjata antara tentara Belanda dengan tentara Aceh. Kedua belah pihak menderita korban belasan jiwa (Iwaichi, 1983). Dalam kerusuhan di Seulemeum itu Controleur Tiggelman dibunuh rakyat. Pejabat Belanda lain yang mati mengenaskan adalah Kepala Jawatan Kereta Api bernama Van Sperling. Sebanyak 5000 gulden dari kantor pos berhasil dilarikan untuk dana perjuangan. Akibat perlawanan rakyat ini Belanda mengadakan jam malam di Kutaraja (Safwan, 1976).
Pada 7 Maret pemberontakan yang sistematis juga pecah di seluruh Aceh Besar dan bagian utara Pantai Barat Aceh. Pada malam harinya 800 anggota F-Kikan menyerang barak tentara Belanda dekat Krueng Jreue. Poliklinik di Indrapuri dihancuran. Jatuhnya Jawa ke tangan Jepang pada 8 Maret 1942 membuat pejabat Belanda di Kutaraja panik. Residen Aceh mengadakan pertemuan dengan Teuku nyak Arief yang mengusulkan agar pemerintahan di Aceh diserahkan saja kepada dirinya, dengan begitu ia bertanggungjawab atas nyawa orang-orang Eropa. Usulan ini ditolak.
Tetapi akhirnya orang Belanda kabur ke luar Kotaraja. Warga sipil diungsikan ke Medan. Pertempuran terjadi di Calang antara 9-11 Maret dengan korban yang cukup banyak di kedua belah pihak. Pada 19 Maret tentara Jepang menduduki Aceh. Tentara Belanda dipimpin Kolonel Gonsenson mundur ke Takengon dengan kekuatan 2000 tentara, Mereka bermaksud mengadakan perang geriliya, tapi apa daya tidak didukung rakyat Aceh, Pada 28 Maret 1942 Mayor Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenon menyerah kalah kepada Jepang di Kutacane.
Kenyataannya sekalipun PUSA memainkan peranan penting dalam mempermudah pendudukan Jepang di Aceh, tetapi pemerintahan militer Jepang mengakomodir kaum uleebalang dalam pemerintahan. Sementara ulama hanya urusan agama saja. Tentunya menimbulkan kekecewaan. Keretakan antara kedua golongan ini makin melebar. Ketika Perang Kemerdekaan pecah, Aceh adalah daerah yang tidak diduduki Belanda. Namun pada 1945-1946 revolusi sosial pecah,kelompok PUSA yang pro Kemerdekaan RI berhadapan denagn kelompok uleebalang yang masih mempertahankan status quonya dengan berharap pada kembalinya kekuasaan Belanda. Dalam bentrokan berdarah itu kekuasaan uleebalang berakhir. Sayangnya dengan tragis.
Irvan Sjafari
NB: Tulisan ini merupakan rangkuman dari catatan saya sewaktu masa kuliah (1990-an) berdasarkan penelusuran sumber di berbagai perpustakaan. Diupdate pada 2013 dengan sumber tambahan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik “Islam, Sejarah, Politik di Aceh” dalam Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987
El Ibrahimy, M. Noer, Tgk.M. Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982
Ibrahim, Drs. Muhammad, Mr. Teoekoe Moehammad Hasan: Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983
Iwaichi, Lt.General Fujiwara, F.Kikan : Japanese Army Operations in Southeast Asia during World War II, Heineman Asia, Hong Kong, Singapore, Kuala Lumpur, 1983
Muslimin, 1 Juni 1933
Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan-kerajaan di Sumatra, Jakarta: Sinarh Harapan, 1987
Reid, Anthony, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra, Singapore Unievrsity, 2005
Rist, Manfred, “The Economic Development of Aceh since 1945” dalam Aceh: History, Politics and Culture”, editor Arndt Graft, Susanne Schroter, Edwin Wirenga, Institut of South East Asian, 2010
Safwan, Drs. Mardanas, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief, Jakarta: Departemen P & K, 1976
Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Depdikbud, Pusat penelitian Sejarah dab Budaya Proyek Penelitian dan pencatatan Kebudayaan Daerah 1977/1978.
Van’t Veer, Paul, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers, 1987
Wibowo, Agus Budi, dkk , Dinamika dan Peran Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisioal, Banda Aceh, 2005
Laporan-laporan yang diterjemahkan oleh Aboe Bakar:
Laporan Politik Gubermen Aceh dan Daerah Takluknya Selama Tahun 1926-1927
Laporan R.A.Kern Mengenai Hasil Penyelidikan Sebab Musababnya Terjadi “Pembunuhan Aceh”
Surat Menyurat Tentang Permohonan Rakyat Aceh agar Dipulihkan Kembali Kesultanan Aceh
Irvan Sy
No comments:
Post a Comment