Selayang Pandang Sejarah Kota Kudus
Kudus adalah salah satu kota di Jawa Tengah yang berhimpitan dengan 4 (empat) kabupaten; Jepara, Pati, Grobogan, dan Demak. Selain dinamakan ‘kota kretek’, Kudus juga disebut-sebut sebagai ‘kota santri’ dengan membawa nama Sunan Kudus dan Sunan Muria yang memperkenalkan lembaga pesantren di kota tersebut. Berangkat dari kedua wali itu, pesanten-pesanten kecil mulai bermunculan sehingga jiwa agamis dan religius menjadi kultur tersendiri dari kota kudus.
Nama ‘kudus’ sendiri diresmikan oleh Sunan Kudus setelah beliau pulang dari haji. Bukti sejarah dari peresmian tersebut adalah kaligrafi Arab yang terletak di mihrab masjid menara kudus yang bertuliskan tahun berdirinya masjid Al-Aqsha (menara kudus), yaitu 956 Hijriyah.
Masyarakat Kudus semasa awal sudah sedemikian rupa terbentuk kesehariaannya dengan tradisi pesantren yang dibentuk oleh Ja’far Shodiq (nama lain Sunan Kudus) dan Kyai Telingsing. Oleh sebab itu, dengan latar belakang pesantren inilah akhirnya penamaan Kudus diambil dari bahasa Arab, meskipun masyarakat Kudus tidak ke-Arab-araban.
Perkembangan Tafsir-Hadits di Kota Kudus
Sejarah pemikiran Tafsir-Hadits di kota ini tak lepas dari sosok karismatik ulama, para kyai dan lembaga pendidikan islamnya; baik pesantren, maupun madrasah diniyyah, yang dicanangkan para ulama dan kyai tersebut. Secara garis besar, perkembangan tafsir-hadits di kota kudus bisa digolongkan ke dalam 3 (tiga) periode, yaitu:
Periode walisanga
Sosok Sunan Kudus mengawali sejarah peradaban Islam di kota tersebut. Dengan membawa misi islamisasi, beliau men-syiarkan agama Islam di kota kudus. Dari data yang kami dapat, Sunan Kudus selain tabahhur dalam tataran ushul dan fiqh, beliau juga ahli dalam bidang Tafsir-Hadits. Bukti paling nyata pembenturan beliau dengan penafsiran Quran dan Hadits adalah semangat pluralisme beliau dalam melarang penyembelihan sapi.
Faktor sosial masyarakat Kudus yang pada saat itu didominasi oleh agama Hindu-Budha, ditambah konflik kesultanan Islam Demak dan Kalinyamat (Jepara), membikin para walisanga cenderung berpolitis dan akulturatif dalam menafsiri Quran dan Hadits.
Pesantren (halaqah) yang diasuh oleh Sunan Kudus mengajarkan tiga mata pelajaran pokok: Quran-Hadits, Fiqh, dan Sufi (Tasawuf). Metode pengajaran yang beliau pakai masih sederhana dan tradisional; bandongan, dan sorogan. Murid dari Sunan Kudus berasal dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan sudra maupun ningrat. Sehingga dalam menyampaikan ajaran islam, beliau Sunan Kudus berupaya mengkontektualisasikan penafsiran Quran-Hadits sesuai jamannya, dan sesuai kondisi perubahan (transisi) Hindu-Budha ke Islam.
Pada waktu tersebut, Kudus adalah kota yang berpengaruh dalam sejarah munculnya kesultanan Demak. Konflik para raja yang memayungi sejarah tanah Jawa; seperti konflik Arya Panangsang dan Sunan Prawata, sumpah Ratu Kalinyamat karena pembunuhan suaminya Sunan Hadlirin oleh Arya Panangsang, sehingga pada akhirnya mengaitkan nama Jaka Tingkir (Sultan Kediri), secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan dan metodologi penafsiran Sunan Kudus, yang bisa disebut-sebut sebagai tokoh paling berpengaruh dalam pembentukan Kesultanan Demak. Untuk diketahui, Arya Panangsang, Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat, Raden Fatah, dan Jaka Tingkir adalah murid Sunan Kudus sendiri.
Secara sederhana, transformasi Tafsir-Hadits yang dilakukan Sunan Kudus adalah kategori dirayah, dengan mengambil pendekatan ulama salaf dalam memahami hadits, dan penafsiran politis, dikarenakan Sunan Kudus adalah tokoh sentral selain Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga dalam menciptakan khilafah islamiah di tanah Jawa, khususnya Kesultanan di Gelagah Wangi (yang selanjutnya disebut Demak), yang tentu saja ruh politik menjadi pertimbangan utama pernafsiran Sunan Kudus.
Periode Kyai Sepuh
Masuk dalam periode ini adalah nama besar Kyai Haji Raden (KHR) Asnawi, beliau adalah keturunan ke-14 dari Sunan Kudus, dan dzuriyah ke-5 dari Syekh Mutamakkin, Kajen, Margoyoso, Pati. Beliau belajar hingga ke Mekkah, Saudi Arabia, dan sepulang dari sana beliau mengisi pengajian kitab Shahih Bukhori di Masjid Al-Aqsa, menara Kudus. Atas kedermawanan Kyai Abdullah Faqih, Langgar Dalem, Kudus, beliau diberi tanah waqaf oleh Kyai Faqih untuk mendirikan pesantren di Bendan.
Pada waktu itu masyarakat Kudus termasuk kota di bagian Jawa yang merasakan pahitnya penjajahan Belanda. Secara mayoritas, islam adalah agama dominan. Tapi toleransi beragama masih terasa dengan masih adanya penduduk Tionghoa yang masih meyakin dan melaksanakan kepercayaannya di kota Kudus. Contoh paling real dari toleransi itu adalah masih berdirinya Klenteng di timur menara kudus (masjid Al-Aqsa).
KHR. Asnawi mengajarkan ilmu agama Islam di pesantren tersebut untuk kalangan masyarakat sekitar hingga luar Kudus. Dari tangan beliau, muncullah nama-nama Kyai yang berjasa dalam pengembangan Tafsir-Hadits di Kudus untuk menyebarkan Islam yang berwawasan revolusi dan ahlu al-sunnah wa al-jamaah.
Disebut-sebut sebagai tokoh yang berangkat ke Surabaya membidani secara langsung lahirnya organisasi Nahdlotul Ulama (NU), penafsiran dan metodologi Hadits KHR. Asnawi adalah berorientasi Ke-NU-an, revolutif, dan kecenderungan fiqh.
Sebab beliau cenderung fiqhiyah, adalah karena ilmu yang beliau terima dari Mekkah cenderung beraliran tekstualis, berpusat di Mekkah, Madinah dan Hijaz, dengan menampilkan Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai tokoh-tokoh garda depan.
Yang tampak dari karakter tradisionalnya aliran tekstualis yang beliau KHR. Asnawi pelajari adalah dimana masyarakat Mekkah, Madinah, dan Hijaz lebih cenderung tertutup rapat dan jarang, bahkan tidak terjadi pergolakan politik.
Improvisasi penafsiran KHR. Asnawi nampak lebih jelas dalam keikutsertaannya bersama tokoh pergerakan revolusi seperti K. Agus Salim, dan HOS. Cokroaminoto, sampai-sampai nama KHR. Asnawi terdengar di kancah internasional yang disegani ulama Timur-Tengah sekaliber Sayid Husen Bek.
Dari murid-murid beliau, Tafsir-Hadits disebarkan dan berkembang menjadi berkecenderungan aswaja, revolusi, dan hijazi. Faktor penyebab sosialnya adalah pengukuhan akidah ahlu sunnah wa al-jama’ah sekaligus latar belakang revolusi kemerdekaan atas Belanda di tanah Jawa.
Periode Sekarang
Dari Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kudus pada akhir tahun 2009 adalah 759.249 jiwa. Pada tahun akademik 2009-2010, tercatat ada 8 Perguruan Tinggi (PT) di Kudus termasuk diantaranya adalah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Kudus, dan lebih dari 200 lembaga pendidikan Islam dimulai dari MI, MTs, dan MA.
Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan pendidikan Islam di kota ini, yang imbasnya semakin berkembang pula pembelajaran Tafsir-Hadits di kota ini.
Adalah periode setelah ulama (kyai) sepuh. Ulama yang masuk dalam kategori ini adalah KH. Arwani Amin, KH. Turaichan Al-Djuhri, KH. Ma’roef Asnawi, KH. Sya’roni, KH. Abdul Qadir, KH. Ma’roef Irsyad, KH. Ulin Nuha Arwani, dan KH. Ulil Albab Arwani.
Perkembangan Tafsir-Hadits di kota Kudus sangat terasa pada kurikulum di pondok pesantren di kabupaten Kudus, aliran dan metode penafsiran kontemporer yang disajikan dalam kurikulum Perguruan Tingginya.
Bentuk pembelajaran di pesantren dan lembaga pendidikan Islam seperti Diniyyah dan Madrasah, sudah memiliki perbedaan yang sekaligus menjadi karakteristik masing-masing lembaga.
Pesantren, masih memegang teguh bentuk pembelajaran tradisional seperti Sunan Kudus dan KHR. Asnawi ajarkan. Hanyasaja kitab yang dikonsumsi sedikit disegarkan, bisa dilihat dari kitab pengajian pesantren yang dominan sudah menerima karya tafsir dan hadits besutan ulama-ulama kontemporer semisal Ali Al-Shabuni, Mustafa Azami, Al-Albani, Said Ramdlan Al-Bhuty, dll.
Kesimpulan dari artikel ini adalah:
Masyarakat Kudus memegang teguh larangan untuk berbuat; drengki (membuat fitnah), Srei (serakah), Panasten (mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista terhadap sesama) dan bejot riyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku dulur ( menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, asal manusia adalah saudara, jika mau dijadikan saudara),
Ditengah derasnya arus modernisasi yang berimbas pada gaya hidup materialis, individualis dan hedonis, muncullah komunitas samin Kudus yang mampu menjaga tradisi, identitas dan adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom),
Muncul dan masuknya aliran-aliran pemikiran tafsir-hadits kontemporer dari pegiat perguruan tinggi atau kyai-kyai yang menerima ilmu dari luar (Timur-Tengah), seperti Ignaz Goldziher, Al-Albani, Nasr Hamid Abu Zayd, Fazlur Rahman, Ali Al-Shabuni, Mustafa Azami, Al-Albani, Said Ramdlan Al-Bhuty, dll.
Rumail A
No comments:
Post a Comment