Wednesday, July 17, 2013

Mengapa Syeik Siti Jenar harus Mati?

Sejarah itu milik penguasa. Dia yang menentukan benar atau salah seseorang. Dialah yang menentukan benar tidaknya suatu cerita. Namun penguasa tidak bisa hidup selama-lamanya mereka dikalahkan oleh waktu dan waktulah yang akan membuktikan apa itu kebenaran dan cerita sesungguhnya yang terjadi.

Adalah Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati (Daerah Cirebon sekarang). Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama  ini guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabu Silih Wangi, Raja Pajajaran.

Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni banyak menarik orang karena di pesantren ini tidak diajarkan politik sehingga keadaan adem tentram,  cocok sekali untuk mereka yang mencari kedamaian.

Saat itu agama islam sedang awal-awalnya masuk ke pulau Jawa. Di daerah Surabaya sudah ada dewan wali, biasa disebut wali sanga. Wali-wali ini membawahi wilayah kerja masing-masing. Kebetulan untuk wilayah Jawa bagian  barat kosong sehingga perlu seseorang untuk memimpin islam di daerah itu maka dipanggilah Syek bdul Jalil untuk masuk menjadi anggota Dewan Wali.

(saat itu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, belum masih di Mesir.)

Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu dan bersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sanga. Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah yang tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, Tanah jawa barat saat itu berwarna seperti itu.

Kata KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. dan beliau akhirnya dikenal dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang.

Peritiwa diangkatnya sheik abdul jalil menjadi anggota dewan wali ini oleh babad tanah jawa dikiaskan dengan cacing tanah yang terambil oleh Sunan Bonang saat mengambil tanah untuk menambal lobang pada perahu kala hendak berlayar ke tengah laut. Saat itu Sunan Bonang sedang memberi wejangan pada sunan Kali jaga. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu berubah menjadi manusia.

Disini jelas terlihat bagaimana rakyat jelata dianggap sebagai cacing. Apalagi hubungan Sunan giri dengan Sheik abdul Jalil saling bersebrangan karena berbeda tujuan.

Saat itu anggota wali semuanya keturunan ningrat atau bangsawan kecuali shek siti jenar. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah bangsawan Champa. Sunan Bonang , Sunan Drajat, Sunan Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan Champa dan Tuban. Sunan Kalijaga ( berdarah Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll. Namun siti jenar tidak pernah memperdulikan hal itu. Ilmu dan fikiran dia hanya untuk Allah saja. Dia tidak pernah peduli dengan politik atau kekalifahan ataupun cari nama.

Istilahnya ‘Lu sebut gue apa aja gue sih terima. Gue gada urusan ama yang begituan.” Hal ini berbeda sekali dengan jalan fikiran pawa wali yang ingin membentuk kekhalifan di bumi jawa saat itu.

Dalam rangka mewujudkan kekhalifan di bumu Jawa dimana-mana dilakukan aksi sepihak oleh orang-orang Demak. Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama mulai goncang. Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini.  Suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai bersanding dengan penganut agama Islam ini, mulai terusik.

Syeh Siti Jenar protes ke Sunan Ampel. Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Kebetulan Sunan Kali jaga juga protes tentang hal ini.

Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar dalam mengikuti Al-Qur’an dan Hadist dipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid’ah. Kafir. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), dan yang tidak sepaham dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah, golongan ABANGAN (Kaum Merah).

Karena protes tidak di indahkan oleh Sunan Ampel, Sheik Siti Jenar menyatakan keluar dari wali sanga.

Tahun 1475 Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda’im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang. Oleh Sunan giri beliau diangkat menjadi wakil islam untuk daerah Jawa bagian Barat. Dengan gelar Sunan Gunung Jati.

Maka daerah Jawa bagian barat ada 2 pimpinan besar yang saling berhadapan. 2 matahari kembar yang memimpin umat islam,  suasana menjadi tambah panas.

1478 Sunan Ampel wafat. Dewan wali pun dipimpin oleh Sunan Giri. Sehingga dia punya kuasa mutlak untuk membawa arah islam di jawa saat itu. wali sanga bergabung dengan demak untuk mewujudkan kekalifahan islam pertama di pulau jawa dengan mendirikan Kesultanan Demak.

Mereka mulai sibuk dengan operasi-operasi militer untuk mengambil wilayah-wilayah Majapahit. Praktis rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, berada dalam ketidak pastian karena ekonomi terganggu dan stabilitas menjadi kacau.

Banyak peperangan terjadi. Di jawa bagian barat, Cirebon bergabung dengan Banten mencoba menaklukan kerajaan Pajajaran yang hindu. Pajajaran dibantu oleh orang-orang Majapahit yang sama agama Hindu.  Sehingga daerah sekitar pesantrean Sheik Siti Jenar tidak nyaman lagi.

Menghadapi keadaan ini Sheik siti jenar berminat untuk memindahkan pesantrennya. Maka beliau mencari daerah untuk dibuat pesantren barunya. Yang dicari adalah daerah pedalaman. Jauh digunung. jauh dari kekacauan perang di jawa barat. Dan yang dicari adalah Jawa tengah.

Kebetulan pada tahun 1490 Masehi, Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah), yang masih berusia 21 tahun, menawarkan daerah Pengging sebagai tempat baru pesantren beliau.

Sunan kalijaga yang dekat dengan Siti jenar memperingatkan hal ini, karena ki Ageng Pengging adalah keturunan Majapahit langsung dan sedang dalam pengawasan kesultanan Demak. Hal ini berbahaya bagi Sheik Siti Jenar.

Karena dalam silsilah Majapahit, Pengging adalah pewaris sesungguhnya tahta Majapahit, bukan Raden Patah. Walau raden patah itu putra langsung dari raja Majapahit. Jadi jika sampai Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, maka pasti akan dicurigai sedang membangun kembali kerajaan Majapahit.

Namun sheik siti jenar ternyata sudah terlalu dekat dengan ki Ageng Pengging.

Dan kisahnya tercatat dalam Pupuh (Bait-Bait) Tembang Jawa seperti dibawah ini :

Satedhaking Majalengka,
Kalawan dharahing Pengging,
Keh prapta apuruhita,
Mangalap kawruh sejati,
Nenggih Ki Ageng Tingkir,
Kalawan Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang Ing Betah,
Lawan Ki Ageng Pengging,
Samya tunggil paguron mring Siti Jenar.


Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ),
Termasuk keturunan dari Pengging,
Banyak yang terpikat oleh beliau,
Datang menimba ilmu pengetahuan sejati,
Seperti Ki Ageng Tingkir,
Juga Pangeran Panggung,
Buyut Ngerang dari daerah Butuh,
serta Ki Ageng Pengging,
Menjadi satu paham dengan beliau.

Syeh Siti Jenar yang memang tidak peduli peta politik Jawa saat itu.  Syeh Siti Jenar tak segan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah ’spiritual’.  Walau mereka berbeda agama namun keduanya sudah sama-sama yakin dengan  agamanya masing-masing. Hubungan mereka sudah mirip ayah dan anak.

Dan laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging pun masuk ke telinga Raden Patah dan Sunan Giri.

Dan fatwa Sunan Giri, beda tipis dengan perintah Patah. Menjelang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sanga, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Cirebon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Pemerintahan Demak dan Cirebon, merespon perintah Dewan Wali tersebut. Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Cirebon, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti Jenar.

Pasukan Cirebon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak menuju Pesantren Syeh Siti Jenar bermukim, perlawanan terjadi,  namun tidak berapa lama. Dengan mudah pesantren ditaklukan.

Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran yang menyimpang kepada ummat Islam.

Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.


Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang. dan meminta izin bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.

Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Sunan kalijaga menganggap sheik siti jenar kakak kandungnya sendiri, Meteka berdua sepaham dan tahu situasi saat itu.

Syeh Siti Jenar, berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal. Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit Kristen. Mereka belum menemukan ‘Puncak Kesadaran’ yang seharusnya mereka cari. Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat, sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini!

Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati. Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang di Masjid Agung Ciptarasa.

Dan saat pengadilan dilaksanakan Sunan Kudus berperan sebagai Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri.

Hampir seharian penuh, pengadilan berlangsung. situasi mencekam. Menjelang malam tiba, Syeh Siti Jenar digiring ke halaman Masjid Ciptarasa. Dihalaman Masjid Ciptarasa Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman mati, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Dan Syeh siti jenar wafat saat itu juga.

Sunan Kalijaga menitikkan air mata. Dan segera, memerintahkan pasukan Demak, merawat jasadnya . Jenasah dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.

Kejadian ini ditulis dalam Sêrat Cênthini Jilid I, (Pupuh 38, Syair 14 hingga 44)


Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian hari dieksekusi oleh Sunan Kudus di rumahnya di pengging Surakarta.

Sêrat Cênthini Jilid I

Babad tanah jawa
arief B

No comments:

Post a Comment