PEMERINTAH Aceh hari ini, Kamis 15 Agustus 2013, menggelar delapan tahun peringatan Perdamaian Aceh. Acara dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Edrian, mengatakan peringatan hari MoU Helsinki itu akan diisi dengan dua acara akbar.
Kedua acara itu antara lain, doa bersama di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan halal bi halal antara Pemerintah Aceh dengan masyarakat di Meuligoe Gubernur.
Kini, tanggal 15 Agustus juga telah ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Aceh dan diperingati saban tahun di Aceh.
Delapan tahun lalu, 15 Agustus 2005, Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat mengakhiri konflik panjang di Aceh melalui penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki, Filandia.
Sebelumnya, pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa. Penandatanganan nota kesepakatan damai pun dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim bernama Aceh Monitoring Mission (AMM). Anggotanya dari lima negara ASEAN dan beberapa negara Uni Eropa.
Seluruh senjata GAM lalu diserahkan kepada AMM. Istilahnya decommissioning. GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata. Penyerahan senjata dimulai 15 September 2005 hingga 31 Desember 2005. Selain itu GAM juga melakukan demobilisasi tiga ribu pasukan militernya.
Berbarengan dengan itu, Jakarta menarik seluruh elemen tentara dan polisi nonorganik dari Aceh. Relokasi tentara dan polisi nonorganik dimulai pada 15 September 2005, dan dilaksanakan sejalan dengan penyerahan senjata GAM. Pemulangan pasukan ini selesai pada 31 Desember 2005.
Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Lalu, jumlah kekuatan polisi organik yang tetap di Aceh 9.100 orang.
Nota Kesepakatan itu juga menghasilkan beberapa poin penting. Misalnya, pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Hal ini sudah dilakukan. Mantan kombatan GAM kemudian membuat sebuah partai bernama Partai Aceh.
Lalu, dari nota MoU Helsinki lahir pula Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai undang-undang penyelenggaran pemerintahan di Aceh.
Selain itu, Aceh misalnya dibolehkan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Kebijakan-kebijakan yang dikecualikan itu, seperti dituliskan dalam nota MoU Helnsinki, merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
Penandatangan perjanjian damai itu dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaluddin, mewakili Pemerintah Indonesia dan Malik Mahmud mewakili GAM. Proses penekenan disaksikan oleh Martti Ahtisaari yang juga Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator proses negosiasi.
Kini, memasuki sewindu usia perdamaian, masih banyak regulasi untuk Aceh yang belum dituntaskan pusat seperti tertuang dalam MoU Helsinki.
Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengelolaan minyak dan gas bumi, kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, serta tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
Lalu ada juga PP tentang standar norma dan prosedur pembinaan PNS dan gelar pejabat Pemerintah Aceh, penyerahan prasarana pendanaan personil terkait pendidikan madrasah, serta PP soal penyerahan prasarana pendanaan pelabuhan dan bandara. Terakhir yang belum tuntas dilakukan adalah Peraturan Presiden tentang penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kabupaten Kota Menjadi Perangkat Daerah Aceh.[]
Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Edrian, mengatakan peringatan hari MoU Helsinki itu akan diisi dengan dua acara akbar.
Kedua acara itu antara lain, doa bersama di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan halal bi halal antara Pemerintah Aceh dengan masyarakat di Meuligoe Gubernur.
Kini, tanggal 15 Agustus juga telah ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Aceh dan diperingati saban tahun di Aceh.
Delapan tahun lalu, 15 Agustus 2005, Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat mengakhiri konflik panjang di Aceh melalui penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki, Filandia.
Sebelumnya, pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa. Penandatanganan nota kesepakatan damai pun dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim bernama Aceh Monitoring Mission (AMM). Anggotanya dari lima negara ASEAN dan beberapa negara Uni Eropa.
Seluruh senjata GAM lalu diserahkan kepada AMM. Istilahnya decommissioning. GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata. Penyerahan senjata dimulai 15 September 2005 hingga 31 Desember 2005. Selain itu GAM juga melakukan demobilisasi tiga ribu pasukan militernya.
Berbarengan dengan itu, Jakarta menarik seluruh elemen tentara dan polisi nonorganik dari Aceh. Relokasi tentara dan polisi nonorganik dimulai pada 15 September 2005, dan dilaksanakan sejalan dengan penyerahan senjata GAM. Pemulangan pasukan ini selesai pada 31 Desember 2005.
Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Lalu, jumlah kekuatan polisi organik yang tetap di Aceh 9.100 orang.
Nota Kesepakatan itu juga menghasilkan beberapa poin penting. Misalnya, pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Hal ini sudah dilakukan. Mantan kombatan GAM kemudian membuat sebuah partai bernama Partai Aceh.
Lalu, dari nota MoU Helsinki lahir pula Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai undang-undang penyelenggaran pemerintahan di Aceh.
Selain itu, Aceh misalnya dibolehkan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Kebijakan-kebijakan yang dikecualikan itu, seperti dituliskan dalam nota MoU Helnsinki, merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
Penandatangan perjanjian damai itu dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaluddin, mewakili Pemerintah Indonesia dan Malik Mahmud mewakili GAM. Proses penekenan disaksikan oleh Martti Ahtisaari yang juga Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator proses negosiasi.
Kini, memasuki sewindu usia perdamaian, masih banyak regulasi untuk Aceh yang belum dituntaskan pusat seperti tertuang dalam MoU Helsinki.
Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengelolaan minyak dan gas bumi, kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, serta tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
Lalu ada juga PP tentang standar norma dan prosedur pembinaan PNS dan gelar pejabat Pemerintah Aceh, penyerahan prasarana pendanaan personil terkait pendidikan madrasah, serta PP soal penyerahan prasarana pendanaan pelabuhan dan bandara. Terakhir yang belum tuntas dilakukan adalah Peraturan Presiden tentang penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kabupaten Kota Menjadi Perangkat Daerah Aceh.[]
No comments:
Post a Comment