“Saya rawat, tidak akan saya jual,” ujar Ruskan dengan bahasa Jawa halus. “Kalau perlu saya melakukan pekerjaan lain.” Dia merupakan pembuat batu bata berusia 65 yang menemukan bangunan air dari bata ketika sedang menggali tanah di belakang rumahnya, Nglinguk Wetan pada Desember 2009.
Atas kesadarannya, dia melaporkan ke BP3 dan merawat temuan yang mirip kolam seluas lapangan bola voli itu. Ruskan pun rela tidak melanjutkan penggalian lagi karena lahannya berada di situs bersejarah. Bahkan, dia memilih membeli tanah dari luar Trowulan untuk bahan baku batu batanya. Kini, cucunya diangkat sebagai juru pelihara kolam kuno itu.
Tulus Andrias sedang sibuk di bengkelnya ketika saya bertandang. Lelaki kurus bersuara lirih ini menemukan 16 artefak besi dan gading di galian linggan (pabrik batu bata tradisional) di belakang rumahnya, Desa Sentonorejo, pada April 2010. Tak hanya itu, dia juga melaporkan atas temuan 16 sumur kuno di lokasi yang sama.
Tulus diganjar ucapan terima kasih sebesar Rp2,5 juta. Di linggannya yang masih mengepul dia menghampiri saya dan berucap lirih tentang apa yang sudah dipikirkannya sejak dulu, tetapi tak sampai hati mengatakannya: “Aku punya anak laki-laki apakah bisa dikaryakan di museum?”
Saya menjumpai Misdi, lelaki berusia 61, mantan buruh linggan Tulus. Dia pernah menemukan tinggalan Majapahit yang menggegerkan seisi desa.
Di belakang rumah Tulus pada Agustus 2003, sebuah mata tombak besi sebagian berlapis emas sepanjang 66 sentimeter itu tak sengaja tercangkul oleh Misdi. Tombak itu berhiaskan motif lengkung ukiran gajah dan babi.
Misdi menerima imbalan jasa sebesar Rp9 juta karena telah meneyerahkan temuan mata tombak itu kepada BP3. Temuan Misdi itu kini bisa disaksikan masyarakat di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo. “Saya sekarang kerja di Museum Trowulan sejak 2005 sebagai pegawai honorer merawat taman dan koleksi,” katanya.
Saya berjumpa Yoesoep, seorang pemuda yang bekerja sebagai tenaga lokal untuk tim ekskavasi Pusat Arkeologi Nasional. Dia menyerahkan secara sukarela empat kepala figurin terakota dan koin Cina abad ke-13 dari Sung Selatan yang ditemukan di linggannya kepada ketua tim ekskavasi.
Tenaga lokal lainnya juga turut menyerahkan umpak segi delapan dan batu ambang pintu yang diangkat dari linggan-linggan mereka. Tanpa pamrih, mereka menyerahkan temuan-temuan itu, meskipun para arkeolog tidak menggantinya dengan imbalan uang.
Kisah-kisah pelestari tadi mungkin hanya teladan kecil betapa pentingnya pemahaman antara harapan pemerintah dan kepedulian masyarakat.
Saya menemui Koordinator Museum Majapahit yang belum lama menjabat, Wicaksono Dwi Nugroho. Lelaki muda itu merintis “Komunitas Jawa Kuno” yang sebulan dua kali bertemu di Museum Trowulan untuk bergiat bagaimana menulis huruf dan angka Jawa kuno, hingga membaca prasasti.
Meskipun baru berjalan sekitar dua tahun, paguyuban ini sudah menggaet anggota sejumlah 30-40 orang awam asal kota-kota di Jawa Timur dan Yogyakarta.
Ketika Wicaksono masih menjabat Kepala Sub Pengamanan Cagar Budaya, BP3 Jawa Timur, dia kerap melakukan kunjungan ke linggan-linggan di daerah padat temuan arkeologis—sekitar kanal. Saat membaur dengan warga untuk bertegur sapa atau memberikan pemahaman cagar budaya itulah Wicaksono menyadari bahwa masyarakat Trowulan sebenarnya punya kepedulian, namun terlanjur dijustifikasi sebagai agen perusak. Dia menduga bahwa hal itu terjadi karena mereka terlalu lama tidak dilibatkan dalam kegiatan pemeliharaan.
Sejak 1986 Trowulan telah mempunyai Rencana Induk Arkeologi, namun yang terlupakan saat itu—dan hingga kini—adalah aspek sosial budaya masyarakat, demikian hemat Wicaksono. Akibatnya banyak muncul permasalah antara pelestarian dan aktivitas masyarakat.
“Apa yang masyarakat lakukan—melaporkan temuan—itu memerlukan perhatian dan penghargaan lebih dari kita,” ungkapnya, “dan kadang hal itu terlupakan.”
Kisah ini merupakan bagian dari “Metropolitan yang Hilang” yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi September 2012.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Atas kesadarannya, dia melaporkan ke BP3 dan merawat temuan yang mirip kolam seluas lapangan bola voli itu. Ruskan pun rela tidak melanjutkan penggalian lagi karena lahannya berada di situs bersejarah. Bahkan, dia memilih membeli tanah dari luar Trowulan untuk bahan baku batu batanya. Kini, cucunya diangkat sebagai juru pelihara kolam kuno itu.
Tulus Andrias sedang sibuk di bengkelnya ketika saya bertandang. Lelaki kurus bersuara lirih ini menemukan 16 artefak besi dan gading di galian linggan (pabrik batu bata tradisional) di belakang rumahnya, Desa Sentonorejo, pada April 2010. Tak hanya itu, dia juga melaporkan atas temuan 16 sumur kuno di lokasi yang sama.
Tulus diganjar ucapan terima kasih sebesar Rp2,5 juta. Di linggannya yang masih mengepul dia menghampiri saya dan berucap lirih tentang apa yang sudah dipikirkannya sejak dulu, tetapi tak sampai hati mengatakannya: “Aku punya anak laki-laki apakah bisa dikaryakan di museum?”
Saya menjumpai Misdi, lelaki berusia 61, mantan buruh linggan Tulus. Dia pernah menemukan tinggalan Majapahit yang menggegerkan seisi desa.
Di belakang rumah Tulus pada Agustus 2003, sebuah mata tombak besi sebagian berlapis emas sepanjang 66 sentimeter itu tak sengaja tercangkul oleh Misdi. Tombak itu berhiaskan motif lengkung ukiran gajah dan babi.
Misdi menerima imbalan jasa sebesar Rp9 juta karena telah meneyerahkan temuan mata tombak itu kepada BP3. Temuan Misdi itu kini bisa disaksikan masyarakat di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo. “Saya sekarang kerja di Museum Trowulan sejak 2005 sebagai pegawai honorer merawat taman dan koleksi,” katanya.
Saya berjumpa Yoesoep, seorang pemuda yang bekerja sebagai tenaga lokal untuk tim ekskavasi Pusat Arkeologi Nasional. Dia menyerahkan secara sukarela empat kepala figurin terakota dan koin Cina abad ke-13 dari Sung Selatan yang ditemukan di linggannya kepada ketua tim ekskavasi.
Tenaga lokal lainnya juga turut menyerahkan umpak segi delapan dan batu ambang pintu yang diangkat dari linggan-linggan mereka. Tanpa pamrih, mereka menyerahkan temuan-temuan itu, meskipun para arkeolog tidak menggantinya dengan imbalan uang.
Kisah-kisah pelestari tadi mungkin hanya teladan kecil betapa pentingnya pemahaman antara harapan pemerintah dan kepedulian masyarakat.
Saya menemui Koordinator Museum Majapahit yang belum lama menjabat, Wicaksono Dwi Nugroho. Lelaki muda itu merintis “Komunitas Jawa Kuno” yang sebulan dua kali bertemu di Museum Trowulan untuk bergiat bagaimana menulis huruf dan angka Jawa kuno, hingga membaca prasasti.
Meskipun baru berjalan sekitar dua tahun, paguyuban ini sudah menggaet anggota sejumlah 30-40 orang awam asal kota-kota di Jawa Timur dan Yogyakarta.
Ketika Wicaksono masih menjabat Kepala Sub Pengamanan Cagar Budaya, BP3 Jawa Timur, dia kerap melakukan kunjungan ke linggan-linggan di daerah padat temuan arkeologis—sekitar kanal. Saat membaur dengan warga untuk bertegur sapa atau memberikan pemahaman cagar budaya itulah Wicaksono menyadari bahwa masyarakat Trowulan sebenarnya punya kepedulian, namun terlanjur dijustifikasi sebagai agen perusak. Dia menduga bahwa hal itu terjadi karena mereka terlalu lama tidak dilibatkan dalam kegiatan pemeliharaan.
Sejak 1986 Trowulan telah mempunyai Rencana Induk Arkeologi, namun yang terlupakan saat itu—dan hingga kini—adalah aspek sosial budaya masyarakat, demikian hemat Wicaksono. Akibatnya banyak muncul permasalah antara pelestarian dan aktivitas masyarakat.
“Apa yang masyarakat lakukan—melaporkan temuan—itu memerlukan perhatian dan penghargaan lebih dari kita,” ungkapnya, “dan kadang hal itu terlupakan.”
Kisah ini merupakan bagian dari “Metropolitan yang Hilang” yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi September 2012.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
No comments:
Post a Comment