Jawa Barat sejak masa kolonial sudah menjadi lokasi favorit pelancongan bangsa Barat yang ada di Hindia-Belanda. Suhunya yang sejuk, diapit oleh gunung, dan enak untuk berolahraga, menjadi alasan yang sering diungkap.
Dalam beberapa buku perjalanan bangsa asing -sebenarnya kebanyakan buku ini adalah diary tapi diangkat menjadi buku- disebutkan betapa cantiknya alam Pasundan. Dan, yang jadi pembandingnya selalu Batavia (kini Jakarta).
Anna Forbes dalam Unbeaten Tracks in Islands of The Far East, Experiences of a Naturalist's Wife in The 1880s, yang terbit pada 1887, menjejak Bogor sebagai Tanah Pasundan perdananya.
"Buitenzorg (sekarang Bogor) adalah liburan penting dan resort sehat dari sakitnya Batavia. Ia memiliki iklim mengagumkan, pemandangan cantik, dan keindahan macam lukisan," kenang Forbes.
Penggambaran hampir sama soal Batavia dituliskan dalam Rambles in Java and The Straits in 1852 oleh Bengal Civilan (Charles Walter Kinloch).
Penulis tidak kerasan di Batavia di mana iklimnya ia sebut "mematikan bagi konstitusi Eropa". Kondisi kesehatan pendatang Eropa juga tidak aman berkat adanya malaria.
"Kapal-kapal sengaja berlabuh dalam jarak tertentu dari pantai dengan tujuan lari dampak penyakit yang dibawa angin darat," tulis Bengal Civilian.
Tapi begitu sampai ke Bandung dan sekitarnya, penulis kolonial ini berubah pandangan 180 derajat. Bandung disebutnya sangat layak, karakternya cocok dengan Montpelier of Java --kemungkinan besar ia merujuk pada kota sub-urban di Brigton, Inggris, ternama dengan rumah-rumah besar terancang homogen dan untuk kelas atas.
Ia berkunjung ke Ciumbuleuit, Lembang (di mana ia mengaku melihat macan hitam di pekarangan), Priangen, Tangkuban Perahu, dan Sumedang. "Perjalanan dari Bandung menuju Sumedang luar biasa indah. Pemandangan dari atas bukit sangatlah mirip lukisan dan akan jadi subjek menyenangkan bagi pensil yang menggambarnya."
Kotornya Batavia
Kedua pejalan ini melihat Batavia pada saat kecantikannya jatuh. Ini berakar dari adanya peraturan berbentuk plakat pada tahun 1630, berisi negenuursbloemen—kalau diterjemahkan bebas artinya bunga-bunga jam sembilan.
Aturan yang dibuat Dewan Hindia itu mengizinkan warga Kota Batavia untuk membuang sampah ke kanal kota setelah pukul 21.00. Menurut Mona Lohanda, seorang peneliti sejarah Jakarta dan arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia, 'negenuurbloemen' itu pemanisan dari aturan membuang kotoran manusia dari rumah tangga di dalam tembok kota.
Dalam beberapa buku perjalanan bangsa asing -sebenarnya kebanyakan buku ini adalah diary tapi diangkat menjadi buku- disebutkan betapa cantiknya alam Pasundan. Dan, yang jadi pembandingnya selalu Batavia (kini Jakarta).
Anna Forbes dalam Unbeaten Tracks in Islands of The Far East, Experiences of a Naturalist's Wife in The 1880s, yang terbit pada 1887, menjejak Bogor sebagai Tanah Pasundan perdananya.
"Buitenzorg (sekarang Bogor) adalah liburan penting dan resort sehat dari sakitnya Batavia. Ia memiliki iklim mengagumkan, pemandangan cantik, dan keindahan macam lukisan," kenang Forbes.
Penggambaran hampir sama soal Batavia dituliskan dalam Rambles in Java and The Straits in 1852 oleh Bengal Civilan (Charles Walter Kinloch).
Penulis tidak kerasan di Batavia di mana iklimnya ia sebut "mematikan bagi konstitusi Eropa". Kondisi kesehatan pendatang Eropa juga tidak aman berkat adanya malaria.
"Kapal-kapal sengaja berlabuh dalam jarak tertentu dari pantai dengan tujuan lari dampak penyakit yang dibawa angin darat," tulis Bengal Civilian.
Tapi begitu sampai ke Bandung dan sekitarnya, penulis kolonial ini berubah pandangan 180 derajat. Bandung disebutnya sangat layak, karakternya cocok dengan Montpelier of Java --kemungkinan besar ia merujuk pada kota sub-urban di Brigton, Inggris, ternama dengan rumah-rumah besar terancang homogen dan untuk kelas atas.
Ia berkunjung ke Ciumbuleuit, Lembang (di mana ia mengaku melihat macan hitam di pekarangan), Priangen, Tangkuban Perahu, dan Sumedang. "Perjalanan dari Bandung menuju Sumedang luar biasa indah. Pemandangan dari atas bukit sangatlah mirip lukisan dan akan jadi subjek menyenangkan bagi pensil yang menggambarnya."
Kotornya Batavia
Kedua pejalan ini melihat Batavia pada saat kecantikannya jatuh. Ini berakar dari adanya peraturan berbentuk plakat pada tahun 1630, berisi negenuursbloemen—kalau diterjemahkan bebas artinya bunga-bunga jam sembilan.
Aturan yang dibuat Dewan Hindia itu mengizinkan warga Kota Batavia untuk membuang sampah ke kanal kota setelah pukul 21.00. Menurut Mona Lohanda, seorang peneliti sejarah Jakarta dan arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia, 'negenuurbloemen' itu pemanisan dari aturan membuang kotoran manusia dari rumah tangga di dalam tembok kota.
No comments:
Post a Comment