Setiap menjelang Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, saya selalu terusik dengan surat Ibnu Parna kepada Sukarni, sebagaimana dimuat di dalam buku “SUKARNI, Dalam Kenangan Teman-temannya”, suntingan Sumono Mustaffa (1986). Berbeda dengan epos perjuangan yang dilakukan oleh kelompok Chairul Saleh/Adam Malik/BM Diah, juga kelompok Sutan Syahrir/Takdir Alisyahbana/Subadio Sastrosatomo, ataupun kelompok mahasiswa Kedokteran, kelompok Sukarni/Ibnu Parna ternyata memiliki konsep perjuangan yang sistematis dan taktis, sebagaimana halnya kelompok tua Soekarno/Moh.Hatta. Tiga kelompok yang lain itu terkesan hanya memantau situasi perang Pasifik untuk kemudian mendesakkan kehendaknya kepada Soekarno/Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sendiri tanpa campur-tangan pihak Jepang.
Kelompok tua Soekarno/Hatta memiliki konsep ke arah kemerdekaan melalui jalur prosedural formal di dalam bungkus kekuasaan politik Jepang yang memberikan jalan politis jelas. Meskipun di tengah jalan Jepang memutuskan untuk menutup pintu bagi kelanjutan proses kemerdekaan Indonesia oleh kelompok tua Soekarno/Hatta, namun proses itu terus berlangsung dengan dipercepat berkat bantuan yang diperoleh dari Laksamana Maeda secara pribadi.
Adapun konsep perjuangan ke arah kemerdekaan Indonesia dari kelompok Sukarni/Ibnu Parna, tampak jelas dalam surat Ibnu Parna kepada Sukarni, tertanggal Jakarta 6 September 1967. Beberapa bulan sebelum Jepang menyerah, Sukarni mengadakan kontak berkala di rumahnya dengan Ibnu Parna yang banyak mondar-mandir di Pulau Jawa dan tidak mempunyai tempat tinggal dan alamat yang jelas. Ibnu Parna mengemukakan beberapa pokok pikiran, yaitu:
(1) agar menarik pelajaran dari pengalaman Maret 1942, ketika muncul daerah-daerah terbuka tanpa kekuasaan karena sudah ditinggalkan oleh Belanda sementara Jepang belum masuk, yang menyebabkan massa rakyat bergerak merebut kebutuhan harian, melakukan perampokan, untuk kemudian berakhir dengan penangkapan dan penembakan elemen-elemen aktif di kalangan rakyat, bukan sebagai pahlawan kemerdekaan, melainkan sebagai maling dan perampok;
(2) Perang Pasifik sudah sampai kepada tingkatan kemajuan Sekutu dan mundurnya Jepang. Menilik luasnya wilayah Indonesia, pastilah akan timbul kembali “daerah-daerah terbuka”, dan kalau tidak timbul prakarsa politik guna merebut kemerdekaan dan alat-alat produksi, maka pastilah akan berulang tragedi (kepedihan) Maret 1942;
(3). Masanya sudah dekat untuk merebut kemerdekaan dan mengatur kehidupan rakyat dalam susunan negara Republik Indonesia; Untuk itu perlu ada keberanian untuk mulai bertindak dan bekerja dengan alat-alat yang ada, yaitu: (a) Kebangkitan massa pada detik-detik sejarah yang menentukan: (b) Warisan perjuangan dari susunan kemerdekaan di zaman Hindia-Belanda; (c) Hasil kombinasi perjuangan legal dan illegal di zaman pendudukan Jepang.
(4) Syarat-syarat obyektif: (a) Buruh dan tani miskin sudah dirampas tenaganya habis-habisamn dalam sistim romusha; (b) Tani sedang dan kaya sudah dirampok padinya oleh jepang dan kaki-tangannya; (c) Para menak (priyayi) merasa cukup dihina dengan pukulan di muka dan kepalanya; (d) Golongan agama diperkosa keyakinannya dengan dipaksa untuk percaya kepada dewa-dewa dan kiblat Tpkyo; (e) Para mahasiswa dan pelajar marah, karena digunduli kepalanya dan pemuda mulai menggrutu dan melawan. (f) Pemberontakan tani miskin telah meletus di Indramayu dan di Singaparna; (g) Pemberontakan Peta telah meletus di Blitar; (h) Posisi Jepang di gelanggang internasional makin terdesak.
(5) Syarat-syarat subyektif: (a) Tonari Gumi (Rukun Tetangga) telah berangsur-angsur berubah posisinya dari “panitia mata-mata Jepang” menjadi “panitia distribusi kebutuhan rakyat”, sedangkan yang didistribusikan makin sulit dan tidak ada. Pada setiap saat dapat diubah menjadi “panitia revolusi”, dengan sedikit keberanian dan ketangkasan dapat disusun dalam tempo yang pendek (melalui “kopyokan alam”) aparat revolusi yang diperlukan; (b) Pengaruh tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan di masa Hindia Belanda dan Jepang, baik di pusat maupun di daerah, dapat dijadikan saluran dan bahan-bahan konsolidasi kekuatan.
Sukarni menerima baik pokok-pokok pemikiran Ibnu Parna tersebut. Keemudian mereka membicarakan “siapa yang pantas untuk memimpin bangsa dan negara republik yang akan dibangun nanti”. Dengan lugas Ibnu Parna menyebut nama Sukarni untuk Presiden, dan dia sendiri siap untuk menjadi Wakil presiden. Sukarni menolak dengan alasan mereka belum cukup dikenal oleh rakyat. Ibnu Parna mengkritik sikap Sukarni yang peragu, padahal duduk dalam Pusat Sendenbu yang memiliki fasilitas cukup untuk dimanfaatkan guna mengatasi kekurangan dan dapat dimulai dari sekarang. Ditunjukkan juga bahwa unit-unit yang defakto bergerak itu bisa dijadikan aparat perjuangan untuk ditempatkan dalam situasi perang kemerdekaan. Penyempurnaan aparatur kemerdekaan dapat digalang kemudian. Dari dalam kopyokan alam itu akan lahir partai pelopor revolusioner yang diperlukan sebagai jaminan terpimpinnya revolusi sampai kepada partai yang dituju. Tetapi Sukarni masih tetap menolak dan minta disebutkan nama lain yang lebih pantas. Ibnu Parna kemudian menyebutkan nama Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil presiden. Mendengar kedua nama besar itu disebut, Sukarni menanyakan alasannya karena kedua nama itu sudah berulangkali menolak desakan untuk segera merebut dan mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ibnu Parna memberikan alasan bahwa pada kenyataannya Soekarno dan Hatta masih berpengaruh, walaupun tampaknya mereka lebih banyak sebagai “tawanan Jepang” daripada tokoh yang berdaulat. Pada saatnya nanti menjadi kewajiban mereka untuk merebut Soekarno-Hatta dari tangan Jepang, agar Jepang tidak berkesempatan menyerahkan Soekarno-Hatta sebagai inventaris kepada Sekutu.
Sukarni memeluk Ibnu Parna dengan hangat dan mereka berdua sepakat untuk menjadikan hasil kesepakatan itu sebagai sasaran jangka pendek yang harus dilaksanakan. Sebulan kemudian Ibnu Parna berkunjung lagi ke rumah Sukarni. Dengan berbisik Sukarni berkata bahwa dia telah mencoba menculik Soekarno untuk dibawa ke Cianjur tetapi mengalami kegagalan karena Shimizu selalu mengawasi gerak-geriknya. Sukarni berjanji akan mencobanya lagi karena telah menemukan cara yang baik untuk menculik Soekarno-Hatta pada saat yang dibutuhkan nanti.
Pada permulaan bulan Agustus 1945, kedua tokoh pemuda itu bertemu kembali. Mereka melakukan analisa situasi dan bersepakat bahwa hari bertindak sudah dekat. Begitu ada daerah terbuka, begitu akan dipermaklumkan perang kemerdekaan dan akan diculiklah Soekarno-Hatta untuk dikukuhkan sebagai Presiden dan Wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Lalu mereka membagi wilayah operasi. Sukarni akan “menggarap” Jakarta, sedangkan Ibnu Parna akan “menggarap” daerah. Dengan demikian masalah yang menyangkut Soekarno dan Hatta akan menjadi tanggungjawab Sukarni. Ibnu Parna diminta untuk merebut basis-basis di daerah. Untuk berangkat ke daerah Ibnu Parna tidak memiliki uang, yang dimiliki hanya rencana dan keberanian. Sukarni mengangkat bahu, lalu memberi uang sekadarnya yang ternyata hanya cukup untuk ongkos becak dan nongkrong makan malam di Pasar Senen. Ibnu Parna terpaksa menjual beberapa cincin miliknya yang bermata batu murah gosokan Garut dan Karawang. Dari uang hasil penjualan cincin tersebut, Ibnu Parna menepati janji meninggalkan Jakarta menjalankan misi sejarah untuk merebut basis di daerah. Ia menuju ke Semarang dengan cara beranting berhenti di beberapa tempat.
Dalam kenyataannya Sukarni berhasil menjalankan misinya, menggerakkan pemuda untuk bersiap merebut tempat-tempat penting dari tangan Jepang, dan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Walaupun ia gagal memaksa Soekaro-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari Rengadengklok sehingga gagal pula rencana barisan pemuda untuk merebut tempat-tempat penting dari tangan Jepang karena dibatalkan sendiri oleh Sukarni, tetapi Sukarni menjadi salah seorang yang ikut serta dalam tim kecil penyusun naskah proklamasi bersama Soekarno, Mohammad Hatta, Subardjo dan Sayuti Melik. Dia hadir pula di saat naskah proklamasi itu ditandatangai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di hadapan para anggota PPPKI yang diundang hadir oleh Subardjo di rumah Laksamana Maeda. Tetapi dia dan Chairul Saleh tidak hadir saat proklamasi dibacakan oleh Soekarno. Dia memiliki agenda politik sendiri yang akan dia jalankan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Di Semarang setelah mendengar dari kawan-kawan Angkatan Muda Semarang bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Ibnu Parna menilai bahwa Indonesia sudah menjadi “daerah terbuka” walaupun secara fisik tentara dan pemerintah Jepang masih berada di tempat. Saat bertindak pun telah tiba, Semarang harus direbut untuk dijadikan basis perang kemerdekaan dan berdirinya Negara RI di daerah.
Perkembangan politik di Jakarta dan Semarang mempengaruhi perkembangan tanah air yang memperluas areal kemerdekaan lewat Kongres Pemuda di Yogya, pertempuran di Surabaya dan Bandung. Demikian isi surat Ibnu Parna kepada Sukarni yang ditutup dengan harapan agar Panitia Peneliti Sejarah Proklamasi yang dibentuk oleh Pertemuan Pemrakarsa Proklamasi pada tanggal 16 Agustus 1967, untuk berpegang teguh pada kejujuran sejarah dalam arti kata yang seluas-luasnya. Harapan Ibnu Parna tersebut agaknya ada kaitan dengan tidak diundangnya dia dalam pertemuan “Pemrakarsa Proklamasi” yang diadakan di rumah Adam Malik pada tanggal 16 Agustus 1967. Surat Ibnu Parna itu ditembuskan juga kepada para anggota Panitia “Pemrakarsa Proklamasi”, yaitu: Adam Malik, Sayuti Melik, BM Diah, dan “lain-lain yang dipandang perlu”.
Mengapa saya terusik oleh bunyi surat Ibnu Parna kepada Sukarni tersebut ? Pertama karena tidak ada bantahan ataupun komentar sedikitpun dari Sukarni sendiri, juga dari Adam Malik, Sayuti Melik dan BM Diah. Apakah tidak membantah berarti mereka “setuju” ? Sukarni sendiri tidak membuang atau melenyapkan surat Ibnu Parna tersebut, sehingga akhirnya ditemukan oleh anak Sukarni, Goos Murbantoro Sukarni, dan diserahkan kepada Panitia Kecil penyusunan buku “SUKARNI, Dalam Kenangan Teman-temannya”. Kedua, karena Ibnu Parna dan Sukarni telah membuat sebuah Rencana tindak yang sistematis dalam memprakarsai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, didasari oleh pemikiran yang cukup berbobot. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok pemuda lainnya yang sama-sama terlibat aktif dalam proses menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketiga karena hingga saat inipun, nama Ibnu Parna tidak pernah terekam di dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, hanya karena dia bergerak di daerah bukan di ibukota Jakarta. Namun surat yang tidak dibantah oleh Sukarni itu menunjukkan bahwa ada peran Ibnu Parna sebagai salah seorang pemikir dan perencana atau pemrakarsa dari proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno di Jakarta. Keempat, kenyataan pada butir ketiga itu belum menarik minat para peneliti sejarah kita untuk melakukan penelitian terhadap kebenaran isi surat Ibnu Parna itu sendiri.
Djaka Rubijanto
No comments:
Post a Comment