Roda Jaman Sidoarjo (Bag. 3)
Meski tak berumur lama, namun bagaimanapun sejarah pernah mencatat keberadaan Kerajaan Jenggolo di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Misteri yang belum terungkap hingga saat ini adalah dimanakah tepatnya lokasi pusat keraton Jenggolo berada.
Tak mudah memastikan hal ini. Pasalnya hingga saat ini belum ditemukannya situs purbakala yang secara jelas menunjukkan bekas Kraton Jenggolo. Ditambah lagi tidak adanya kitab-kitab peninggalan Kerajaan Jenggolo.
Menurut buku sejarah Sidoarjo yang dihimpun Panitia Penggalian Sejarah Sidoarjo (PAPENSE) di tahun 1970 disebutkan letak kraton Jenggolo berada di sekitar sungai Pepe. Hal ini didasarkan pada penemuan beberapa arca di lokasi itu. Pada saat ini lokasi yang diyakini sebagai kraton Jenggolo itu berada di wilayah Kecamatan Gedangan.
Lain halnya dengan Totok Widiardi yang menyatakan bahwa kraton Jenggolo berada di sekitar alun-alun. Tepatnya berada di lokasi yang kini menjadi rumah dinas Bupati Sidoarjo. Pendapat ini mendasarkan bukti tentang adanya patung katak raksasa dan arca Bathara Ismaya (Semar) yang masih berada disana hingga tahun 1975.
Sementara itu, berdasarkan analisa sejarah yang didapat dari berbagai sumber menyebutkan pusat militer Janggala diperkirakan berada di daerah Larangan, Kecamatan Candi.
Peristiwa yang mendukung perkiraan itu adalah penemuan beberapa benda purbakala pada saat penggalian pondasi untuk Pasar Larangan yang terjadi di tahun 1980-an. Benda-benda purbakala itu berbentuk binggal (gelang lengan), pedang, perhiasan dan rompi perang.
Dari penemuan benda-benda keprajuritan itu beberapa orang sejarahwan menyimpulkan bahwa daerah Larangan dulunya merupakan komplek militer Jenggolo. Walau pun hal itu harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih lanjut, tetapi setidaknya akan membantu merekonstruksi komplek kraton Jenggolo.
Beberapa pusat aktifitas Jenggolo lainnya di antaranya diperkirakan dari proses persamaan kata (lingua franca). Dari proses persamaan kata ini, kita akan mendapati beberapa fakta bahwa pusat IPTEK Kerajaan Jenggolo diperkirakan di kawasan kecamatan Taman. Tempat rekreasi bagi bagi putra-putri kerajaan diperkirakan di daerah Tropodo.
Sementara itu Perpustakaan Kerajaan Jenggolo (dalam sebuah riwayat disebut Gedung Simpen) berada di Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran. Sebuah sumber menyatakan lokasi perpustakaan ini berdasarkan lingua franca, kata Ental dengan TAL.
Tal adalah sejenis pohon yang daunnya digunakan menjadi alat tulis-menulis, adapun daun pohon Tal secara jamak disebut RONTAL (Ron; daun, Tal; pohon Tal). Sedangkan kata sewu (seribu) dibelakangnya lebih menunjukkan jumlah yang banyak. Menurut sumber itu TAL SEWU berarti menunjukkan jumlah naskah-naskah yang banyak di sebuah tempat.
Masih berdasar lingua franca, pusat religi dan spiritual Jenggolo diperkirakan berada di kawasan Buduran. Sebuah sumber mengkaitkan ini dengan kata Budur yang dalam bahasa Sansekerta berarti Biara.
Bila kata Budur ber-lingua franca dengan biara, maka Buduran berarti sebuah komplek berkumpulnya satu atau lebih biara. Dengan kata lain Kecamatan Buduran dimasa Jenggolo adalah pemukiman bagi pemuka-pemuka agama.
Pendapat yang berbeda dikemukakan Widodo, juru tafsir sejarah yang tinggal di Kecamatan Tarik. Menurutnya, sebagai kerajaan baru yang berumur singkat, kecil kemungkinan bagi penguasa Jenggolo membangun pusat kerajaannya dari material berbahan batu andesit ataupun terakota alias bata merah.
Yang paling mungkin, keraton Jenggolo didirikan dengan kayu sebagai bahan baku utamanya. Apalagi, stok kayu di masa itu sangat berlimpah mengingat sebagaian besar kawasan itu masih berupa hutan belantara.
Kondisi itulah yang membuat para arkeolog kesulitan mencari bukti-bukti peninggalan pusat kerajaan Jenggolo. Apalagi, pusat kerajaan itu sudah dihancurkan pasukan Dhoho ketika terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut hingga raja Jenggolo terakhir terpaksa memindahkan pusat pemerintahannya ke kawasan Jombang.
Berdasarkan analisa tersebut, ia memperkirakan pusat kerajaan Jenggolo ada di kawasan ‘pedalaman’ Sidoarjo yang relatif dekat dengan hutan sebagai pemasok kayu. Sementara kawasan pusat kota Kabupaten Sidoarjo di masa itu ia perkirakan masih berupa pantai.
Fakta yang mendukung analisa ini adalah banyak ditemukannya pecahan-pecahan kayu bekas perahu di dalam tanah di kawasan desa Tebel Gedangan. Selain itu jika dilakukan penggalian di kawasan tersebut sudah langsung ditemukan pasir mirip pasir pantai di kedalaman sekitar satu meter.
Rekonstruksi sejarah yang dilakukannya dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa garis pantai Sidoarjo saat itu adalah di pusat kota Sidoarjo yang memanjang hingga ke sisi barat wilayah Kecamatan Gedangan.
Kesimpulan ini dikuatkan dengan adanya daerah bernama ‘Babarlayar’ di pusat kota Sidoarjo. Secara harafiah, tambah Widodo, kata itu berarti kawasan tersebut merupakan tempat bagi warga setempat untuk membuka layar perahu.
Pendapat ini mematahkan kedua asumsi sebelumnya. Bahwa saat itu kawasan desa Pepe Gedangan masih berupa laut sedangkan Pendopo Kabupaten Sidoarjo, di sekitar tahun 1100-an merupakan pinggiran pantai yang tak mungkin menjadi lokasi pendirian keraton Jenggolo.
Selanjutnya, kawasan Sidoarjo terus mengalami sedimentasi dari material yang dibawa aliran Kali Porong dari arah selatan ke utara serta Kali Brantas dan Kali Mas dari arah barat ke timur hingga akhirnya bersatu dengan daratan Surabaya dan menjadi seperti sekarang ini.
Lalu dimanakah lokasi pusat keraton Jenggolo menurut versi Widodo. “Kemungkinan besar di Prambon. Jika menggunakan pendekatan lingua franca, kata Prambon berasal dari kata Prabon atau Keprabon yang berarti pusat pemerintahan,” tandasnya.
Pendapat ini coba dikaitkan dengan banyak ditemukannya situs-situs sejarah di kawasan Watu Tulis dan sekitarnya. Meski tak langsung menyebut disitulah posisi tepatnya keraton Jenggolo namun dimungkinkan ditemukannya banyak peninggalan sejarah disana karena lokasi tersebut merupakan pusat peradaban masyarakat di masa itu.
Masih mengacu pada lingua franca, Widodo menyebut nama ‘Krian’ berasal dari kata Perakryan atau tempat berkumpulnya para pembesar kerajaan Jenggolo. Selain itu di sekitar kawasan Prambon juga ada desa bernama Wiro Biting yang diartikan sebagai pusat pelatihan para prajurit (wira) kerajaan.
Semua pendapat diatas barulah sebatas kemungkinan-kemungkinan yang didasarkan pada penalaran dan hasil penelitian para ahli tersebut. Tentang kebenarannya, masih dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut hingga didapat kesimpulan yang benar-benar akurat.
Bagaimana menurut anda?
Jaludieko Pramono
No comments:
Post a Comment