BENTUKNYA menyerupai tulisan bismillah dalam aksara Arab. Namanya rencong, senjata khas dari Aceh. Dari pola pembuatannya, rencong berbentuk kalimat Bismillah.
Ini dapat di lihat dari gagangnya yang melekuk dan menebal pada sikunya yang merupakan aksara Arab Ba. Di bujuran gagangnya, rencong berbentuk aksara Sin, bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat dengan gagang senjata khas Aceh ini merupakan aksara Mim. Lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Lam sementara ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit ke atas merupakan aksara Ha.
Jika kita mengerti akan makna yang tertera pada rencong dengan rangkaian aksara dari Ba, Sin, Lam dan Ha tersebut, maka dapat dikatakan rencong adalah perwujudan kalimat Bismillah. Pembuatan rencong dengan bentuk Bismillah ini, membuktikan bahwa pandai besi yang menciptakan rencong adalah orang yang pandai akan magrifat besi serta memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi.
Rencong memiliki beberapa tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya terbuat dari bahan tanduk kerbau atau kayu. Sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih.
Tidak dicatat secara pasti dalam sejarah Aceh mengenai asal mula pembuatan rencong. Seperti dilansir dari atjehliterature, ada sebuah legenda yang menceritakan asal mula pembuatan senjata khas Aceh ini. Dulu, disebutkan ada seekor burung elang besar yang menjadi hama bagi masyarakat Aceh. Orang-orang menyebutnya dengan "geureuda" yang berarti rakus. Burung ini meneror kehidupan masyarakat dan memakan semua tanaman, buah-buahan dan ternak. Berbagai perangkap telah digunakan untuk menangkap burung ini. Namun, tidak mempan dan membuat burung ini semakin beringas.
Raja yang memerintah Aceh saat itu akhirnya turun tangan menumpas tindakan yang meresahkan warga tersebut. Dia memerintahkan seorang pandai besi untuk membuat benda pusaka yang bisa membunuh elang tersebut. Setelah melakukan puasa, salat sunat serta berdoa akhirnya pandai besi ini berhasil membuat sebilah rencong yang menyerupai aksara Arab: bismillah. Namun dalam legenda tidak disebutkan siapa nama raja dan pandai besi yang berhasil membuat rencong.
Perlu diketahui, penulis-penulis sejarah Aceh tempo dulu kerap menggunakan bahasa kiasan saat menggambarkan situasi yang sedang terjadi. Biasanya penulis sejarah menceritakan peristiwa di Aceh dalam bentuk hikayat-hikayat sehingga menjadi sulit untuk mengetahui keaslian peristiwa tersebut. Hal itu sengaja dilakukan karena penulis tidak ingin terjebak dalam kemelut politik para penguasa.
Dalam catatan sejarah Aceh, rencong sering dipergunakan oleh para pejuang saat dirinya terdesak di medan pertempuran. Banyak pejuang Aceh berhasil membunuh pasukan Belanda menggunakan rencong.
Seperti halnya aksi Pocut Baren yang menikam belasan serdadu marsose saat dirinya hendak ditawan.
Kini rencong masih dipergunakan warga Aceh sebagai aksesoris pelengkap pakaian adat. Biasanya disematkan di pinggang bagian depan oleh kaum pria, pada acara-acara besar adat Aceh.[]
Ini dapat di lihat dari gagangnya yang melekuk dan menebal pada sikunya yang merupakan aksara Arab Ba. Di bujuran gagangnya, rencong berbentuk aksara Sin, bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat dengan gagang senjata khas Aceh ini merupakan aksara Mim. Lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Lam sementara ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit ke atas merupakan aksara Ha.
Jika kita mengerti akan makna yang tertera pada rencong dengan rangkaian aksara dari Ba, Sin, Lam dan Ha tersebut, maka dapat dikatakan rencong adalah perwujudan kalimat Bismillah. Pembuatan rencong dengan bentuk Bismillah ini, membuktikan bahwa pandai besi yang menciptakan rencong adalah orang yang pandai akan magrifat besi serta memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi.
Rencong memiliki beberapa tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya terbuat dari bahan tanduk kerbau atau kayu. Sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih.
Tidak dicatat secara pasti dalam sejarah Aceh mengenai asal mula pembuatan rencong. Seperti dilansir dari atjehliterature, ada sebuah legenda yang menceritakan asal mula pembuatan senjata khas Aceh ini. Dulu, disebutkan ada seekor burung elang besar yang menjadi hama bagi masyarakat Aceh. Orang-orang menyebutnya dengan "geureuda" yang berarti rakus. Burung ini meneror kehidupan masyarakat dan memakan semua tanaman, buah-buahan dan ternak. Berbagai perangkap telah digunakan untuk menangkap burung ini. Namun, tidak mempan dan membuat burung ini semakin beringas.
Raja yang memerintah Aceh saat itu akhirnya turun tangan menumpas tindakan yang meresahkan warga tersebut. Dia memerintahkan seorang pandai besi untuk membuat benda pusaka yang bisa membunuh elang tersebut. Setelah melakukan puasa, salat sunat serta berdoa akhirnya pandai besi ini berhasil membuat sebilah rencong yang menyerupai aksara Arab: bismillah. Namun dalam legenda tidak disebutkan siapa nama raja dan pandai besi yang berhasil membuat rencong.
Perlu diketahui, penulis-penulis sejarah Aceh tempo dulu kerap menggunakan bahasa kiasan saat menggambarkan situasi yang sedang terjadi. Biasanya penulis sejarah menceritakan peristiwa di Aceh dalam bentuk hikayat-hikayat sehingga menjadi sulit untuk mengetahui keaslian peristiwa tersebut. Hal itu sengaja dilakukan karena penulis tidak ingin terjebak dalam kemelut politik para penguasa.
Dalam catatan sejarah Aceh, rencong sering dipergunakan oleh para pejuang saat dirinya terdesak di medan pertempuran. Banyak pejuang Aceh berhasil membunuh pasukan Belanda menggunakan rencong.
Seperti halnya aksi Pocut Baren yang menikam belasan serdadu marsose saat dirinya hendak ditawan.
Kini rencong masih dipergunakan warga Aceh sebagai aksesoris pelengkap pakaian adat. Biasanya disematkan di pinggang bagian depan oleh kaum pria, pada acara-acara besar adat Aceh.[]
No comments:
Post a Comment