TEUNGKU Di Barat atau Tuan Di Barat adalah murid dari Teungku Paya Bakoeng atau Teungku Di Mata Ie. Ia kemudian dinikahkan dengan puteri gurunya itu. Selain hubungan guru-murid, besan-menantu, ada suatu keterikatan batin lain yang searah perjalanan waktu semakin menguat, yaitu hubungan persahabatan dalam sebuah perjuangan; saling menopang dan membela, dan semua itu atas dasar satu keyakinan, yakni memenangkan Agama Allah dan mempertahankan tanah air kaum muslimin.
Ia juga sahabat Pang Nanggroe. Wakil Teungku Di Barat, yaitu Pang Lateh, adalah orang yang bersama-sama dengan Pang Nanggroe pada September 1905 telah membawa Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi dari Keureuto ke kubu pertahanan muslimin di Jambo Aye. Teungku Di Barat juga punya seorang pengikut bernama Pang Johan. Menurut Belanda, Pang Johan ini seorang ‘yang licin’ sekali (Zentgraaff, 1983:169).
Sekalipun memakai gelar Teungku Di Barat, tapi kegiatan-kegiatan perjuangannya juga dilakukan di daerah-daerah lain, dan tidak hanya di barat Keureuto saja. Selain usaha Belanda untuk menguasai wilayah Aceh Utara disulitkan oleh gerak perlawanan Teungku di Barat, Belanda juga mencatat pengalaman aneh dalam menghadapinya.
Suatu kali pernah pasukan Belanda melepaskan tembakan gencar ke arahnya pada jarak sangat dekat. Namun, Teungku Di Barat tidak menderita apa-apa. Van Heutsz dalam laporannya, menulis: “Peluru selalu menemukan sasarannya jika ditembakkan pada jarak dekat walaupun dibuang pejeranya, lalu diperintahkan: Tembak ke bawah! Namun selalu pula orang menembak ke atas.” (Zentgraaff, 1983:169).
Bertahun-tahun Belanda mengejar Teungku Di Barat tapi baru pada tahun 1912 Belanda mencapai hasrat dan buah ikhtiarnya. Ketika itu, tulis Zentgraaff (1983:170), Behrens baru saja ditempatkan dalam pasukan marsose yang dengan dua buah brigadenya ditugaskan untuk mengintai jejak para pejuang Aceh yang bergabung dalam pasukan Teungku Di Barat.
Bersama Behrens, ikut seorang pelacak jejak ulung asal Ambon. Di Alue, pelacak jejak itu menemukan bekas-bekas anggota pasukan Teungku Di Barat, lalu dengan susah payah brigade mengikuti jejak-jejak mereka yang sebagiannya sudah dihapuskan. Tetapi pelacak jejak itu kemudian menemukan bekas yang baru di tanah berkarang. Tidak lama, dari sebuah alur kecil, pasukan marsose melihat kepulan asap membumbung ke udara. Mereka mulai bersiap untuk sebuah pertempuran.
Di lain pihak, pasukan Teungku Di Barat yang berpondokan di bawah air terjun belum menyadari bahaya yang mengancam. Teungku Di Barat sedang duduk bersama istri dan dua pengikutnya bersama istri-istri mereka serta empat orang anak. Dua di antara mereka adalah anak Teungku di Barat.
Begitulah pemandangan terakhir yang berlangsung dalam tenang sebelum kemudian suasana menjadi demikian gaduh. Sebuah pertempuran yang menegangkan terjadi; gerakan-gerakan yang cepat seiring suara tembak yang menderu.
Berlalu beberapa waktu dalam kegaduhan, pemandangan akhirnya ditutup oleh sebuah aksi yang sangat heroik. Sebuah peluru tiba-tiba mengenai Teungku Di Barat pada lengan kanannya yang segera terkulai. Namun, secepat kilat ia menyerahkan karaben kepada istrinya sambil tangan kiri mencabut rencong.
Dengan karaben di tangan, istrinya segera mengisi posisi di depan Teungku untuk melindunginya. Sebuah perwujudan cinta dan kesetiaan yang menggetarkan sebelum kemudian peluru yang dimuntahkan senapan penjajah menembus tubuh sang istri dan melampauinya untuk bersarang di tubuh Teungku.
Nafas penghabisan pun dihembuskan Teungku Di Barat bersama kerelaan hati untuk meninggalkan dunia yang fana di jalan Allah. Beberapa puluh menit kemudian, sang istri pun mengikuti langkah suaminya menuju keridhaan dan syurga yang telah dijanjikan Allah kepada orang-orang yang meninggal di jalan-Nya.
Begitulah, Paya Bakoeng telah menyumbangkan putera-putera terbaiknya untuk mempertahankan serta membela Agama Allah dan tanah air muslimin dari nafsu penjajahan yang ingin merampas hak kemerdekaan sebuah bangsa. Dan karena mereka yang gagah berani itulah, maka Paya Bakoeng pantas menjadi suatu tempat yang senantiasa mengisi catatan sejarah bangsa serta ingatan setiap generasi.[]
* Taqiyuddin Muhammad adalah peneliti sejarah kebudayaan Islam
Ia juga sahabat Pang Nanggroe. Wakil Teungku Di Barat, yaitu Pang Lateh, adalah orang yang bersama-sama dengan Pang Nanggroe pada September 1905 telah membawa Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi dari Keureuto ke kubu pertahanan muslimin di Jambo Aye. Teungku Di Barat juga punya seorang pengikut bernama Pang Johan. Menurut Belanda, Pang Johan ini seorang ‘yang licin’ sekali (Zentgraaff, 1983:169).
Sekalipun memakai gelar Teungku Di Barat, tapi kegiatan-kegiatan perjuangannya juga dilakukan di daerah-daerah lain, dan tidak hanya di barat Keureuto saja. Selain usaha Belanda untuk menguasai wilayah Aceh Utara disulitkan oleh gerak perlawanan Teungku di Barat, Belanda juga mencatat pengalaman aneh dalam menghadapinya.
Suatu kali pernah pasukan Belanda melepaskan tembakan gencar ke arahnya pada jarak sangat dekat. Namun, Teungku Di Barat tidak menderita apa-apa. Van Heutsz dalam laporannya, menulis: “Peluru selalu menemukan sasarannya jika ditembakkan pada jarak dekat walaupun dibuang pejeranya, lalu diperintahkan: Tembak ke bawah! Namun selalu pula orang menembak ke atas.” (Zentgraaff, 1983:169).
Bertahun-tahun Belanda mengejar Teungku Di Barat tapi baru pada tahun 1912 Belanda mencapai hasrat dan buah ikhtiarnya. Ketika itu, tulis Zentgraaff (1983:170), Behrens baru saja ditempatkan dalam pasukan marsose yang dengan dua buah brigadenya ditugaskan untuk mengintai jejak para pejuang Aceh yang bergabung dalam pasukan Teungku Di Barat.
Bersama Behrens, ikut seorang pelacak jejak ulung asal Ambon. Di Alue, pelacak jejak itu menemukan bekas-bekas anggota pasukan Teungku Di Barat, lalu dengan susah payah brigade mengikuti jejak-jejak mereka yang sebagiannya sudah dihapuskan. Tetapi pelacak jejak itu kemudian menemukan bekas yang baru di tanah berkarang. Tidak lama, dari sebuah alur kecil, pasukan marsose melihat kepulan asap membumbung ke udara. Mereka mulai bersiap untuk sebuah pertempuran.
Di lain pihak, pasukan Teungku Di Barat yang berpondokan di bawah air terjun belum menyadari bahaya yang mengancam. Teungku Di Barat sedang duduk bersama istri dan dua pengikutnya bersama istri-istri mereka serta empat orang anak. Dua di antara mereka adalah anak Teungku di Barat.
Begitulah pemandangan terakhir yang berlangsung dalam tenang sebelum kemudian suasana menjadi demikian gaduh. Sebuah pertempuran yang menegangkan terjadi; gerakan-gerakan yang cepat seiring suara tembak yang menderu.
Berlalu beberapa waktu dalam kegaduhan, pemandangan akhirnya ditutup oleh sebuah aksi yang sangat heroik. Sebuah peluru tiba-tiba mengenai Teungku Di Barat pada lengan kanannya yang segera terkulai. Namun, secepat kilat ia menyerahkan karaben kepada istrinya sambil tangan kiri mencabut rencong.
Dengan karaben di tangan, istrinya segera mengisi posisi di depan Teungku untuk melindunginya. Sebuah perwujudan cinta dan kesetiaan yang menggetarkan sebelum kemudian peluru yang dimuntahkan senapan penjajah menembus tubuh sang istri dan melampauinya untuk bersarang di tubuh Teungku.
Nafas penghabisan pun dihembuskan Teungku Di Barat bersama kerelaan hati untuk meninggalkan dunia yang fana di jalan Allah. Beberapa puluh menit kemudian, sang istri pun mengikuti langkah suaminya menuju keridhaan dan syurga yang telah dijanjikan Allah kepada orang-orang yang meninggal di jalan-Nya.
Begitulah, Paya Bakoeng telah menyumbangkan putera-putera terbaiknya untuk mempertahankan serta membela Agama Allah dan tanah air muslimin dari nafsu penjajahan yang ingin merampas hak kemerdekaan sebuah bangsa. Dan karena mereka yang gagah berani itulah, maka Paya Bakoeng pantas menjadi suatu tempat yang senantiasa mengisi catatan sejarah bangsa serta ingatan setiap generasi.[]
* Taqiyuddin Muhammad adalah peneliti sejarah kebudayaan Islam
No comments:
Post a Comment