Sunday, August 18, 2013

Riwayat Masjid Teungku Chik Paya Bakoeng

Dari segi keletakannya tampak jelas bahwa lokasi masjid atau yang sebelumnya merupakan Dayah Teungku Chik Paya Bakoeng merupakan pusat permukiman Paya Bakoeng dan permukiman-permukiman lain di sekitarnya.
Kompleks Masjid dan Makam Teungku Chok Paya Bakoeng. @Taqiyuddin
DUA peninggalan sejarah, masjid dan makam Teungku Chik Paya Bakoeng, di Aceh Utara, luput dari perhatian pemerintah. Kondisi masjid dan makam pejuang kemerdekaan itu sangat memprihatinkan lantaran tak tersentuh pemugaran yang layak.
Masjid dan makam Teungku Chik Paya Bakoeng, lebih dikenal Teungku Supoet Mata, berada di lokasi bekas Dayah Paya Bakoeng. Tepatnya, di sebelah timur Keudee (Pasar) Paya Bakoeng, arah jalan menuju Kecamatan Pirak, Aceh Utara.
“Pada masa penjajahan, di wilayah Pirak, Belanda membuka lahan kebun yang luas. Menurut orang tua di Paya Bakoeng, T. Abdul Aziz, wilayah perkebunan itu dulu dikenal dengan Pirak estate,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah kebudayaan Islam, kepada ATJEHPOSTcom, Minggu 18 Agustus 2013.
Keudee Paya Bakoeng merupakan kawasan sentral Paya Bakoeng dan sekarang ibukota kecamatan tersebut. Setiap uroe Aleuhad (Ahad), masyarakat dari berbagai gampong di Paya Bakoeng datang untuk berbelanja kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka, orang Aceh menyebutnya uroe rame-rame (hari ramai-ramai) atau uroe peukan (hari pasar). 
Pada zaman kolonial Belanda, di dekat Keudee Paya Bakoeng atau bagian tenggaranya juga pernah didirikan sebuah tangsi. Menurut T. Abdul Aziz kepada Taqiyuddin Muhammad, tangsi itu didirikan Belanda pada tahun 1918. Sekarang lokasi ini menjadi markas Kompi 112.  
Berdasarkan keterangan T. Abdul Aziz, kata Taqiyuddin, Masjid Teungku Chik Paya Bakoeng sudah dibangun sebelum tahun 1942 di lokasi bekas dayah yang dipimpin Teungku Chik Paya Bakoeng. Areal dayah tersebut tidak hanya meliputi lokasi masjid serta pekarangannya yang sekarang, tapi juga tanah persawahan yang berada di sisi selatan masjid. 
“Sampai sekarang, tanah sawah tersebut masih disebut dengan blang dayah (tanah sawah Dayah Teungku Chik Paya Bakoeng) meski sudah dibangun beberapa bangunan pelayanan masyarakat dan rumah di atasnya,” ujar Taqiyuddin. 
Dari segi keletakannya tampak jelas bahwa lokasi masjid atau yang sebelumnya merupakan Dayah Teungku Chik Paya Bakoeng merupakan pusat permukiman Paya Bakoeng dan permukiman-permukiman lain di sekitarnya. Dengan demikian, kata Taqiyuddin, boleh jadi permukiman-permukiman ini memang terbentuk dan berkembang karena keberadaan dayah itu.
Mengenai arsitektur masjid ini, T. Abdul Aziz menyebutkan bahwa arsitek yang membuat rancang bangun dan memimpin kerja pembangunan masjid tersebut adalah seorang yang dipanggil dengan Utoeh Ali (Utoeh Piek), ayah dari Geuchik Nyak Ben. Sebagaimana adat Aceh, masjid didirikan dengan cara meurame (gotong-royong).
“Setelah masjid itu selesai, maka yang menjadi imum chik (imam besar) pertama masjid adalah Teungku Ulee Tanoeh. Digelar demikian karena ia bertempat tinggal di lokasi pertemuan Krueng Kereuto dengan dua alur air yang membelah Paya Bakoeng; Alue Buni dan Alue Baiy atau Neubaiy,” kata Taqiyuddin mengutip keterangan T. Abdul Aziz.
Teungku Ulee Tanoeh ialah sahabat Teungku Chik Paya Bakoeng dan pernah ikut berjuang bersama-sama dengannya. Setelah Teungku Ulee Tanoeh meninggal dunia, kata T. Abdul Aziz, jabatan imum chik diserahkan kepada Teungku Hasbi, putra Teungku Gani (Abdul Ghani) yang merupakan anak dari Teungku Chik Paya Bakoeng. 
“Teungku Hasbi atau yang disebut dengan Abu Nek, pulang ke rahmatullah pada Oktober 2012 silam, dalam usia sekitar  90 tahun. Abu Nek meninggalkan beberapa orang putra-putri, antara lain adalah putri sulungnya Ti Hawa, yang tinggal di sebelah timur lokasi masjid tersebut”.
Konstruksi masjid 
Secara umum, Masjid Teungku Chik Paya Bakoeng berbentuk bangunan persegi empat dengan tambahan ruang  di bagian tengah sisi baratnya yang berfungsi sebagai mihrab atau tempat imam dan mimbar khutbah. Konstruksi masjid ini sebagaimana lazimnya masjid-masjid tempo dulu di Aceh, terbuat dari kayu-kayu pohon yang kuat seperti merbo, damar, semantuk, kruweng dan lainnya. 
Taqiyuddin menyebutkan, dengan bubung tingkat tiga merunjung ke atas, tanpa kubah—bubung paling puncak dapat dikatakan menggantikan fungsi kubah karena sudah dapat dilihat dari jarak yang jauh—serta atap pola tampoeng limoeng (atap lima sisi: tengah dan empat penjuru) yang curam, secara langsung memperlihatkan gaya khas arsitektur masjid Aceh dan Nusantara yang mengutip unsur-unsur kebudayaan lokal pra-Islam. 
“Selain itu, gaya arsitektur yang demikian, menurut Yatim (1989), juga sesuai dengan keadaan iklim kawasan tropis yang sering mendapatkan hujan lebat,” katanya. 
Bubung-bubung seperti itu, kata dia, diperlukan agar air hujan dapat turun dengan lancar dan tidak sempat tergenang sehingga kayu-kayu bangunan terhindar dari pelapukan. Tingkat-tingkat bubung tersebut juga dapat menjamin laluan udara ke dalam masjid sehingga ruang tengah masjid tetap nyaman dan sejuk.     
Bangunan Masjid Teungku Chik Paya Bakoeng, kata Taqiyuddin, ditopang 16 tiang kayu dan satu tiang tengah gantung yang sampai ke tampoeng puncak disangga kasau-kasau menyilang. Pada ujung-ujung kasau yang mencuat ke luar dinding masjid terdapat pula ornamen-ornamen. Begitu pula lis-lis bubung pada setiap tingkat juga diberikan ukiran ornamen.
Menurut Taqiyuddin, masjid itu tampaknya pernah dipugar pada masa imum chik dijabat Teungku Hasbi. Di satu sisi dinding beton sebelah timur masjid terdapat tulisan berbunyi: “Mulai dibangun semasa imum sjik Tgk. Hasbi dan bilal Tgk. Imum Leube, hari Selasa 15 Zulkaedah 1374”.  Yakni, pada bulan Juli 1955. 
Diduga, bagian-bagian yang ditambahkan dalam pemugaran itu adalah dinding beton keliling (setengah permanen), lantai keramik dan mimbar beton, begitu pula  atap yang lazimnya daun rumbia digantikan dengan seng.
Di samping utara masjid pada arah sejajar ruang mihrab terdapat bangunan kecil persegi empat dengan pintu mengarah ke jalan (selatan). Dalam bangunan tersebut terdapat dua makam yang ditandai dengan nisan-nisan dari batu sungai berukuran besar. “Pada papan yang ditempelkan pada bangunan diterangkan bahwa ini adalah makam Teungku Chik Paya Bakoeng,” kata Taqiyuddin. 
Sebagaimana diketahui bahwa Teungku Chik Paya Bakoeng telah syahid dalam satu pertempuran di dekat sungai Peuto bersama pahlawan wanita Cut Meutia dan para pejuang lainnya. Sementara jasad pahlawan Cut Meutia dikebumikan di lokasi ia gugur dan syahid, jasad Teungku Chik Paya Bakoeng atau Teungku Seupoet Mata sepertinya telah dibawa pulang ke gampong tempat tinggalnya untuk dimakamkan di dalam lokasi dayah. 
Untuk mendapatkan ketegasan mengenai pemilik makam tersebut, Taqiyuddin kembali menanyakan kepada T. Abdul Aziz tentang siapakah yang dikubur di tempat itu. 
“Ia lantas menjawab bahwa menurut keterangan yang pernah didengar dari orang-orang tua Paya Bakoeng dahulu, itulah kubur Teungku Chik Paya Bakoeng yang juga digelar dengan Teungku Seupoet Mata,”kata Taqiyuddin Muhammad. 
Namun, tentang bagaimana jasad Teungku Chik Paya Bakoeng sampai dikuburkan di situ, T. Abdul Aziz mengaku kurang tahu kronologinya. Mengenai satu makam lagi yang berada bersama dengan makam Teungku Chik dalam bangunan tersebut, Taqiyuddin memperoleh keterangan bahwa itu adalah makam salah seorang putri Teungku Chik.[]

No comments:

Post a Comment