Para guru kita atau banyak bacaan sejarah (menjadi doktrin hingga kini) mengajarkan bahwa Islamisasi di Indonesia dengan cara damai, Islamisasi melalui akulturasi budaya, dan yang paling diingat, bahwa Islam di Indonesia masuk tanpa kekerasan. Benarkah demikian?
Islamisasi Nusantara, terutama di pulau Jawa yang menjadi pusat peradaban, tidaklah bisa dilepaskan dari peran Majelis Ulama bernama Wali Sangha. Melalui Mejelis ini pulau Jawa yang semula berpenduduk Siwa-Budha (Hindu), dalam rentan waktu yang relatif tidak terlalu lama, dapat diislamkan.
Berpindahnya keyakinan dengan cepat dan berbondong-bondong tersebut tentunya tidak hanya menggunakan pendekatan emosional dan kebudayaan. Sejarahpun mencatat, salah satu faktor runtuhnya imperium Majapahit karena semakin melebarnya ekspansi Islam di pesisir Utara Jawa. Ini bisa ditandai dengan keberadaan Kerajaan Demak sebagai kekuatan politik Islam kala itu.
Kerajaan Demak sendiri didirikan atas insiatif Majelis Wali Sangha, yang saat itu Majelis ini dipimpin oleh Sunan Giri, menggantikan Sunan Ampel yang telah wafat. Sunan Giri dalam paham keagamaannya memang dikenal agak keras. Sejak Sunan Giri menjadi pimpinan Dewan Wali, pertentangan diinternal Wali Sangha meruncing. Terjadi dua faksi dalam strategi penyebaran agama Islam. Kubu pertama Islam Putihan, yang direpresentasikan oleh Sunan Giri, dan Kubu Abangan yang diwakili oleh Sunan Kali Jaga.
Karena pimpinan Dewan Wali dipegang oleh Sunan Giri, maka segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Wali Sangha bercorak keras (putihan), termasuk dalam upaya mendirikan Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Sementara itu, Sunan Kali Jaga beranggapan bahwa lebih baik membangun moralitas, dari pada membangun Kerajaan (Negara). Sebab menurutnya, membangun Negara rentan dengan berbagai konflik-konflik yang pasti akan berujung dengan kekerasan.
Melalui Raden Patah, Putra Brawijaya V yang sejak kecil sudah beragama Islam, Wali Sangha memanfaatkannya untuk mendirikan Kadipaten bawahan Majapahit. Dengan bantuan pasukan dan sokongan dana dari Sang Ayah, Kadipaten Demak berdiri pada Tahun 1475 M. Selain tumbuh sebagai pusat perkembangan Agama, Demak perlahan terus mengkonsolidasikan diri menjadi kekutan politik Islam yang siap meruntuhkan kerajaan Pusat, Majapahit.
Rencana pemberontakan ini diikuti dengan fatwa Sunan Giri yang menyatakan Bahwa Kerajaan Majapahit adalah Negara yang tidak sah, karena dipimpin oleh orang non Muslim yang kafir. Karena itu, umat muslim wajib hukumnya untuk menghancurkan kerajaan kafir, yang harus digantikan dengan kekhalifaan Islam.
Penyeranganpun terjadi, hingga akhirnya Majapahit berhasil diruntuhkan dan Demak menjadi penguasa penerus kekuasaan Majapahit, dengan Raja pertamanya Raden Patah. Berbagai barang berharga milik kerajaan Majapahit dibawa ke Demak sebagai hasil rampasan perang. Bahkan beberapa bangunan bersejarah Majapahit dihancurkan oleh pasukan Demak saat berhasil merangsek masuk ke Trowulan, Ibu kota Majapahit.
Pemaksaan Keyakinan
Dibawah Raden Patah, Kerajaan Demak terus membanguan kekuatan-kekuatan politik di daerah-daerah. Hukuman mati sering dijatuhkan bagi mereka yang menentang atas kebijakan Demak. Eskpedisi militer juga sering dijalankan agar daerah-daerah diseputaran Demak mengikuti sesuai agama resmi Kerajaan. Dan pemaksaanpun terjadi. Raden Patah seolah hanya menjadi simbol belaka, karena yang mengendalikan kerajaan sesungguhnya adalah Dewan Wali Sangha.
Sampai akhirnya Raden Patah wafat, kebijakan Kerajaan Demak sedikit berubah dibawah Raja Baru Pati Unus, Putra pertama Raden Patah. Dibawah kekuasaan Pati Unus, Konsentrasi pemerintahan Demak lebih diarahkan untuk melawan Portugis yang mulai menguasai Nusantara bagian utara. Beberapa kali pasukan armada laut Demak dikirim dengan jumlah besar-besaran untuk menghalau Portugis yang langsung dipimpin sang Raja. Namun sayang, pasukan Demak selalu kalah melawan portugis, karena peralatan perang yang kalah canggih dengan musuh. Mimpi Pati Unus untuk menghalau penjajah berakhir, seiring wafatnya sang Raja dengan sangat mendadak karena sakit. Pati Unus wafat dalam usia masih muda, Beliau menjadi Raja dari tahun 1518 M sampai tahun 1521 M. Beliaupun lebih dikenal dikalangan masyarakat dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Kekuasaanpun diambil alih oleh adik Pati Unus, Trenggono. Jika sebelumnya Demak lebih fokus untuk memperkuat pasukan maritim, kali ini dibawah Trenggono pasukan diarahkan ke darat. Trenggono pun tidak meneruskan mimpi sang kakak untuk melawan portugis. Demak kembali ingin membungkam Kerajaan-kerajaan kecil di darat, yang selama ini tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Demak.
Satu persatu, perlahan tapi pasti, Demak terus melancarkan eskpedisi militernya sepanjang pantai utara Jawa, merangsek kepedalaman, dan dimana-dimana, di bumi Jawa terjadi perang sesama saudara. Penduduk yang tidak mau berganti keyakinan dengan agama resmi kerajaan, terdesak ke timur Jawa, ke Blambangan hingga juga harus menyeberang ke Bali.
Trenggono tak kenal ampun, pada akhirnya ia tewas di Panarukan pada tahun 1548 M, saat hendak menundukan kerajaan Blambangan di timur Jawa. Demakpun perlahan runtuh pasca wafatnya Trenggono, disusul dengan konflik keluarga Demak yang semakin akut.
Dari sinilah bisa dibayangkan bagaimana Islam menyebar di Jawa. Karena tidak mungkin jika hanya menggunakan pendekatan kebudayaan, proses Islamisasi bisa diterima dengan begitu cepat. Ada pemaksaan, ada kekerasan.
Semangan para Wali Sangha sebenarnya sama, yaitu Islamisasi penduduk Jawa. Hanya saja mengunakan cara yang berbeda. Yang satu penyebaran dengan non kekerasan, menggugah kesadaran melalui akulturasi kebudayaan yang diwakili kubu abangan. Yang satunya melalui jalur politik dengan merebut kekuasaan, yang kejam, pemaksaan, dan yang pasti dengan kekerasan.
Refrensi;
Arus Balik, Karya Pramoedya Ananta Toer,
Runtuhnya Majapahit, Sabda Palon 1-3, Wali Sangha, Karya Damar Shashangka
A Karim
No comments:
Post a Comment