SAIFUL AKMAL
Kota ini juga dijuluki “Kota Sardin” karena banyaknya ikan sardin yang dihasilkan para nelayannya. Juga dikenal dengan sebutan ‘Capitol of Seven Hills’, kota dengan tujuh bukit, karena memang berbukit-bukit.
Kunjungan saya ke Lisabon, ibu kota Portugal, kali ini sangat singkat. Hanya untuk presentasi tentang ‘Pergantian Wacana Politik Islam GAM di Aceh’ pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Technical University of Portugal. Setelah mendarat di kota yang sistem transportasinya agak mirip dengan London ini, saya bergegas mencari objek kunjungan pertama yang sudah saya incar sebelum berangkat. Yakni, Masjid Sentral Lisbon yang diresmikan tahun 1985. Dirancang oleh arsitek lokal, Antonio Braga dan Conceicao. Suasana di sini sangat kontras dengan dugaan awal ketika lepas landas dari Frankfurt, tempat saya menuntut ilmu.
Di sana begitu banyak komunitas muslim dan wanita berjilbab yang bisa ditemui. Tapi di Lisabon komunitas Islamnya tidak semarak dan seekspresif di Frankfurt, Jerman, atau di kebanyakan negara Eropa Barat lain seperti Belanda, Prancis, Inggris, atau Belgia. Di kota yang panasnya sangat dominan dan salju hanya muncul 20-30 tahun sekali dan hanya satu hari ini, begitu susah menemukan umat Islam yang memakai sorban, baju gamis panjang, apalagi berjilbab.
Namun, mereka punya masjid yang sangat besar dan indah. Jika di Jerman kebanyakan muslim berasal dari Arab, Indonesia, negara Asia Selatan Tengah dan tentunya Turki, maka di Lisabon, Anda akan merasakan nuansa yang sedikit berbeda. Kebanyakan muslim di sana keturunan Asia Selatan (Pakistan, India, Sri Lanka, Bangladesh), dan mayoritas Afrika Tengah, Timur, dan Selatan. Ini terasa jelas dalam aktivitas di masjid pusat Lisabon tadi. Menarik, sekaligus unik.
Central Mosque
Kota yang mengalami empat masa pemerintahan besar dunia (yakni masa Romawi, masa Dinasti Umayyah Abbasiyah, masa Raja-raja Nasrani, dan terahir Dinasti Turki Utsmani) ini, sudah pasti kaya akan sejarah. Pengaruh bahasa Arab dalam keseharian bahasa penduduknya terasa jelas. Semua nama-nama benda, kota yang dimulai dengan ‘Al’, biasanya adalah adopsi dari bahasa Arab.
Namun, sampai tahun 1970, sebelum Kerajaan Portugal bubar dan berganti dengan sistem negara republik, sistem pemerintahannya memang tidak bersahabat, sampai kemudian terbit Undang-Undang Kebebasan Beragama tahun 2001, Kerajaan Portugal coba menghilangkan semua jejak keislaman dalam kebijakannya. Padahal, kontak antara bangsa Portugis dan Islam sendiri sudah dimulai jauh sekali ketika semangat melaut yang mereka banggakan, plus apologi kejayaan sebagai bangsa penjajah di masa lalu mencari rempah, adalah fakta yang tidak bisa dihapus dalam keseharian masyarakat Portugal.
Kota indah yang lebih mirip Rio de Janeiro di Brasil ini menyimpan begitu banyak narasi tentang sejarah bangsa-bangsa besar di dunia. Cuma sebagai pihak yang kalah, kisah tentang sebuah perkampungan Portugis di Aceh dekat Lamno-Aceh Jaya, bisa jadi tidak akan pernah terdengar sejarah formal modern, karena daerah-daerah Islam menanggung beban sejarah begitu berat akibat kekalahan perang dan wilayahnya dibagi-bagi oleh kaum kolonial. Sehingga yang terngiang di masa depan adalah kisah Martunis, bocah Aceh yang selamat 21 hari di Samudra Hindia di atas kasur yang memakai kostum tim nasional Portugal tahun 2004. Atau kisah Christiano Ronaldo yang batal merumput di lapangan Neusu Jaya saat berkunjung ke Aceh tahun 2005.
Tapi saya berkesimpulan, Aceh dan Lisbon punya banyak kesamaan. Kata kunci persamaan itu paling tidak ada beberapa, yakni: tsunami (Lisbon dihajar gempa dan tsunami tahun 1755), Islam (abad pertengahan; dikenal dengan bangsa Moor dan kontak dengan Lamno Jaya), juga sepakbola (Martunis dan Christiano Ronaldo).
Benang merah di atas adalah titik interaksi peradaban masa lalu dan sekarang antara Aceh, Islam, dan Lisabon di Portugal. Maka jangan heran jika eks presiden Portugal, Jorge Sampaio, tokoh yang terkenal dengan lepasnya Timor Timur dan pernah bekerja di PBB bidang peradaban dunia, kini coba merajut kembali sisa-sisa catatan persinggungan sejarah antara Islam, Kristen, Romawi, dan Ottoman.
[email penulis: saiful.akmal@gmail.com]
SAIFUL AKMAL, putra Aceh, peneliti di Frankfurt, melaporkan dari Portugal
* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com
No comments:
Post a Comment