Sehari sesudah menemui Panglima Wilayah Selatan, Panglima Tertinggi Jepang Terauchi Hisaichi, di Saigon, Soekarno dan Hatta mengalami dilema.
Sebabnya, pada 15 Agustus 1945, Jepang secara resmi mengumumkan menyerah di Perang Dunia II. Padahal pada 14 Agustus, Soekarno dan Hatta dijanjikan Hisaichi kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Jika Soekarno dan Hatta berbuat sesuatu sebagai reaksi penyerahan diri Jepang, ditakutkan malah memancing konflik baru. Tapi di saat bersamaan, segala bentuk rencana kemerdekaan Indonesia yang disponsori Jepang, tampaknya berhenti. Sementara itu, pihak Sekutu tidak masuk mengisi posisi Jepang di Tanah Air. Maka terjadilah kekosongan politik.
Para pelopor kemerdekaan yang masuk sebagai generasi muda, ingin memanfaatkan peluang ini untuk mencetuskan kemerdekaan. Mereka ingin melakukannya secara dramatis, di luar kerangka yang sudah disusun pihak Jepang.
Sjahrir dikatakan sebagai pendukung utama dari gerakan kaum muda ini. Kendati demikian, tak seorang pun berani bergerak tanpa adanya Soekarno dan Hatta.
Jauh di sebelah timur, di Jepang sendiri, Kaisar Hirohito yang diagungkan sebagai dewa oleh rakyatnya, menyiarkan penyerahan diri negaranya. Meski saat itu Jepang sudah pasti kalah, mereka butuh kepastian dari suara pihak berwenang: Sang Kaisar langsung.
Dalam terjemahan pidatonya pasca-Perang Dunia II, Hirohito beralasan bahwa hal ini harus dilakukan. Pasalnya, ia takut, "Ras Jepang akan punah jika perang diteruskan."
(Zika Zakiya. Sejarah Indonesia Modern, History Channel)
Sebabnya, pada 15 Agustus 1945, Jepang secara resmi mengumumkan menyerah di Perang Dunia II. Padahal pada 14 Agustus, Soekarno dan Hatta dijanjikan Hisaichi kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Jika Soekarno dan Hatta berbuat sesuatu sebagai reaksi penyerahan diri Jepang, ditakutkan malah memancing konflik baru. Tapi di saat bersamaan, segala bentuk rencana kemerdekaan Indonesia yang disponsori Jepang, tampaknya berhenti. Sementara itu, pihak Sekutu tidak masuk mengisi posisi Jepang di Tanah Air. Maka terjadilah kekosongan politik.
Para pelopor kemerdekaan yang masuk sebagai generasi muda, ingin memanfaatkan peluang ini untuk mencetuskan kemerdekaan. Mereka ingin melakukannya secara dramatis, di luar kerangka yang sudah disusun pihak Jepang.
Sjahrir dikatakan sebagai pendukung utama dari gerakan kaum muda ini. Kendati demikian, tak seorang pun berani bergerak tanpa adanya Soekarno dan Hatta.
Jauh di sebelah timur, di Jepang sendiri, Kaisar Hirohito yang diagungkan sebagai dewa oleh rakyatnya, menyiarkan penyerahan diri negaranya. Meski saat itu Jepang sudah pasti kalah, mereka butuh kepastian dari suara pihak berwenang: Sang Kaisar langsung.
Dalam terjemahan pidatonya pasca-Perang Dunia II, Hirohito beralasan bahwa hal ini harus dilakukan. Pasalnya, ia takut, "Ras Jepang akan punah jika perang diteruskan."
(Zika Zakiya. Sejarah Indonesia Modern, History Channel)
No comments:
Post a Comment