Bahkan menurut Siwi Sang, Agus Sunyoto belum dapat membedakan antara kedatangan Islam, perkembangan Islam, dan kemunculan kekuasaan Islam di Nusantara. Kiranya sebagian banyak sejarawan negeri ini juga masih sebingung Agus Sunyoto.
_____________________________-
Sebelum mahakarya Atlas Wali Songo, sejarawan Islam Agus Sunyoto menulis buku sejarah berjudul ‘Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’. Buku ini berakhir di halaman 282, memiliki daftar pustaka 15 halaman. Sungguh daftar pustaka yang bukan main. Menurut penerbit, ini buku ilmiah tentang Wali Songo dengan pendekatan multi disiplin: histories-arkeologis-aetilogis-etnohistoris dan kajian budaya.
Pada ketika mulai membaca, saya, Siwi Sang, berharap banyak menemukan rekonstruksi sejarah walisanga. Saya juga berharap Agus Sunyoto bakal gagah menghantam serat Darmagandhul karena sangat menghina keluhuran sunan Bonang dan sunan Giri.
Tetapi kecele. Saya tidak banyak menemukan pemikiran gemilang seorang Agus Sunyoto dalam buku sejarah berjudul keren ini. Saya tidak banyak menemukan rekonstruksi sejarah Walisanga. Sebagian banyak isi buku ini menyuplik atau menyadur karya penulis lain. Serat Darmagandhul tidak disodok, malah dijadikan reverensi.
Saya merasa lebih kecele ketika membaca sealinea pengantar Said Aqil Siraj: ”Memang, untuk menjadi sejarawan Islam Nusantara dibutuhkan kemampuan lebih; selain menguasai bahasa kitab kuning juga menguasai bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian, sumber-sumber sejarah bisa diambil dari naskah dan bahasa aslinya, bukan mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para orientalis, yang tentunya banyak yang mengyimpang dari pengertian dan maksud sebenarnya dari naskah dan sejarah yang ada. Kemampuan membaca dan kemampuan menafsirkan secara kreatif itulah yang dimiliki oleh sejarawan Agus Sunyoto, sehingga mampu menghadirkan Wali Songo sebagai tokoh sejarah yang layak diteladani perilaku pribadinya, semangat juangnya, serta strategi dakwahnya”.
Siwi Sang sepakat bahwa sumber sejarah yang sahih atau terkokoh adalah prasasti-prasasti, yaitu sumber sejarah tertulis di atas batu atau tembaga maupun perunggu. Beritanya sangat dapat dipercaya, asalkan tidak keliru pembacaannya. Selain prasasti-prasasti, sumber sejarah yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Nusantara adalah catatan para musafir asing, utamanya Tiongkok, Arab, dan Eropah. Berita-berita asing itu merupakan sumber sejarah yang dapat dipercaya lantaran kaum musafir menyaksikan secara langsung keadaan negeri-negeri di Nusantara. Uraian-uraian mereka boleh dikatakan sumber berita dari saksi mata pertama.
Sementara Siwi Sang juga sepakat bahwa cerita-cerita rakyat seperti hikayat, babad, dan karya sastra lainnya, merupakan sumber sejarah kurang kuat, lantaran banyak dicampuri dongeng mitos. Kebenarannya masih harus disangkut tandingkan dengan sumber sejarah yang lebih kuat. Meski demikian, cerita-cerita rakyat itu tetap merupakan sumber sejarah. Hakikatnya cerita-cerita rakyat itu disusun berdasarkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Tugas menyaring mana bukti sejarah dan mana yang mitos, serahkan saja pada ahlinya, yaitu mereka para pakar sejarah.
Tetapi dalam buku Walisongo ini, Agus Sunyoto belum secara patriot berani memisahkan sejarah dengan mitos, utamanya terkait Walisanga.
Bahkan menurut Siwi Sang, Agus Sunyoto belum dapat membedakan antara kedatangan Islam, perkembangan Islam, dan kemunculan kekuasaan Islam di Nusantara. Kiranya sebagian banyak sejarawan negeri ini juga masih sebingung Agus Sunyoto.
Ini terjadi karena para sejarawan berpendapat bahwa tokoh Walisanga dipandang sebagai penyebar pertama agama Islam di tanah Jawa. Adanya agama Islam di tanah Jawa berkat perjuangan tokoh Walisanga, bukan lainnya! Jika tidak ada Walisanga, maka tidak ada Islam di tanah Jawa! Begitulah pemahaman yang selama ini dianuti para sejarawan utamanya sejarawan Islam yang terlalu memahadewakan para tokoh Walisanga.
Abdul Mun’im, editor buku yang sedang kita bicarakan ini, menyebutkan kalau langkah yang dilakukan Agus Sunyoto untuk mementaskan para wali dalam panggung sedjarah Nusantara ini berhasil, maka pelan-pelan cara pandang ahistoris dan diskriminatif terhadap para wali akan hilang. Tetapi sekali lagi, tugas ini berat sebelum ada revolusi historiografi lanjutan yang mengubah orientasi istana sentries menjadi rakyat sentries. Sebab sejarah wali adalah bagian dari sejarah rakyat. Dengan langkah yang ditempuhnya, menurut editor, sebenarnya Agus Sunyoto sendiri telah melangkah menuju revolusi histotiografi lanjutan, karena memang revolusi historiografi ternyata belum selesai, cara pandang colonial masih sangat dominant. Terhadap dominasi itulah, Agus Sunyoto melakukan revolusi dan pemberontakan.
Tetapi Siwi Sang menilai buku Walisongo karya Agus Sunyoto sangat sedikit sekali upaya perevolusian sejarah atau perekonstruksian sejarah Islam Walisanga.
Padahal editor sudah mewanti-wanti bahwa pemikiran revolusioner terhadap sejarah memang diperlukan, dan buku sejenis ini perlu terus disebarluaskan untuk membebaskan masyarakat dari kesesatan sejarah yang sengaja disebarluaskan oleh kolonialisme purba maupun kolonialisme moderen. Dan celakanya, masih menurut Abdul Mun’im, sekolah dan universitas yang semestinya menjadi forum emansipasi bangsa dari kesesatan colonial, malah menjadi agen penjajahan bangsa, hanya karena kehilangan daya kritis terhadap realitas sejarah bangsanya.
Karena revolusi historiografi merupakan kelanjutan dari revolusi politik, maka revolusi historiografi ini juga merupakan bagian dari emansipasi social dari cengkeraman penjajahan pemikiran yang tgernyata hingga kini masih membelenggu kesadaran dan pemikiran kita. Di sinilah letak dan arti strategi penerbitan buku ini, demikian pungkar editor dalam pengantarnya.
Hanya sekali lagi sayang, setelah membaca bolak-balik buku berjudul ‘Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’ karya Agus Sunyoto, saya, Siwi Sang, masih sangat haus dan lapar akan kesegaran sejarah Islam utamanya Walisanga.
Judulnya saja sudah keliru penulisan. Bagi yang memahami penulisan Jawa, tentu bakal menulis Walisanga, bukannya Walisongo. Salah kaprah ini juga berlaku seperti penulisan iklannya mbah Marijan. Harusnya Mbah Marijan Rosa-Rosa, bukannya Roso-Roso!
Menurut Siwi Sang, hampir sebagian besar alinea dalam buku ‘Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’ karya Agus Sunyoto, merupakan kutipan, menyuplik karya penulis lain, dan sebagian besar penulis luar negeri, beberapa menyadur dari tokoh orientalis. Padahal, sekali lagi, kata Said Aqil Siraj, untuk menjadi sejarawan Islam Nusantara dibutuhkan kemampuan lebih, selain menguasai bahasa kitab kuning juga menguasai bahasa Jawakuna. Dengan demikian sumber-sumber sejarah bisa diambil dari naskah dan bahasa aslinya, bukan mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para orientalis, yang tentunya banyak yang menyimpang dari pengertian dan maksud sebenarnya dari naskah dan sejarah yang ada.
Tetapi Agus Sunyoto terlalu memercayai pendapat para pakar sejarah luar negeri, ketimbang pemikirannya sendiri atau tokoh sejarawan Islam Nusantara. Padahal, sebagai Jawa muslim, Agus Sunyoto memiliki kemampuan menafsirkan sumber sejarah seperti serat, babad, yang bersangkutan dengan Islam Jawa. Untuk menafsirkan dan menerjemahkan kalimat dalam makam Maulana Malik Ibrahim misalnya, Agus Sunyoto dapat membaca sendiri, tidak perlu menyadur atau berdasarkan pembacaan tokoh orientalis. Sebagai catatan, dalam pengantarnya, Said Aqil Siraj telanjur memuji Agus Sunyoto sebagai sejarawan Islam yang memiliki kemampuan membaca dan kemampuan menafsirkan sejarah secara kreatif.
Kedatangan Islam di Nusantara
Pada halaman 35, Agus Sunyoto menulis alinea sangat menyesatkan:
”Fakta sejarah terkait belum dianutnya agama Islam oleh penduduk pribumi Nusantara, terlihat pada bukti factual pada dasawarsa akhir abad ke-13, sewaktu Marcopolo kembali ke Italia lewat laut dan sempat singgah di negeri Perlak. Saat itu Marcopolo mencatat bahwa penduduk Perlak terbagi atas tiga golongan masyarakat sebagai pemukim yaitu kaum muslim Cina, kaum muslim Persia-Arab, dan peduduk pribumi yang masih memuja roh-roh dan kanibal. Bahkan dua pelabuhan dagang di dekatnya, yaitu Basma dan Samara, menurut Marcopolo, bukanlah kota Islam.”
Kalimat ‘belum dianutnya agama Islam oleh penduduk pribumi Nusantara pada akhir abad ke-13’ sangat patut direvolusi. Agus Sunyoto jelas sangat gegabah menulis itu. Agus Sunyoto meresahkan sejarah Islam Nusantara. Siwi Sang bersaksi bahwa sejarawan Islam Agus Sunyoto telak menyesatkan sejarah.
Jelas Perlak adalah kerajaan atau kesultanan Islam. Memang benar, beberapa kota banyak yang menganut agama bukan Islam, seperti Budha dan Trimurti. Sumatera adalah bekas kekuasaan Sriwijaya yang menganut Budha Mahayana. Tetapi sangat keliru jika Agus Sunyoto menulis agama Islam belum dianut penduduk pribumi Nusantara. Meski perkembangan Islam di Perlak atau tanah Malayu disebarkan kaum pedagang Arab atau Persia, juga muslim Cina, penduduk pribumi utamanya Perlak jelas sudah banyak yang menganut Islam. Berdirinya kekuasaan Perlak menjadi fakta sejarah tak terbantahkan.
Mengapa pula Agus Sunyoto tidak berani merevolusi pernyataan subyektif Venesia sentries ala Markopolo?
Maulana Malik Ibrahim
Pada hal. 51, Agus Sunyoto, mengutip tulisan G.W.J. Drewes dalam New Light on the coming of Islam to Indonesia, menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai salah seorang tokoh yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dan merupakan wali senior di antara para wali lainnya. Ini juga penyesatan sejarah yang dilakukan Agus Sunyoto!
Menurut Babad ing Gresik, yang awal datang ke Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim dengan tetuanya Sayyid Yusuf Mahrabi beserta 40 orang pengiring. Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim masih bersaudara dengan raja Gedah. Mereka berlayar ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam sambil berdagang. Mereka berlabuh di Gerwarasi atau Gresik pada tahjun saka 1293 atau 1371M. Rombongan menghadap raja Majapait Brawijaya, menyampaikan kebenaran Islam. Sang raja menyambut baik kedatangan mereka tetapi belum berkenan memeluk Islam. Lalu Maulana Malik Ibrahim diangkat oleh raja Majapait sebagai sahbandar atau pemimpin pelabuhan di Gresik dan diperbolehkan menyebarkan agama Islam kepada orang Jawa dengan catatan tidak ada pemaksaan.
Sementara sumber cerita local menuturkan bahwa daerah yang pertama kali dituju Maulana Malik Ibrahim adalah desa Sembalo, dekat desa Leran kecamatan Manyar, sekitar 9 km utara Gresik, tidak jauh dari makam Fatimah binti Maimun yang sohor itu. Maulana Malik Ibrahim kemudian menyiarkan agama Islam dengan mendirikan masjid pertama di desa Pasucian, Manyar. Kegiatan yang dirintisnya adalah berdagang di dekat pelabuhan., mendirikan pasar di desa Rumo, yang menurut cerita setempat berkaitan dengan kata Rum [Persia], kediaman orang Rum. Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim pindah ke kota Gresik tinggal di desa Sawo. Setelah itu datang ke kutaraja Majapait, menghadap raja dan mendakwahkan agama Islam kepada raja. Namun raja Majapait belum berkenan tetapi menerima kedatangan maulana Malik Ibrahim sangat baik dan bahkan sang raja menganugerahi sebidang tanah di pinggir kota Gresik yang kelak dikenal sebagai desa Gapura. Di desa Gapura itulah Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam yang diharapkan melanjutkan misi perjuangannya, menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di wilayah Majapait yang sedang ditimpa kemerosotan akibat perang saudara.
Syaikh Maulana Malik Ibrahim makamnya terletak di kampung Gapura di dalam kota Gresik, Jawatimur, tidak jauh dari pelabuhan. Inskripsi makamnya menunjuk angka 882H/1419M. Berdasarkan tahun wafatnya itu, Agus Sunyoto menempatkan Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang tokoh penyebar Islam tertua di Jawa. [hal.49]. Ini juga kesesatan sejarah Agus Sunyoto.
Maulana Malik Ibrahin sebagai wali senior di antara para wali sanga, memang benar. Beliau tergolong yang pertama datang ke tanah Jawa, ini jika dibanding dengan anggota wali sanga lainnya.
Tetapi jika dibanding dengan orang muslim lainnya, jelas beliau bukanlah yang pertama. Jauh sebelumnya telah berbondong-bondong kaum pedagang Arab, Persia, India, Tiongkok, Campa, datang ke Jawa, tentu saja sembari menyebarkan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, setiap muslim berkewajiban menyampaikan kebenaran Islam walau satu ayat.
Jika mengikuti pemikiran Agus Sunyoto ini, berarti masa sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim, agama Islam belum muncul di tanah Jawa! Ini sungguh sangat menyesatkan, bertentangan dengan bukti sejarah lain dan beberapa sumber berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada masa Panjalu, Islam sudah berkembang di tanah Jawa. Bahkan Sri Jayabhaya memiliki seorang guru bernama Seh Ali Samsuddin. Maulana Malik Ibrahim jelas kalah tua ketimbang Seh Ali Samsuddin yang makamnya ada di kota Kadiri atau Setana gedong. Bahkan kalah tua ketimbang Fatimah binti Maimun yang makamnya ada di Leran bertarikh 1082M.
S.Q Fatimi dalam Islam come to Malaysia mencatat pada abad 10M terjadi migrasi besar-besaran keluarga-keluarga Persia ke Nusantara. Yang terbesar di antaranya: Keluarga Lor yang datang pada jaman raja Nasiruddin bin Badr, memerintah wilayah Lor di Persia tahun 300H/912M. Keluarga ini tinggal di Jawa dan mendirikan kampung bernama Loran atau Leran, artinya kediaman orang-orang Lor.
Agus Sunyoto Gagal merekonstruksi Perang Demak-Majapait
Agus Sunyoto memiliki keberanian yang patut mendapat acungan jempol, yaitu ketika menampilkan teori baru tentang riwayat Arya Damar dan Raden Patah. Sosok Raden Patah memang merupakan salah satu kunci membuka sejarah Islam Jawa Nusantara, membersihkan propaganda kaum orientalis Belanda.
Tetapi di sini Agus Sunyoto masih gagal merekonstruksi sejarah Demak dan keruntuhan Majapait. Agus Sunyoto belum peka menyadari bahwa kisah keruntuhan Majapait pada 1478M atau tahun saka 1400 atau yang dalam berita serat dan babad terkenal sebagai sirna ilang kertaning bhumi, adalah bentuk propaganda sejarah kaum orientalis colonial Belanda dan krucu-krucunya, yang tujuan utamanya menanamkan pemahaman kepada orang Nusantara bahwa Islam datang ke tanah Jawa dengan Pedang, bahwa Majapait runtuh akibat serbuan Islam Demak. Bahwa Islam penghancur peradaban Majapait luhung. Bahwa Islam penghancur peradaban Jawa. Karenanya bagi yang berjiwa Jawa Majapait, harus melawan kekuatan Islam. Inilah upaya orientalis colonial Belanda memecah belah Nusantara melalui penyesatan sejarah keruntuhan Majapait.
Dalam buku Walisongo, Agus Sunyoto belum mantap merekonstruksi sejarah akhir Majapait. Beliau masih bersetia dengan analisa pakar sejarawan seperti Hasan Jafar, yang menyimpulkan Majapait runtuh pada tahun 1478M. Sesungguhnya tidak demikian. Perang antara Majapait dengan Demak juga berlangsung beberapa kali, setidaknya setelah Majapait mengadakan kerjasama dengan Portugis di Malaka. Terkait perang antara Majapait dengan Demak atau masa akhir Majapait, akan Siwi Sang paparkan dalam judul tersendiri.
Dan jika ingin merevolusi sejarah Walisanga, Agus Sunyoto harus merevolusi pula Babad Tanah Jawa dan turunannya yaitu beberapa sumber sejarah berbentuk karya sastra, seperti Babad Daha-Kadiri yang menjadi babon penulisan Serat Darmagandul.
Sunan Bonang Takluk Melawan Buta Locaya
Terkait sejarah Walisanga, Siwi Sang melihat bahwa Babad Daha-Kadiri dan Serat Darmagandul jangan dilupakan, tetapi dibaca secara cerdas dan arif, memahami makna siningit atau yang tersembunyi dalam narasi sejarah dua karya sastra itu.
Sekali lagi, jika ingin merekonstruksi sejarah para Walisanga, seharusnya Agus Sunyoto berani membongkar atau merevolusi Serat Darmagandul dan Babad Daha Kadiri. Dalam dua karya sastra ini jelas terdapat narasi-narasi sejarah yang tujuan utamanya menghina menistakan dua tokoh besar Walisanga, Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Dalam Serat Darmagandul yang berpedoman pada Babad Daha-Kadiri jelas menampilkan hina dinanya sunan Bonang dan sunan Giri! Sunan Bonang, satu tokoh mashur Walisanga, dipelorotkan derajatnya jauh dibawah derajat raja Demit Buta Locaya! Seorang wali mulia kalah ‘adu rasa dan kawruh’ dengan raja demit Buta Locaya. Sunan Bonang kalah sakti dengan bangsa demit.
Tetapi Agus Sunyoto malah bangga dengan penulisan riwayat Sunan Bonang dalam Babad Daha-Kadiri maupun Serat Darmagandul. Menurutnya, itulah bentuk keunggulan seorang tokoh Walisanga.
Agus Sunyoto menafsirkan Babad Daha-Kadiri yang menggambarkan bagaimana sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa bisa mengubah aliran sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima dakwah Islam di sepanjang aliran sungai menjadi kekurangan air, bahkan sebagian yang lain mengalami banjir.
”Sepanjang perdebatan dengan tokoh Buta Locaya yang selalu mengecam tindakan dakwah sunan Bonang, terlihat sekali bahwa tokoh Buta Locaya itu tidak kuasa menghadapi kesaktian yang dimiliki sunan Bonang. Demikian juga dengan tokoh Nyai Plecing, yang kiranya seorang bhairawi, penerus ajaran ilmu hitam Calon Arang, yang dapat dikalahkan oleh sunan Bonang,” tulis Agus Sunyoto di hal. 132.
Menurut Siwi Sang, Agus Sunyoto jelas terkecoh Babad Daha Kediri maupun serat Darmagandul. Cerita kesaktian sunan Bonang yang mampu mengubah aliran sungai Brantas yang membikin kering daerah yang menolak dakwah Islamnya, sesungguhnya upaya para kaum pendengki yang secara semena-mena menghina Islam berbungkus kesaktian dan kehebatan tokoh Walisanga sunan Bonang.
Dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya pemaksaan dalam menganut agama Islam. Semua wali mulia pastinya sangat mengerti. Islam adalah lemah lembut penuh kasih sayang antar sesama manusia.
Hanya muslim tolol yang memaksakan kehendak kepada orang lain ketika menganjurkan dan menyampaikan kebenaran Islam.
Hanya muslim tolol yang ketika menyampaikan kebenaran Islam kepada orang lain menggunakan pentungan, bilah pedang atau pucuk senapan!
Sementara sikap sunan Bonang yang dendam kepada daerah yang membangkangi dakwahnya, jelas perbuatan sangat biadab. Ini yang secara jahat dipropagandakan penulis Serat Darmagandhul maupun Babad Daha-Kadiri. Salah seorang tokoh Walisanga yang mulia itu disifati sebagai biadab jahat! Perbuatan sunan Bonang itu jelas bukan perbuatan arif seorang Wali Islam. Inilah salah satu upaya kaum orientalis colonial dan pendengki Islam menghina tokoh Walisanga melalui cerita dan kisah legenda rakyat.
Berikut ini Siwi Sang menyuplik dari Serat Darmagandhul peninggalan KRT. Tandanagara, cetakan keempat tahun 1959, terbitan Sadu Budi Sala, saat Sunan Bonang berdakwah di Kadiri. Saat penulis Serat Darmagandhul memelotorkan derajat kewalian Sunan Bonang, putra Sunan Ngampel.
Dhek nalika samana Sunan Bonang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Bonang sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.
Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah.
Sunan Bonang ngandika: “Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah”.
Ki Bandar matur: “Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang nêkseni”. Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.
Sunan Bonang ngandika marang sakabate: “Kowe goleka banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp salat”.
Di sini penulis Serat Darmagandhul ingin menunjukkan betapa Sunan Bonang tidak memahami hukum wudhu. Bagaimanapun seorang wali sangat memahami bahwa air sungai, sekeruh dan sekotor apapun, dapat digunakan untuk bersuci atau berwudhu. Perintah Sunan Bonang supaya mencari air imbon atau air tampungan, jelas mengesankan bahwa beliau tidak memahami hukum berwudhu.
Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: “Mbok Nganten, kula nêdha toya imbon bêning rêsik”.
Mbok Prawan kaget krungu swarane wong lanang, barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: “Ndika mêntas liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe”.
Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan. Satêkane ngarsane Sunan Bonang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu.
Sunan Bonang mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka tuwa.
Barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas iline dadi cilik. Iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas sawah lan patêgalan. Akeh desa kang padharusak, awit katrajang ilining banyu kali kang ngalih iline. Kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang banyu. Jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan Bonang têrus tindak mênyang Kadhiri.
Itulah kesaktian Sunan Bonang yang menurut Agus Sunyoto sangat menakjubkan! Semoga Agus Sunyoto yang saya kagumi, dapat secara arif merevolusinya.
Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana wong arane Sunan Bonang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl-êndêlake kaprawirane.
Kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat sanalika. Iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka panggawene Sunan Bonang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah. Sunan Bonang dhêmêne salah gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Bonang, bisaa tumêka ing pati, dadi ora tansahganggu gawe.
Nyai Plêncing krungu wadule anak putune mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Bonang. Nanging dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Bonang, amarga rasane awake padha panas bangêt kaya diobong. Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri.
Memang Nyai Plêncing kalah, tetapi tidak untuk Buta Locaya. Serat Darmagandhul jelas memenangkan Buta Locaya. Simak saja.
Satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. Ratune manggon ing Selabale. Jênênge Buta Locaya. Dene Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai Daha iki cikal-bakal ing Kadhiri. Barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut kanggo jênênge nagara. Dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.
Padahal nama Daha sudah dipakai bahkan sebelum Erlangga pindah dari Kahuripan pada 1041M.
Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhêp. Kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.
Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Bonang. Nyai Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.
Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane. Sarirane nganti kaya gêni. Sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Bonang.
Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo angina. Ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring desa Kukum [Tukum]. Ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai Sumbre. Dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora ngaton. Kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang lakune Sunan Bonang kang saka êlor.
Ora antara suwe têkane Sunan Bonang saka lor, Sunan Bonang wis ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah kêna prabawane Sunan Bonang.
Mangkono uga Sunan Bonang uga ora bêtah cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.
Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.
Sunan Bonang andangu marang kiyai Sumbre: “Buta Locaya! kowe kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre. Kowe apa padha slamêt?”
Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Bonang ngrêtos jênênge dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe. Wusana banjur matur marang Sunan Bonang: “Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika Buta Locaya?”.
Sunan Bonang ngandika: “Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya”.
Kiyai Sumbre matur marang Sunan Bonang: “Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun walang kadung?”
Sunan Bonang ngandika maneh: “Aku bangsa ‘Arab, jênêngku Sayid Kramat, dene omahku ing Bonang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?”
Buta Locaya banjur matur: “Wetan punika wastanipun dhusun Mênang, sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut.
Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa. Makatên wau saking sabda paduka. Sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara”.
Sunan Bonang ngandika: “Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg.”.
Buta Locaya matur maneh: “Punika namanipun botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen”.
Sunan Bonang ngandika: “Sanadyan kok aturake Ratu Majalêngka aku ora wêdi”.
Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: “Rêmbag paduka niki dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon, ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun Aji Saka, muride Ijajil. Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang saking ‘Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa? Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul”.
Ini kekalahan pertama Sunan Bonang atas Buta Locaya. Ketika penulis Serat Darmagandhul menulis Sunan Bonang mengakui kesalahannya.
Sunan Bonang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur ngandika: “Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki bisa bali kaya mau-maune”.
Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Bonang, banjur nêpsu maneh, nuli matur marang Sunan Bonang: “Kêdah paduka wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda”.
Sunan Bonang ngandika marang Buta Locaya: “Wis kowe ora kêna mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak jênêngake cacil. Dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhêmit, dak suwun marang Rabbana, woh sambi dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm dadi pasêmoning ulat kêcut. Dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre. Dene panggonane balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran”.
Kekalahan Sunan Bonang dilukiskan dengan meloncatnya beliau ke timur sungai Brantas meninggalkan Buta Locaya.
Sunan Bonang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan, Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.
Buta Locaya nututi tindake Sunan Bonang. Sunan Bonang tindake têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Bonang mriksani rêca jaran, rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Bonang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.
Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Bonang anggêmpal êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: “Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika, lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi”.
Sunan Bonang ngandika: “Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus”.
Buta Locaya mangsuli: “Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu”.
Sunan Bonang ngandika: “Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca”.
Ini kesaktian Sunan Bonang yang sangat tidak masuk akal, menggulingkan sumur hanya karena sulit mencari air wudhu. Ini secara tersirat menunjukkan bahwa dakwah Sunan Bonang di daerah Kadiri memang menemui beberapa hambatan, diibaratkan beberapa kali kesulitan mencari air wudhu.
Sunan Bonang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Bonang sawise, nuli sagêd mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.
Sunan Bonang sawise salat banjur nêrusake tindake. Satêkane desa Nyahen ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang, saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Bonang priksa rêca mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Bonang, bathuke dikrowak.
Buta Locaya wêruh yen Sunan Bonang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh, calathune: “Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan ngrisak rêca?”
Pangandikane Sunan Bonang: “Mulane rêca iki tak rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar.”
Buta Locaya calathu maneh: “Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang Labawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa, mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing rêca, panjênêngan-tundhung dhatêng pundi? Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara, dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul tiyang bangsa ‘Arab sami sojah Ka’batu’llah, wujude nggih tugu sela, punika inggih langkung sasar”.
Pangandikane Sunan Bonang: Ka’batu’llah iku kang jasa Kangjêng Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi wong akeh, sing sapa sujud marang Ka’batu’llah, Gusti Allah paring pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing ‘alam pangumbaran”.
Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Tandhane napa yen angsal sihe Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?
Sunan Bonang ngandika maneh: “Kang kasêbut ing kitabku, besuk yen mati oleh kamulyan”.
Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: “Pêjah malih yen sumêrêpa, kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu’llahipun, badanipun manusa punika Baitu’llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun badanipun, sumêrêp budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging kangge tuladha.
Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga pêtêng, kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp cipta sasmita ingkang dereng kalampahan.
Dene ingkang yasa rêca punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos, pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun. sami-sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar ‘Arab, dereng ngrêtos kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun tiyang nglêmpara.
Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya, tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun bantêr awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan.
Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh, tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan jotos.
Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula-undhangakên adhi-kula ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula bêkta mlêbêt dhatêng kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhatêng Selabale, dados murid kula!”.
Sunan Bonang ngandika: “Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan brêkasakan”.
Buta Locaya mangsuli: “Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja, mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tampu mulya kados kula, tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan dhatêng tanah Jawi, wontên ing ‘Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking ‘Arab, mila minggat, saking lêpat, tandhanipunwontên ing ngriki taksih krejaban, maoni adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu”.
Inilah kekalahan telak Sunan Bonang atas Buta Locaya. Ketika penulis Serat Darmagandhul menyebut bahwa Sunan Bonang mengaku kalah kawruh dan nalar ketika berdebat alias beradu kesaktian secara batin melawan Buta Locaya, Ratu Demit tanah Kadiri.
Sunan Bonang ngandika: “Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung rêmbag. Dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah nalar”.
Sunan Bonang banjur pamitan: “Wis aku arêp mulih mênyang Bonang”.
Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Inggih sampun, panjênêngan enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos, nambahi bênter, nyudakakên toya”.
Sunan Bonang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga banjur mulih.
Jadi dari mana Agus Sunyoto melihat kemenangan atau keunggulan Sunan Bonang atas Buta Locaya?
Sekali lagi Agus Sunyoto seharusnya sanggup membaca dengan kreatif dan cerdas! Sanggup merevolusi Babad Daha Kadiri dan serat Daremagandul yang sangat menghina peran Walisanga, sunan Bonang dan sunan Giri.
Dalam dua sumber karya sastra itu, sunan Giri juga disifati sebagai tokoh walisanga yang memiliki kemampuan memenung alias menyantet! Sunan Giri pakar ilmu Santet! Inilah cuplikan paska perang Majapait dan Demak, setelah Raden Patah sowan ke Nyi Ageng Ampel.
Sunan Bonang mêthukake kondure Sang Prabu Jimbun. Sang Nata banjur matur marang Sunan Bonang yen Majapahit wis kêlakon bêdhah. Layang-layang Buddha iya wis diobongi kabeh. Sarta ngaturake yen ingkang rama lan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit mati ana samadyaning papêrangan. Putri Cêmpa wis diaturi ngungsi mênyang Bonang. Wadya Majapahit sing wis têluk banjur padha dikon Islam.
Sunan Bonang mirêngake ature Sang Prabu Jimbun, gumujêng karomanthuk-manthuk, sarta ngandika yen wis cocog karo panawange.
Sang Prabu matur, yen kondure uga mampir ing Ngampeldênta, sowan ingkang eyang Nyai Agêng Ngampel, ngaturake yen mêntas saka Majapahit, sarta nyuwun idi ênggone jumênêng Nata, nanging ana ing Ngampel malah didukani sarta diuman-uman, ênggone ora ngrêti marang kabêcikane Sang Prabu Brawijaya, nanging sawise, banjur didhawuhi ngupaya ingkang rama, apa sapangandikane Nyai Agêng Ngampel diaturake kabeh marang Sunan Bonang.
Sunan Bonang sawise mirêngake ature Sang Nata ing batos iya kêduwung, rumaos lupute, dene ora ngelingi marang kabêcikane Sang Prabu Brawijaya. Nanging rasa kang mangkono mau banjur dislamur ing pangandika, samudanane nyalahake Sang Prabu Brawijaya lan Patih, ênggone ora karsa salin agama Islam.
Sunan Bonang banjur ngandika, yen dhawuhe Nyai Agêng Ngampel ora pêrlu dipanggalih, amarga panimbange wanita iku mêsthi kurang sampurna, luwih bêcik ênggone ngrusak Majapahit dibanjurake, yen Prabu Jimbun mituhu dhawuhe Nyai Ngampeldênta, Sunan Bonang arêp kondur mênyang ‘Arab, wusana Prabu Jimbun banjur matur marang Sunan Bonang, yen ora nglakoni dhawuhe Nyai Ngampel, mêsthine bakal oleh sabda kang ora bêcik, mula iya wêdi.
Sunan Bonang paring dhawuh marang Sang Prabu, yen ingkang rama mêksa kondur mênyang Majapahit, Sang Prabu didhawuhi sowan nyuwun pangapura kabeh kaluputane, dene yen arêp ngaturi jumênêng Nata maneh, aja ana ing tanah Jawa, amarga mêsthi bakal ngribêdi lakune wong kang padha arêp salin agama Islam, supaya dijumênêngake ana seje nagara ing sajabaning tanah Jawa.
Sunan Giri banjur nyambungi pangandika, mungguh prayoganing laku supaya ora ngrusakake bala, Sang Prabu Brawijaya sarta putrane bêcik ditênung bae, awit yen mateni wong kapir ora ana dosane.
Sunan Bonang sarta Prabu Jimbun wis nayogyani panêmune Sunan Giri kang mangkono mau.
Bahwa keinginan Sunan Giri menenung alias meneluh sang prabhu Brawijaya dan para putranya, yang kemudian didukung Sunan Bonang dan Raden Patah, adalah upaya penulis Serat Darmagandhul untuk menanamkan pemahaman bahwa para Walisanga adalah pakar ilmu tenung!
Ini seharusnya direvolusi oleh Agus Sunyoto.
Tetapi buku berjudul ‘Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’ karya Agus Sunyoto terbitan Transpustaka, Nopember 2011 silam, masih jauh dari mantap.
Sepatutnya sebelum memunculkan mahakarya Atlas Walisongo, Agus Sunyoto merevolusi buku ini dulu.
Buku ini telanjur beredar luas dan tentunya banyak dijadikan acuan dan reverensi sejarah Islam Nusantara, utamanya terkait ‘Walisongo’.
Saya percaya bahwa Agus Sunyoto yang saya hormati, sejatinya sangat mampu merevolusi sejarah Islam Nusantara secara obyektif dan gagah.
Siwi Sang